Minggu, 22 Januari 2012

Kebijakan Makroekonomi dunia pada 1960-an dan 1980-an

tulisan ini merupakan Review dari tulisan Michael C. Webb yang berjudul International Economic Structures, Government Interests, and International Coordination of Macroeconomic Adjustment Policies

Meningkatnya mobilitas pasar modal internasional pada 1980-an membawa dampak yang sangat drastis. Kondisi ini menyebabkan terjadinya volatilitas mata uang, ketidakseimbangan pembayaran internasional (international payment imbalances), dan berbagai masalah ekonomi lainnya. Ketidakstabilan ekonomi internasional pada 1980-an ini disebabkan oleh adanya integrasi pasar modal yang membuat arus modal semakin mobile. Selain itu, koordinasi kebijakan moneter dan fiscal internasional juga mengalami hambatan dari dinamika politik domestik masing-masing negara.
ketidakstabilan ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berbeda dari sebelumnnya, yaitu kebijakan moneter dan fiscal (monetary and fiscal policy). Oleh karena itu, artikel yang ditulis oleh Michael C. Webb ini focus pada perubahan kebijakan antara tahun 1960-an dan tahun 1980-an. Menurut Webb, ada perubahan kebijakan dari koordinasi neraca pembayaran pembiayaan (coordination of balance-of-payments financing) menjadi koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (coordination of monetary and fiscal policies).
Kebijakan moneter dan fiscal inilah yang dianggap sebagai kebijakan makroekonomi dalam artikel ini. Pada 1960-an, kebijakan moneter dan fiscal ini belum terlalu berpengaruh karena arus mobilitas modal belum begitu tinggi. Akan tetapi ketika pada tahun 1980-an terjadi mobilitas arus modal secara internasional, maka akan terjadi pula ketidakseimbangan pembayaran (payment imbalances) yang tinggi jika setiap negara mengeluarkan kebijakan makroekonomi yang berbeda. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal agar payment imbalances tersebut dapat diatasi atau setidaknya berkurang.
Sebelumnya para analis berpendapat bahwa telah terjadi penurunan koordinasi internasional pada 1980-an daripada tahun 1960-an. Buktinya menurut mereka tidak adanya koordinasi intervensi terhadap nilai tukar (exchange rate), karena terjadi perubahan dari Kurs Tetap (fixed exchange rate) pada 1960-an menjadi kurs mengambang/fleksibel (floating/flexible exchange rate) pada 1980-an. Namun menurut Webb, luas dan intensitas koordinasi yang dilakukan tetap sama, namun yang berubah adalah subjeknya, yaitu dari koordinasi neraca pembayaran pembiayaan (coordination of balance-of-payments financing) pada 1960-an menjadi koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (coordination of monetary and fiscal policies) pada 1980-an. Digunakannya sistem floating exchange rate karena semakin tingginya mobilitas arus modal dan mustahil bagi pemerintah untuk menstabilkan nilai tukar.
Dalam menjelaskan adanya perubahan pola koordinasi ini, essay ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan bagaimana struktur ekonomi internasional mempengaruhi strategi yang tersedia bagi pemerintah dalam upaya mereka untuk berurusan dengan ketidakseimbangan internasional. Bagian kedua mempelajari catatan koordinasi kebijakan di tahun 1960-an dan 1980-an. Analisis menunjukkan bahwa model yang dikembangkan di bagian sebelumnya tidak membantu menjelaskan pola koordinasi internasional. Tapi juga mengungkapkan batas argumen ekonomi-struktural dengan mengidentifikasi faktor-faktor lain (variabel politik dalam negeri khususnya) yang secara konsisten mempengaruhi bagaimana negara bereaksi terhadap insentif yang dihasilkan oleh lingkungan internasional dalam periode yang berbeda. Bagian akhir merangkum temuan dan membahas beberapa implikasi yang lebih luas bagi studi ekonomi politik internasional.
A. Economic Structures and Incentives For International Policy Coordination (Struktur Ekonomi dan Insentif Bagi International policy coordination)
Asumsi yang harus kita sepakati bersama adalah bahwa tujuan utama pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan makroekonomi adalah untuk mencapai kondisi makroekonomi yang menguntungkan. Pemerintah berusaha untuk menurunkan tingkat inflasi, meningkatkan lapangan pekerjaan, dan mencapai pertumbuhan ekonomi. Jika kondisi seperti bisa tercapai, maka stabilitas politik domestik akan stabil. Dan hal ini tentunya akan berpengaruh pada elektabilitas pemilih.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika akhirnya setiap negara mengeluarkan kebijakan makroekonomi yang berbeda. Hal ini tidak lain karena pemerintah berusaha untuk mencapai kondisi ekonomi domestik yang ideal dan adanya kondusifitas situasi politik domestik. Karena situasi domestik sangat berpengaruh baik bagi kelangsungan pemerintahan, maupun bagi citra pemerintah (dalam hal ini partai) di masa depan. Sehingga situasi domestik inilah akhirnya yang akan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Ketika masing-masing negara mengambil kebijakan makroekonomi yang berbeda, maka kemungkinan untuk terjadinya ketidakseimbangan pembayaran ekternal dan pergerakan nilai tukar (exchange rate) akan semakin besar. Untuk mengatasi kondisi ini, setidaknya ada tiga International coordination of macroeconomic adjustment policies yang relevan, yaitu:
1. External Policies. Pemerintah berusaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan pembayaran dengan memanipulasi kontrol perdagangan dan modal. Negara yang defisit mungkin akan membatasi impor dan arus keluar modal; negara yang surplus akan mendorong impor dan membatasi arus modal masuk. Atau, bisa juga pemerintah menyesuaikan nilai tukar; negara yang defisit mungkin melakukan devaluasi, sementara negara yang surplus mungkin akan melakukan revaluasi.
2. Symptom management policies. Pemerintah berupaya mengelola ketidakseimbangan pembayaran dengan menggunakan cadangan nasional, pinjaman internasional, atau kedua-duanya sekaligus. Juga dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing (foreign exchange markets) karena adanya perbedaan kebijakan dari masing-masing negara.
3. Internal policies. Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan moneter dan fiskal untuk menghilangkan ketidakseimbangan antara tabungan, investasi, dan konsumsi yang menghasilkan ketidakseimbangan perdagangan dan juga untuk menghilangkan perbedaan tingkat suku bunga lintas-nasional yang menghasilkan arus modal internasional yang spekulatif.
Akan tetapi biasanya pemerintah lebih memilih untuk menunda atau bahkan menghindari penyesuaian terhadap kebijakan internal karena memiliki efek politik yang lebih besar dari kedua kebijakan lainnya. Baik yang mengalami defisist ataupun yang mengalami surplus (deficit and surplus countries) akan lebih mementingkan pertimbangan politik domestik dalam mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengatasi payment imbalances. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan adalah dengan mengedepankan international policy coordination.
Baik deficit or surplus countries akan menggunakan international policy coordination ini untuk tujuan mereka masing-masing. Deficit countries berharap dengan adanya international policy coordination, maka surplus countries akan merevaluasi (menetapkan harga baru) mata uang, memperluas ekspor, dan membantu negara-negara pengutang (debtor countries) membiayai deficit mereka. Sedangkan bagi surplus countries menggunakan international policy coordination untuk mencegah deficit countries membatasi impor mereka, mendevaluasi mata uang secara tajam, dan mendorong agar deficit countries lebih mengandalkan atau lebih percaya pada strategi deflasi internal.
Upaya yang dilakukan oleh deficit countries untuk melakukan koordinasi kebijakan internasional adalah dengan membuat kesepakatan (agreement) internasional untuk membatasi penggunaan strategi penyesuaian eksternal lainnya. Sedangkan surplus countries akan memberikan international financing agar deficit countries membatasi upaya mereka menggunakan strategi penyesuaian eksternal.
Motivasi dan tantangan setiap negara dalam melakukan koordinasi kebijakan tentunya berbeda, karena adanya tingkat kepentingan struktural yang asimetris. Perbedaan tersebut diantaranya yaitu: Pertama, akan lebih sulit bagi deficit countries untuk mencegah deficit agar tidak memiliki dampak deflasi daripada bagi surplus countries untuk melindungi perekonomian mereka dari konsekuensi inflasi potensial dari surplus ekternal. Artinya adalah bahwa deficit countries memiliki interest yang lenih besar untuk melakukan koordinasi internasional sebagai upaya menyebarkan beban penyesuain kepada yang lain untuk menawarkan perubahan dalam kebijakan pemerintah asing. Kecuali jka deficit country memiliki pasar domestik yang luas, sehingga ia memiliki bargaining position yang lebih besar. Dengan pasar domestik yang besar ini, mereka dapat menutup akses pasar mereka bagi negara lain. Kedua, negara yang memiliki perdagangan yang besar dan tingkat ketergantungan yang kecil akan lebih mudah untuk mempertahankan balance of payment mereka.
Kepentingan memang menjadi unsure yang dominan bagi negara dalam melakukan koordinasi internasional. Namun, jenis kebijakan yang disesuaikan tetap saja bergantung pada struktur ekonomi internasional. Ada dua aspek struktur ekonomi internsional yang penting: yaitu tingkat integrasi pasar barang dan jasa, dan kedua yaitu tingkat integrasi pasar modal. Disinilah terjadi perbedaan. Jika ekonomi hanya dihubungakan dengan perdagangan saja, maka pemerintah cukup hanya dengan menyesuaikan kebijkan ekternal mereka atau lebih menggunakan symptm management policy. Namun jika ekonomi dilihat lebih luas, maka harus ada koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (makroekonomi). Karena jika negara berbeda mengeluarkan kebijakan yang berbeda maka akn menimbulkan international imbalances payment.
Jika kita menggunakan struktur pertama (ekonomi adalah perdagangan), akan ada upaya proteksionisme yang kuat oleh negara baik yang surplus maupun defisit ketika arus perdagangan masih rendah. Namun sebaliknya jika perdagangan mulai tinggi, industri akan menentang segala bentuk proteksionisme perdagangan dan meminta pemerintah unutk mencari alternatif lain dalam mengatasi ketidakseimbangan pembayaran. Salah satu caranya adalah dengan mamanipulasi nilai tukar. Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan kurs tetap, ketidakseimbangan makroekonomi internasional dapat dikelola oleh negara-negara surplus dengan meminjamkan uang kepada negara-negara defisit. Hal ini akan membuat negara deficit menghindari deflasi dan membuat negara surplus berusaha untuk mempertahankan pasarnya di negara defisit.
Namun jika kita menggunakan pandangan kedua, yaitu tingkat integrasi internasional pasar modal. Ketika pasar modal sangat terintegrasi secara internasional, otonomi yang dimiliki negera unutk membuat kebijakan makroekonomi sangat sedikit, meskipun ia adalah negara besar. Hal ini karena perbedaan dalam kebijakan makroekonomi dikejar akan memicu arus besar modal. Arus modal merespon dengan cepat perubahan dalam ekspektasi investor tentang suku bunga dan nilai tukar, dan aliran ini memiliki efek langsung pada nilai tukar. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dalam melakukan penyesuaian kebijakan makroekonomi secara internasional. Kecenderungan yang terjadi ketika arus modal bergerak dapat membuat nilai tukar mata uang negara yang dituju oleh investor semakin meningkat. Namun juga akan membuat penurunan tingkat ekspor dan akan meningkatkan impor.
Akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan sebagai akibat dari perbedaan kebijakan makroekonomi hanya dengan memberikan pinjaman dari negara surplus ke negara deficit. Alasan pertama, karena pasar modal internasional bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kebijakan makroekonomi daripada arus perdagangan internasional. Kedua, ukuran arus modal membuat mereka lebih sulit untuk mengelola ketidakseimbangan perdagangan.
B. Patterns of Coordination In The 1960s And The 1980s (Pola Koordinasi pada 1960-an dan 1980-an)
1. Policy coordination from 1958 to 1968
Pada tahun 1960-an, kebijakan moneter masih menjadi otoritas mutlak negara dan diambil secara independent. Akan tetapi yang tejadi bukanlah koordinasi kebijakan moneter dan fiscal, justru yang terjadi adalah negosiasi kebijakan moneter dan fiscal antara International Monetary Fund (IMF) dengan Britania Raya 1967 dan 1969 dan Perancis pada 1958 dan 1969. Hal ini dilakukan karena kedua negara tersebut mengalami defisit. Namun IMF bisa menekan inggris untuk mengubah kebijakan moneter dan fiscal hanya pada 1969, sebelumnya tidak dan pada perancis tidak pernah.
Pada 1960-an ini, memang telah ada institusi internasional seperti the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), G-10, dan the Bank for International Settlements (BIS). Namun institusi seperti ini belum berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan makroekonomi, meskipun diakui oleh para analis bahwa kebijakan makroekonomi lebih harmonis ketika menteri keuangan dan gubernur bank sentral hadir dalam forum di institusi tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan makroekonomi (moneter dan fiscal) yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan rasional dan intellectual negara.
Sejak adanya sistem Bretton Woods kebijakan makroekonomi ekonomi suatu dituntut untuk konsisten dan disesuaikan dengan stabilitas internasional. oleh karena itu, international coordination of macroeconomic adjustment policies tidak diperlukan lagi karena secara otomatis diatur oleh sistem Bretton Woods. Pemerintah akan menyesuaikan sendiri kebijakannya untuk mencegah adanya surplus ataupun deficit pembayaran eksternal yang dapat mengancam sistem fixed exchange rate.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, negara tidak pernah melakukannya penyesuain untuk menciptakan balance of payment. Jika terjadi defisit, maka harus disikapi dengan kebijakan yang terbatas dan jika surplus harus disikapi dengan kebijakan yang fleksibel dan berkembang. Artinya tidak terjadi konsistensi kebijakan sesuai dengan stabilitas internasional. negara melakukan penyesuai kebijakan makroekonomi sesuai dengan kondisi neraca pembayaran mereka sendiri. Sehingga setiap negara cenderung mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan bahkan kontradiktif. Menurut Webb, negara besarlah yang cenderung melakukan kebijakan seperti ini, mereka berusaha untuk menhindari dampak dari ketidakseimbangan neraca pembayaran negara lain.
Dengan demikian menurut Webb, berdasarkan pada data-data, isolasi pasar modal pada 1960-an memungkinkan pemerintah untuk mengambil kebijakan makroekonomi yang berbeda tanpa memperdulikan international imbalances payment. Koordinasi internasional pada 1960-an adalah penyesuaian symptom management policies (meliputi intervensi pasar uang/kurs (foreign exchange market intervention) dan payments financing) dan control perdagangan. Namun, control terhadap arus modal tidak dilkoordinasikan.
2. Policy coordination from 1978 to 1990
Meningkat arus modal dan terjadinya integrasi pasar internasional pada 1980-an membuat intensitas perdagangan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya mobilitas modal ini, maka semakin sulit bagi pemerintah untuk tetap menintervensi pasar valuta asing (valas/kurs) sehingga sistem pertukaran berubah menjadi sistem floating excange rate. Maka arus modal akan bergerak sesuai dengan tinkat suku bunga dari mata uang. Hal ini berdampak pada nilai tukar mata uang suatu negara. Sehingga ketika interaksi perdagangan (ekspor dan impor) dilakukan, akan terjadi ketidakseimbangan pembayaran internasionl (international imbalances payment). Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi internasional untuk mengadopsi kebijakan makroekonomi yang dapat mengurangi ketidakseimbangan ini.
Adanya integrasi pasar internasional memberi pemerintah cara untuk menyeimbangkan posisi tawar mereka untuk membujuk pemerintah lainnya agar menyesuaikan kebijakan-kebijakan mereka. Ancaman-ancaman seperti peningkatan pembatasan perdagangan, menghalangi liberalisasi, atau mengijinkan pasar mata uang untuk berfluktuasi tanpa terawasi sangat sering digunakan. Sebenarnya, Amerika Serikat adalah pihak yang paling berkesempatan untuk memenangkan perubahan ini. Dengan memiliki pasar domestik yang besar, Amerika Serikat mejadi tujuan ekspor banyak negara seperti Jepang dan Jerman. Akibatnya, ekonomi mereka menjadi tergantung pada ekspor mereka ke Amerika Serikat daripada ekspor Amerika Serikat k negara mereka. Inilah yang menjadikan posisi tawar Amerika Serikat lebih kuat.
Jika Amerika Serikat melakukan proteksi (kebijakan fiscal) terhadap barang-barang impor, maka negara pengekspor akan mengalami ketidakseimbangan. Ancaman seperti inilah yang sering digunakan Amerika Serikat untuk menekan negara lain agar melakukan perubahan kebijakan makro ekonomi. Transaksi internasional tidak terlalu penting bagi perekonomian Amerika Serikat, sehingga mereka tidak terlalu peduli dengan volatilitas nilai tukar negara lainnya. Keuntungan inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menekan Jepang dan Jerman agar mengkoordinasikan kebijakan moneter dan fiscal mereka sesuai dengan standar Amerika Serikat.
Kepercayaan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Jimmy Charter dan Ronal Reagan bahwa permintaan luar negeri yang lebih kuat terhadap barang-barang Amerika Serikat dapat mempertahankan ekonomi Amerika Serikat dan membuat Amerika Serikat lebih mudah untuk menahan kebijakan fiskal dan moneter tanpa menyebabkan resesi di Amerika Serikat. Alasan inilah yang membuat Carter meminta Jepang dan Jerman agar membuat kebijakan fiskal yang lebih ekspasif untuk mempertahankan pertumbuhan domestik mereka dan menstimulasi impor dari Amerika Serikat serikat, yang juga akan menstimulasi ekonomi dan mengimbangi deflasi Amerika Serikat. Setelah banyak perdebatan, Amerika Serikat serikkat membujuk Jepang dan Jerman untuk mereflasi sebagai balasan untuk komitmen Amerika Serikat untuk mengendalikan pertumbuhan moneter dan melepas kontrol (decontrol) harga minyak. Permintaan ini disampaikan oleh Amerika Serikat dalam pertemuan Bonn pada 1978 yang membahas tentang penyesuaian timbal balik kebijakan makroekonomi.
Selanjutnya, dari tahun 1981-1984 terjadi permintaan koor dinasi makroekonomi internasional dari negara-negra maju karena Amerika Serikat membuat kebijakan moneter yang ketat dan kebijakan fiscal yang stimulatif. Modal luar negeri dapat masuk dengan cepat ke Amerika Serikat (karena tingginya tingkat suku bunga) yang menyebabkan nilai dolar semakin naik. Masih bersedia investor asing untuk tetpa membeli American government securities meskipun nilai dollar dianggap sangat tinggi dan tingkat suku bunganya mulai jatuh pada 1983-84, membuat Amerika Serikat mengabaikan konsekuensi eksternal dari preferensi (pilihan) kebijakan makroekonominya dan menolak kritik dari eksternal. Sementara negara lain tidak bisa mengatur Amerika Serikat Serikat untuk mengoordinasikan kebijakan moneter dan fiscalnya secara internasional. Hal karena mereka tidak memiliki bargaining position yang lebih baik. Jadi meskipun Amerika Serikat mengalami deficit fiscal, mereka tetap menjadi negara yang memiliki bargining position paling kuat.
Namun akhirnya pemerintah Amerika Serikat pada 1985 menyadari bahwa sikap sepihak mereka dalam membuat kebijakan berdampak negatif bagi ekonomi Amerika Serikat sendiri. Dan mereka mulai membuka diri untuk menkoordinasikan kebijakan makroekonomi mereka secara internasional untuk memperbaiki masalah-masalah eksternal yang telah muncul. Tingginya nilai tukar dolar membuat industri manufaktur Amerika Serikat tertekan. Hasil ini berdampak politis, dimana kongres meminta pemerintah untuk melakukan kebijakan ptroteksionisme ketat yang tentunya akan merusaak system perdagangan liberal internasional saat itu.
Akhirnya pemerintahan Reagan meminta negara lain agar membantu menstimulusi permintaan domestik Amerika Serikat. Permintaan dari negara lain agar Amerika Serikat mengurangi deficit perdagangannya. Pada awalnya Jerman dan Jepang menolak untuk melakukan reflasi karena dikhawatirkan dapat menyebabkan inflasi. Namun, Reagan menyatakan bahwa jika perdagangan Amerika Serikat tidak meningkat maka akan ada tuntutan proteksionisme dari kongres dan akan membirakan volatilitas dollar berjalan tanpa pengawasan. Ini artinya akan berdampak negatif bagi Jerman dan Jepang.
Akan tetapi pada awal 1987 mereka ersedia untuk melakukan reflasi sebagai timbal-balik atas kesedian Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan intervensi valuta asing untuk menstabilkan mata uang dan komitmen Amerika Serikat unutk mengurang deficit anggaran mereka. Di sini secara eksplisit dapat dilihat bahwa adanya kesepakatan untuk saling menyesuaikan kebijakan makroekonomi. Jerman berjanji untuk meningkatkan paket pengurangan pajak yang telah direncanakan untuk tahun 1990 dan memajuakannya menjadi tahun 1988 (move the package ahead to 1988). Jepang setuju untuk mengeluarkan dana tambahan pada musim semi 1987 yang akan menstimulasi permintaan domestik dan juga setuju untuk menurunkan suku bunga. Amerika Serikat serikat sendiri berkomitmen untuk mengurangi defisit anggaran melalui pembatasan pengeluaran.
Kebijakan fiskal dan moneter di tiga negara ini mencerminkan dampak dari adanya proses tawar-menawar. Jepang mempertahankan suku bunga rendah dan pertumbuhan moneter yang cepat untuk merangsang permintaan domestik dan mendorong investor Jepang membeli America treasury security, untuk membiayai anggaran dan deficit perdagangan Amerika Serikat serta mencegah jatuhnya nilai dollar. Pemerintah Jepang juga meningkatkan pengeluaran domestiknya. Penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter Jepang ini berdampak positif, pertumbuhan permintaan domestik menjadi kuat, perekonomian menjadi tidak terlalu bergantung pada ekspor, dan penyusutan surplus transaksi.
Kebijakan makroekonomi Jerman juga mengungkapkan dampak koordinasi kebijakan internasional. Upaya Bundes Bank untuk mendukung dollar tahun 1987, menghasilkan pertumbuhan peredaran uang yang cepat sehingga menciptakan inflasi yang tinggi tahun 1988 dan 1989. Akan tetapi Bundes Bank menolak untuk menaikkan tingkat suku bunga, karena menurut mereka akan diprotes oleh negara-negara eropa lain dan Amerika Serikat serikat. Pemerintah Jerman menolak permintaan asing untuk mempercepat pemotongan pajak dan meningkatkan belanja. tetapi kebijakan fiskalnya lebih stimulatif daripada negara G-7 lain dalam periode 1986-1988, menurut kalkulasi yang dilakukan oleh OECD yang disesuaikan oleh keseimbangan anggaran. Seperti Jepang, Jerman terus mengalami defisit fiskal di akhir 1980-an, meskipun pemerintah berkeinginan untuk mengurangi jumlah utang nasional.
Amerika Serikat juga demikian, mengalami deficit fiscal yang sangat besar. Meskipun The Federal Reserve Bank (The Fed) juga pernah menyesuaikan tingkat suku bunga dan pertumbuhan ekonomi berjalan cepat, deficit fiscal tetap tak bisa dihindarkan. Dan bahkan untuk membiayai deficit anggaran mereka, Amerika Serikat meminjam dana dari luar negeri tanpa membuat nilai dollar turun. Terjadinya deficit fiscal di ketiga negar tersebut membuat mereka berupaya menyesuaikan kebijakan mereka pada 1989. Upaya ini berhasil mengurangi deficit perdaganngan Amerika Serikat dan menimbulkan kekhawatiran akan adanya deficit anggaran Amerika Serikat. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, Amerika Serikat meminta Jepang untuk meningkatkan utang mereka (pinjaman bagi Amerika Serikat).
Aka tetapi upaya ini juga belum berhasil dan deficit anggaran terus terjadi. Masalah ini semakin rumit ketika elit politik domestik juga memberika tekanan. Sehingga pertimbangan–pertimbangan domestik lebih dipentingkan daripada tekanan diplomatic internasional. Akibtanya, kondisi ini menyebabkan ketidakpastian terhadap stabilitas ekonomi internasional. Kondisi ini juga bisa menyebabkan inflasi atau pun resesi bagi perekonomian Amerika Serikat. Di pemerintahan sendiri terjadi konflik tentang tentang apakah suku bunga harus ditingkatkan untuk mengurangi inflasi atau diturunkan untuk menghindari resesi.
Pada 1990, Jepang berupaya untuk melakukan koordinasi negara negara G-7 lainnya agar menyesuaikan kebijakan moneter mereka. Menurunnya nilai Yen dan tingginya tingkat suku bungan dikhawatirkan akan memperburuk tekanan di pasar saham. Oleh karena itu, Jepang meminta negara lainnya untuk melakukan pemotongan tingkst suku bunga. Akan tetapi, hal ini ditolak oleh Jerman dan Amerika Serikat yang berupaya untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi untuk melawan inflasi. Selanjutnya pada paruh kedua 1990 dan awal 1991, isu yang dibahas berkaitan dengan perang teluk. Amerika Serikat berusaha meminta bantuan Jepang dan Jerman untuk membiayai perang tersebut. Sehingga isu mengenai koordinasi tingkat suku bunga ditinggalkan. Dan akhirnya tidak terjadi koordinasi dalam pelaksanaannya. Amerika Serikat menurunkan suku bungan untuk melawan inflasi, sedangkan Jerman justru menaikan suku bunga untuk melawan inflasi.
Di sini terlihat bahwa koordinasi balance of payment financing tidak konsisten, meskipun telah terjadi peningkatan yang cukup besar dalam koordinasinya. Payment financing pada 1980-an lebih didominasi oleh swasta, dengan pembelian treasury securities and corporate securities oleh para investor. Defisit countries melibatkan sektor swasta pada 1970-an karena adanya kebutuhan jumlah kredit yang besar dan pihak swasta mampu menyediakannya. Namun, pemerintah juga melakukan koordinasi payment financing pada 1980-an ketika swasta tidak bersedia memberikan pinjaman ke pada deficit countries untuk menstabilkan nilai tukar.
Periode 1978 ditandai dengan keengganan pemerintah untuk menggunakan kontrl perdagangan dan modal untuk mengatasi ketidakseimbangan eksternal akibat adanya perbedaan kebijakan makroekonomi dari setiap negara. Namun control selektif masih tetap digunakan untuk mengahadapi ancaman sektoral. Pada 1980-an juga ditandai dengan sedikit penggunaan control modal dan perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi kondisi makroekonominya dari pengaruh internasional. Hal ini dikarenakan adanya kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi yang memudahkan para pemegang dana unutk menstransfer modal tanpa hambatan teritoris.
Dalam kondisi perdagangan internasional saat ini yang sangat tergantung dengan mobilitas arus modal, nampak akan semakin sulit bagai negara untuk kembali menerapkan control komprehensif seperti pada 1960-an. Para pelaku ekonomi akan sangat menetang segala upaya yang akan menghambat pergerakan arus modal. Control komprehensif tidak hanya akan menghambat integrasi industri nasional menuju struktur produktif internasional, tetapi juga membuat pemilik modal menghindari penggunaan industri jasa keuanagan, pasar internasional akan menjadi tidak teratur.
C. Changing Patterns of Policy Coordination (Perubahan Pola Koordinasi Kebijakan)
Kebijakan fiskal dan moneter adalah elemen utama pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian negaranya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa telah terjadi perubahan pola international coordination of macroeconomic adjustment policies antara tahun 1960-an dengan tahun 1980-an. Perubahan ini terjadi karena adanya peningkatan arus dan mobilitas modal di pasar internasional. Pada tahun 1960-an, untuk mengatasi ketidakseimbangan pembayaran intenasional cukup hanya dengan mengkoordinasikan neraca pembayaran pembiayaan (balance of payment financing), penggunaan kurs/nilai tukar tetap (fixed exchange rate), dan control terhadap arus modal. Kebijakan ini bisa diterapkan karena mobilitas modal masih rendah dan intensitas perdagangan (baik kuantitas maupun frekuensi) belum tinggi.
Sedangkan pada 1980-an, terjadi peningkatan intensitas perdagangan dan juga mobilis modal yang semakin tinggi. Koordinasi kebijakan seperti pada 1960-an masih berusaha dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi kebijakan seperti itu belum bisa mengatasi masalah volatilitas nilai tukar (exchange rate), ketidakseimbangan pembayaran, dan misalignment (ketidaksejajaran). Dengan demikian, international policy coordination yang dilakukan lebih menekankan pada koordinasi kebijakan moneter dan fiscal.
Akan tetapi kebijakan moneter dan fiskal ini juga belum mampu mengatasi masalah-masalah di atas. Hal ini dikarenakan sulitnya bagi pemerintah untuk mengkoordinasikannya. Kedua kebijakan ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga mengandung pengaruh-pengaruh politis. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan kedua kebijakan ini tentu, harus ada koordinasi antara lembaga eksekutif sebagai pelaksana dan lembaga legislative. Hal ini sangat sulit bagi pemerintah ketika yang menguasai lembaga legislative adalah pihak oposisi, apalagi jika keduanya memiliki prioritas politik yang berbeda. Dengan demikian, tentu kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan akan sulit untuk dikoordinasikan dengan kebijakan moneter dan fiskal negara lainnya.
Selain itu, proses pembuatan kebijakan moneter dilakukan oleh pemerintah dan Bank Sentral, yang notabenenya kedua pihak ini memiliki pandangan yang berbeda. Bank sentral adalah lembaga yang independent dan lebih peduli pada stabilitas harga, bisa mentoleransi pertumbuhan yang lambat dan pengangguran yang tinggi. Sedangkan pemerintah, sebagai pihak yang dipilih melalui proses politik tentunya berbeda. Tingkat pengangguran yang tinggi bisa menggurangi citra pemerintah. Sehingga dalam mengambil kebijakan moneter ini sering terjadi perbedaan antara pemerintah dan Bank Sentral.
Banyak hambatan politik domestik dalam pembuatan kebijakan moneter dan fiskal inilah membuat pemerintah sulit untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah negara lain. Karena kebijakan moneter dan fiskal ini sangat berpengaruh terhadap elektabilitas domestik. Sehingga pemerintah lebih cenderung melakukan penyesuaian Symptom management policies daripada melakukan penyesuain kebijakan moneter dan fiscal dalam merespon tekanan eksternal. Karena mereka lebih mempertimbangkan tekanan internal para pemilih dan kelompok kepentingan domestik. Kebijakan moneter dan fiscal memiliki dampak politik yang lebih besar dari pada symptom management policies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar