Selasa, 19 Februari 2013

Filosofi Awal Munculnya Negara



Review of
Macpherson, CB (1968) Introduction to Leviathan in Hobbes, Thomas’s Leviathan, London: Penguin Classic.

Pernahkah kita bertanya tentang bagaimana awal terbentuknya negara? Mengapa kita harus tunduk terhadap negara? Dan kenapa kita harus mengakui negara?
Jika kita ingin mencari jawabannya, salah satu referensinya adalah tulisan Thomas Hobbes yang berjudul ”Leviathan”. Dalam tulisan tersebut, Hobbes menjelaskan bagaimana negara terbentuk dan dari mana kekuasaan negara terbentuk. Metode yang digunakan oleh Hobbes adalah dengan menggunakan pendekatan matematis-geometris dan rasionalitas. Hal disebabkan oleh pengaruh tokoh-tokon lainnya seperti Francis Bacon, Rene Descartes, dan yang paling dominan adalah Galileo Galilei.
Dalam tulisan tersebut Hobbes memulai penjelasan dari penjelasan tentang manusia (Human Nature). Manusia adalah subjek dan sekaligus objek utama dari segala permasalahan sosial-politik di dunia ini. Analisa tentang manusia dimulai dari konsep ’appetite and aversion’ dan juga akal. Sebenarnya, perilaku manusia dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut. Appetites (keinginan) setiap manusia berbeda dan akan ada terus menerus selama hidupnya. Manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi semua keinginannya. Keinginan manusia tak pernah terbatas. Hakikat alamiah ini, dimana semua manusia secara alamiah setara, melahirkan persaingan sesama manusia.
Untuk memenuhi semua keinginan ini, manusia membutuhkan power yang diartikan oleh Hobbes tidak hanya kemampuan jasmaniah (faculty of bodies), tetapi juga keunggulan atas kemampuan yang dimiliki oleh orang lain. Power terdiri dari jumlah kemampuan, kekayaan, reputasi, dan teman melebihi yang dimiliki orang lain. Power ini digunakan untuk melawan dan menghalangi efek dari power yang lain. Persaingan dan kondisi anarkis membuat manusia berusaha untuk memaksimalkan power. Sehingga Hobbes mengistilahkannya dengan homo homini lupus (manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya) dan bellum omnium contra omnes (semua manusia akan berperang melawan manusia).
Memang dalam kondisi alamiah ini belum terbentuk suatu kehidupan sosial-politik yang terorganisir sehingga kehidupan menjadi tidak teratur. Akan tetapi, manusia masih memiliki akal. Akal manusia menuntun mereka untuk meninggalkan kehidupan alamiah yang anarkis ini. Manusia berusaha membentuk kehidupan yang damai dan harmonis. Atas alasan ini manusia merasa perlu membuat suatu ’kekuatan bersama’ yang teroganisir dengan baik. Maka kemudian manusia secara suka rela menyerahkan hak dan kebebasannya melalui sebuah convenant (kontrak sosial). Maka terbentuk suatu organisasi masyarakat berdaulat yang kemudian kita kenal dengan istilah Negara.
Kedaulatan negara didapat dari hukum tertulis yang telah tertuang dalam covenant (covenant, without sword, are but words and of no strengthen to secure a man at all). Menurut Hobbes, perjanjian yang terjadi sebenarnya antar individu, bukan antara negara dengan individu. Dengan demikian negara tidak terikat oleh perjanjian. Negara dalam versi Hobbes ini memiliki kekuasaan mutlak yang utuh. Negara berhak menentukan hukum. Negara memiliki hak namun tidak memiliki kewajiban. Sehingga individu (rakyat) harus mematuhi semua keputusan yang dibuat oleh negara.
Dengan kedaulatan dan wewenangnya, negara dapat melakukan apapun. Sehingga negara memiliki kuasa penuh atas semua individu yang berada di bawah kewenangannya. Negara harus memiliki kekuasaan yang absolut dan tidak terbagi. Artinya Hobbes tidak menginginkannya adanya distribusi kekuasaan seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi. Dengan begitu apakah Hobbes merekomendasikan bentuk negara? Sepemahaman saya, Hobbes tidak mempermasalahkan bentuk negara asalkan negara tersebut memiliki kekuasaan yang absolut. Hobbes memang tidak memungkiri bahwa kekuasaan mutlak akan menyebabkan otoritarianisme. Tapi setidaknya inilah lebih baik dari pada negara yang kekuasaan terbelah yang berpotensi terjadinya friksi sosial. Dapat disimpulkan bahwa negara terbaik menurut Hobbes adalah negara monarki absolut dengan hanya memiliki seorang penguasa.
Lantas bagaimanakah cara untuk menghindari negara berperilaku semena-mena dan tidak sesuai dengan keinginan individu? Tujuan dibentuknya negara adalah untuk menjamin keamanan dan kebebasan individu untuk berkembang tanpa adanya ancaman. Menurut Hobbes, kewajiban untuk mengikuti perintah negara itu berlaku selama negara mampu menjamin dan memproteksi keamanan individu. Namun, jika negara sudah tidak mampu lagi, maka covenant menjadi tidak berlaku. Namun, hal ini sangat mustahil untuk diterapkan. Sebab negara akan berupaya untuk mempertahankan kekuasannya dengan berbagai cara.
Pemikiran Hobbes tentang negara ini juga diyakini sebagai pemikiran tentang negara borjuis. Salah satu indikasi adalah dengan adanya sistem perpajakan. Selain itu, tugas negara menurut Hobbes adalah untuk melindungi kehidupan dan segala komoditas yang bisa diberdayakan. Hal ini berarti akan lebih mengedepankan kepentingan orang kaya (borjuis). Dan tentu saja dengan asumsi kewajiban harus membayar pajak, maka borjuis dapat mengekploitasi masyarakat yang tidak memiliki kapital. Dan di sinilah mulai terjadi eksploitasi kemanusiaan.

Kamis, 07 Februari 2013

Terpaut

Ah . . .
Mengapa bayangannya selalu hadir?
Haruskah hati ini condong?
Padahal jiwa pecinta sedang melayang
Mengharap cerita di dunia khayal
Banyak yang berkata
Butakah netraku ini?
Seribu bidadari terbang di sekelilingku
Tapi mengapa hanya dia yang terbesit?
Ah . . .
Jiwaku kosong dan mata tertunduk
Terpejam dan tak kan terbuka
Kecuali bila hadirnya kan merajut
Syair-syair cinta di hadapanku
Oh bidadari surgawi
Dirimu tak mungkin terganti
Meski sinar kebencian selalu terpancar
Namun Illahi telah menetapkan
Si bodoh ini menjadi pemimpi

Life is Worship


Banyak orang yang bertanya, “apakah mungkin kita hidup itu selalu beribadah?” Sedangkan kita harus bekerja, belajar, dan banyak lagi aktivitas yang lainnya. Secara rasional, kita memang tidak mungkin beriadah terus-menerus, sholat sepanjang waktu, puasa setiap hari, dzikir setiap saat, dan selanjutnya. Sedangkan kita juga harus makan, bekerja untuk menafkahi keluarga, berolah raga, berinteraksi, bersosialisasi, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan semacam inilah yang tidak memungkinkan kita untuk selalu beribadah. Apalagi kita sebagai manusia yang memiliki rasa jenuh, bosan, dan malas. Kita pasti membutuhkan istirahat, hiburan, dan refreshing.
Semua pertanyaan dan persepsi di atas muncul karena pemahaman kita yang sempit terhadap pengertian ibadah. Ibadah selalu kita identikkan dengan ritual agamis. Ibadah adalah segala perbuatan yang sifatnya ritualitas; itulah pemahaman yang secara umum kita gunakan. Pemahaman seperti itu memang tidak salah, hanya saja kurang sempurna. Ibadah sebenarnya memiliki pengertian yang lebih luas. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh perbuatan, aktivitas, dan kegiatan yang dicintai dan diridhai Allah SWT.
Islam adalah agama yang sangat toleran dan applicable. Islam selalu memberikan kemudahan kepada para pemeluknya. Islam juga telah menepis semua rasionalisasi di atas. Islam memberikan solusi yang konstruktif dan adaptif. Secara logika, apa yang dirasionalisasikan di atas memang tidak mungkin. Namun dalam pandangan islam justru sebaliknya. Semuanya menjadi mudah, sederhana, dan tidak sulit dijalankan. Landasannya adalah Hadist Nabi Muhammad SAW berikut ini:
وَ إِذَا إِبْتَدَأَ فِى شَيْئٍ قَالَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَ إِذَاأُعْطِيَ نِعْمَةً قَالَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, شُكْرًا لِلنِّعْمَةِ
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan, aktivitas, maupun kegiatan yang kita lakukan akan menjadi ibadah jika dimulai dengan mengucapkan basmalah, dan selanjutnya diakhiri dengan bacaan hamdalah. Hadist ini menyiratkan bahwa ibadah memiliki dua dimensi yaitu dimensi Ilahiyah (Ketuhanan) dan dimensi Mu`amalah (Kemasyarakatan). Ibadah yang memiliki dimensi Ilahiyah disebut dengan Ibadah Mahdhah, seperti sholat, puasa, membaca al-Qur’an, dzikir, dan ibadah yang sifatnya ritualitas. Sedangkan ibadah yang memiliki dimensi Mu`amalah dikenal dengan istilah ghairu mahdhah, seperti zakat, sedekah, makan, minum, bekerja, berolah raga, dan masih banyak lagi kegitan lainnya.
Hadist di atas telah jelas membuktikan bahwa ibadah itu sangat luas cakupannya. Namun tidak hanya itu, sebagai agama yang kaffah (sempurna), islam telah mengatur semua sendi kehidupan kita. Apa pun yang kita lakukan mulai dari bangun tidur, hingga kita tidur lagi telah ada tuntunan dan do’anya. Ini semakin menunjukkan bahwa sangat benar jika tujuan hidup kita pada dasarnya adalah untuk ibadah (illa liya’buduun).
Oleh karena itu Ikhwan, marilah kita jadikan hidup kita sebagai hidup yang penuh dengan nilai ibadah. Kita mulai dengan melakukan hal terkecil yang bisa kita lakukan. Islam itu sungguh indah dan aplikatif. Semoga Allah selalu membukakan hati kita untuk melakukan kebaikan dan melihat keburukan yang harus di hindari.

PARTAI POLITIK ISLAM DI INDONESIA



A.    Pendahuluan
Sistem politik yang digunakan di Indonesia adalah sistem demokrasi. Secara singkat, sistem demokrasi menginginkan adanya peran masyarakat yang lebih besar dalam aktivitas politik. Dengan adanya peningkatan peran masyarakat ini, diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat diawasi oleh masyarakat. Sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemerintah. Dengan demikian demokrasi juga bertujuan untuk membatasi peran otoritas pemerintah agar tujuan kemakmuran bersama dari demokrasi dapat tercapai.
Sistem demokrasi berusaha untuk mengatur pola dan kinerja pemerintahan yang baik melalui pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga yang dikenal dengan istilah trias politika. Ketiga lembaga tersebut adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam sistem demokrasi lembaga legislatif dan lembaga pemilihan umum merupakan penghubung yang sah dan stabil antara rakyat dan pemerintah dalam suatu tatanan masyarakat yang modern. Peranan rakyat dalam lembaga legislatif terepresentasikan oleh wakil-wakil yang dipilih dari partai politik dalam pemilihan umum.
Partai-partai politik saat ini menguasai jalannya sistem pemerintahan di Indonesia. Pasca reformasi, peran partai politik kembali seperti pada era awal kemerdekaan (Orde Lama sebelum Demokrasi Terpimpin). Pada era Orde Lama (Demokrasi Parlementer), sistem politik di indonesia sangat dipengaruhi oleh komposisi kekuatan partai politik. Komposisi ini berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan koalisi dalam upaya membentuk kabinet, khususnya diantara empat partai besar yaitu PNI, Masyumi, PKI dan NU. Namun pada era Orde Baru, peran partai politik digantikan oleh kalangan militer (politik) dan teknokrat (ekonomi). Hal ini disebabkan dengan keberhasilan militer dalam memberantas PKI yang dianggap berupaya menguasai negara. Sehingga kelompok militer ini akhirnya yang menjalankan roda pemerintahan (Liddle 1992:173).
Akan tetapi berakhirnya Rezim Orde Baru seolah menjadi penanda bahwa peran partai politik kembali menguat. Sejak disahkannya UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, jumlah partai politik di Indonesia semakin bertambah. Hal ini dikarenakan Undang-undang tersebut memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk membentuk partai politik setelah sekian lama dikekang pada era Orde Baru. Implikasi dari Undang-Undang tersebut adalah meningkatnya jumlah peserta pemilu 1999 menjadi 48 peserta dari hanya 3 peserta pada pemilu 1997 (KPU.go.id: 40).
Dengan semakin banyaknya jumlah partai politik, maka ideologi politik yang menjadi dasar juga semakin beragam. Sebelumnya pada era Orde Baru berdasarkan pada UU No. 03 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan golongan Karya ditegaskan bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar (Budiardjo 2008: 452-253).  Namun setelah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1999, maka ideologi lain pun diperkenankan untuk digunakan. Sebagai dampaknya muncullah partai-partai dengan beragam asas, termasuk salah satunya Ideologi Islam.
Setidaknya ada 9 partai Islam pada pemilu 1999 dan 7 partai pada pemilu 2004 serta 9 partai pada pemilu 2009 (KPU.go.id: 40-45). Pada pemilu 1999 partai islam mendapatkan 34,2 % suara, dan pad 2004 mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 43,27 % suara. Akan tetapi pada pemilu 2009 jumlah persentase suara partai islam turun drastis menjadi 30 %. Hal ini sangat menarik mengingat sebagian besar jumlah penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dengan demikian, seharusnya potensi kemenangan partai politik islam sangat besar. Akan tetapi kenyataan di lapangan terbalik. Oleh karena itu, dengan melihat pada fenomena di atas, saya tertarik untuk melihat mengapa Partai Politik Islam mengalami penurunan di dalam kondisi mayoritas pemilih beagama islam?
B.     Hubungan antara Islam dan Politik di Indonesia
Sebelum lebih jauh kita mencari alasan mengapa terjadi penurunan persentase pemilih partai politik islam, terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengapa topik mengenai partai politik islam ini perlu diangkat. Kita harus berusaha mencari korelasi antara islam dan partai politik, khususnya di Indonesia. Menurut Bachtiar Effendi (2009) dalam bukunya ”Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia” setidaknya terdapat lima kerangka teoritis untuk memahami relasi antara islam dan politik di indonesia.
-        Dekonfessionalisasi; menyatakan bahwa relasi antara islam dan politik harus dilihat pada politik akomodasi dari berbagai kelompok dan kepentingan untuk menghindari benturan antara kelompok agama dan kepercayaan yang berbeda. Melalui pendekatan ini kita dapat memahami bagaimana masuk dan diterimanya islam dengan jalan yang damai di Indonesia.
-        Domestikasi Islam; menganggap bahwa perbedaan diametral antara kerajaan-kerajaan islam di pesisir utara pulau Jawa yang diwakili Demak, dengan kerajaan Mataram yang sinkretis di pedalaman, dimana terjadi upaya peaklukan kembali oleh kerajaan Mataram atas wilayah yang lebih dahulu dikuasai islam yang dianggap memberontak di pesisir utara Jawa. Teori ini membagi dua kelompok islam yaitu kerajaan pesisir utara dan pedalaman.
-        Skismatik dan Aliran; memandang bahwa terdapat tiga aliran atau kelompok umat islam yang memiliki pandangan berbeda dalam hubungan antara islam dengan negara yaitu kelompok priyayi (kalangan bangsawan), abangan (masyarakat biasa), dan santri (kaum ulama dan muslim taat) yang pada perkembangan selanjutnya kelompok priyayi dan abangan bergabung mengalahkan kelompok santri.
-        Perspektif Trikotomi; berpendapat bahwa relasi antara islam dan negara harus dlihat dari tiga perspektif yang berbeda, yang terdiri dari kelompok militan islam (fundamentalis) yang mendukung jenis penafsiran islam secara kaku dan murni serta menentang pemikiran sekuler, pengaruh barat dan sinkretisme kepercayaan tradisional sekaligus menganggap agama lebih utama daripada negara. Perspektif kedua adalah reformis yang menekankan keutamaan agama atas politik namun lebih dapat bekerjasama dan menerima pemahaman barat atas landasan bersama yang disepakati serta berusaha mencari jalan tengah antar keyakinan agama agar relevan dengan kehidupan modern. Terakhir adalah persektif tradisionalis (akomodasionis) yang lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi harus mendapat prioritas utama  oleh organisasi-organisasi islam.
-        Islam Kultural yaitu kelompok yang tumbuh sebagai respon umat islam atas tekanan Orde Baru atas politik aliran islam yang tidak berkembang. Kelompok ini berusaha masuk dalam lingkaran kekuasaan tanpa melalui partai politik namun berusaha agar kepentingan islam dapat diakomodir melalui kebijakan negara.
Selain itu, Bactiar Effendi juga memberikan teori alternatif untuk memahami hubungan islam dan politik yaitu islam multi-interpretatif. Perspektif ini berupaya untuk melihat islam secara substansial. Dengan kata lain, lebih mengutamakan kepada nilai-nilai islam yang universal seperti keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi politik. Hal ini dikarenakan prinsip inti dari islam (seperti yang disebutkan oleh KH Masdas F. Masudi dalam sebuah seminar di UIN Jakarta) adalah untuk mencapai keadilan sebagai ghayah (tujuan) dan sarananya (manhaj) adalah melalui jalan musyawarah.
C.    Kemunduran Partai Politik Islam
Penurunan tingkat elektabilitas partai politik islam pada pemilu 2009 tidak dapat hanya dilihat sebagai menurunnya kepercayaan publik (umat islam) terhadap partai-partai islam, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Setidaknya ada tiga aktor yang menjadi penyebabnya yaitu terjadi perubahan pandangan umat islam secara menyeluruh terhadap hubungan antara islam dan politik, sistem demokrasi dan kebebasan, serta terakhir disebabkan oleh sistem pemilu yang digunakan.
1.      Perubahan Pandangan terhadap Hubungan Islam dan Politik
Untuk memahami bagaimana terjadinya perubahan pandangan umat secara mayoritas terhadap pola relasi antara islam dan politik adalah dengan menggunakan pendekatan islam kultural dan islam multi-interpretatif. Dasar dari kedua perspektif di atas adalah bagaimana agar kepentingan islam dapat terakomodir dengan baik dalam politik (negara). Seiring dengan usaha dari kalangan intelektualis untuk menyatakan bahwa nilai-nilai islam berjalan seiringan dengan nilai-nilai demokrasi, maka keinginan untuk membawa islam secara formalistik cenderung menurun. Tetapi lebih mengedepankan pada hal-hal yang substansial. Artinya selama nilai-nilai islam terakomodir, maka simbol-simbol keislaman tidak terlalu dikedepankan.
Fenomena semacam ini terlihat secara jelas pada pemilu 2009. Perbedaan antara partai-partai politik islam dengan partai-partai yang berasas lain semakin kabur. Apalagi jika dilihat dari ’janji-janji politik’ yang ditawarkan. Selain itu, pencitraan dari partai politik nasionalis juga lebih mengakomodir aspirasi umat islam. Seperti PDI Perjuangan yang sebelumnya merepresentasikan diri sebagai partai nasionalis sekuler terus berusaha untuk mengakomodir kelompok islam, misalnya dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia. Selain itu, partai Demokrat juga menampilkan citra sebagai partai yang nasionalis religius. Juga dengan Partai Golkar yang masih banyak diminati oleh tokoh-tokoh muslim dan juga umat islam. Tentu saja ini semakin merubah konstelasi politik islam pasca reformasi.
Perubahan-perubahan konstelasi politik ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perilaku politik pemilih dalam pemilihan umum. Ditambah dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap politik yang lebih mengutamakan nilai-nilai substansial dengan tidak melihat pada simbol-simbol yang diusung oleh partai, membuat pilihan pemilih semakin beragam. Selain itu, juga meningkatnya peran civil society melalui kelompok-kelompok penekan dari kaum profesional dan intelektual islam semakin membuat masyarakat tidak lagi terlalu terpaku pada partai politik sebagai sarana penyalur aspirasi.
Secara luas, kita juga dapat melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara semakin mengakomodir kepentingan umat islam. Misalnya dengan pemberian hak otonomi khusus bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syari’at islam. Selain itu juga, banyaknya undang-undang yang dikeluarkan terkait dengan islam, seperti UU Perbankan Islam, UU Sukuk, dan kebijakan lainnya semakin mempengaruhi cara pandang masyarakat. Banyaknya kekerasan-kekerasan atas nama islam juga turut berdampak dalam merubah cara pandang umat.
2.      Sistem Demokrasi dan Kebebasan Politik
Dalam sistem demokrasi, kebebasan politik sangat dikedepankan. Artinya persaingan akan sangat terbuka bagi semua partai untuk mendapatkan simpati dari para pemilih. Selain itu, ruang kebebasan politik yang diberikan oleh demokrasi membuat partisapasi masyarakat semakin meningkat tidak hanya dalam bentuk prosedural pada pemilihan umum. Tetapi juga melalui berbagai macam kegiatan politik untuk menyampaikan aspirasi politik. Seperti dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan organisasi non-partai lainnya. Sebagai kelompok mayoritas, aspirasi umat islam tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh negara. Artinya partai apapun yang memegang pemerintahan harus mengakomodir aspirasi umat islam jika tidak ingin citra partainya menjadi buruk.
Selama ini, belum ada partai islam yang menjadi pemegang kendali pemerintahan. Sehingga melihat pada kebijakan-kebijakan akomodatif partai-partai yang bukan berasas islam tentu akan mempengaruhi penilaian msayarakat. Masyarakat menganggap bahwa ternyata partai yang bukan berasas islam pun sudah cukup mengakomodir kwpwntingan umat islam, meskipun tidak secara keseluruhan. Tetapi yang dilihat adalah bagaimana prinsip-prinsip substansialnya. Selain itu, dalam sistem demokrasi, akses terhadap instrumen-instrumen demokrasi seperti media massa juga berpengaruh. dengan akses yang besar terhadap media massa, terutama televisi, membuat partai semakin mudah untuk mencitrakan diri. Hal ini dikarenakan kekuatan media massa lebih besar pengaruhnya dari pada kekuatan jaringan kader. Apalagi jika melihat gejala politik saat ini yang cenderung pragmatis. Artinya partai politik hanya dijadikan jalan untuk mendapatkan jabatan politis. Sehingga program pengkaderan dalam partai politik semakin terhambat. Dan tentu ini akan semakin sulit untuk partai politik yang aksesnya terhadap media massa tidak terlalu luas. Inilah yang sebagian besar dialami oleh partai politik islam, karena tidak memiliki kekuatan finansial yang besar.
3.      Sistem Pemilihan Umum
Sistem pemilu yang diterapkan juga membawa pengaruh yang cukup siginifikan. Seiring dengan pergantian dari model proporsional tertutup menjadi model proporsional terbuka membuat masyarakat dapat memilih wakil secara individu. Model ini membuat pemilih tidak hanya melihat pada partainya saja, tetapi juga mempertimbangkan calon-calon yang diusung oleh partai politik. Artinya bahwa jika ada tokoh umat yang tidak menjadi calon dari partai politik islam juga akan sangat berpengaruh. Karena pola masyarakat indonesia yang sangat mengedepankan sosok figur, maka akan membuat masyarakat lebih memilih calon dari pada melihat partai.
Dalam sistem pemilu seperti ini, tentu saja bukan hanya kedibilitas partai yang diutamakan, tetapi juga pilihan kader atau tokoh yang diusung. Dengan demikian, strategi partai harus menggunakan kedua matra kekuatan tersebut secara bersamaan. Dan menurut saya, pilihan kader dan tokoh ini memiliki panegaruh yang sangat signifikan. Karena tidak hanya elektabilitas, tetapi juga tingkat popularitas dan citra tokoh atau calon turut mempengaruhi perolehan suara.
D.    Masa Depan Partai Politik Islam         
Seperti yang telah diumumkan oleh KPU beberapa waktu yang lalu, bahwa jumlah partai politik yang berhak mengikuti pemilu pada 2014 hanya sepuluh partai politik. Dengan demikian, berarti hanya terdapat 4 partai politik islam (PPP, PKB, PKS, dan PAN) yang menjadi peserta pemilu 2014 mendatang. Oleh karena itu, tugas keempat partai tersebut sangat berat untuk kembali menarik perhatian dari para pemilih. Apalagi tokoh-tokoh yang berpotensi menjadi Presiden berdasarkan survey-survey berbagai lembaga tidak mengunggulkan tokoh-tokoh dari kempat partai tersebut. Tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi keempat partai tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Effendi, Bachtiar. 2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina. Jakarta.
KPU.go.id, “BAB V: Hasil Pemilu,” diakses pada 16 Oktober 2012 dari http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf
Liddle, R. William. 1992. Partisipasi & Partai politik: Indonesia pada awal Orde Baru. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.