Rabu, 13 Juni 2012

Hubungan China dan Timur Tengah


Review dari Tulisan Tareq Y. Ismael yang berjudul "The People’s Republic of China and the Midle East'

 Hubungan China dengan negara-negara di Timur tengah dan Afrika dimulai ketika dilakukannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Negara-negara Arab tidak mengakui pemerintahan komunis di China, justru sebaliknya mereka malah mengakui pemerintahan Chiang Kai-Shek di Taiwan. Dan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang mengakui China adalah Israel. Oleh karena itu, China berinisiatif untuk menjalin hubungan dengan negara-negara Afrika-Timur Tengah dengan memanfaatkan Konferensi Bandung 1955.
Negara pertama yang berusaha didekati oleh China adalah Mesir. Hubungan yang pertama kali dibina adalah hubungan ekonomi. Dan sekitar sebulan kemudian, hubungan diplomatik antara Mesir dan China resmi terjalin. Dua bulan setelah hubungan diplomatik ini terbangun, Suriah juga mengikuti mesir dengan mengakui China. Dukungan China terhadap Mesir terutama ketika terjadi krisis terusan suez. China secara konsisten mendukung Mesir. Inisiasi-inisiasi lainnya yang coba dilakukan China untuk menarik simpati negara Afrika-tengah dalah dengan mengakui kemerdekaan sudan pada 1956, menjalin hubungan dagang dengan Maroko dan Tunisia, dan mendukung perjuangan nuntuk melawan imperialisme seperti yang dilakukan oleh algeria dan negara-negara yang lainya.
Namun, inisiasi-inisiasi China ini tidak serta merta membuatnya memiliki peranan yang signifikan di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh Amerika Serikat dan uni Soviet. Persaingan yang paling menonjol adalah dengan Uni Soviet. Disatu sis antara China-Soviet berusaha meng-counter Amerika Serikat, tapi di sisi lain kedua negar tersebut juga saling bersaing. Salah satu contoh persaingan teersebut adalah dalam kasus Algeria. Hal ini berkaitan dengan tawaran dari Presiden Charles de Gaulle untuk Self-determination  bagi Algeria. Uni Soviet mendukung, sementara China menolak usulan ini.
Pertentangan antara China Dan Soviet dalam mendukung anti-imperilaisme dipengaruhi oleh pengalaman sejarah keduanya. China berusa untuk menekankan pada perjuangan dengan mengangkat senjata, sementara Soviet lebih menekankan pada upaya damai melalui diplomasi. Keduanya memamng sama-sama menekankan pada ideologi komunisme, tapi perbedaanya adalah bahwa reolusi menurut Soviet harus terlebih dahulu dilakukan dengan revolusi terhaap kaum borjuis. Sedangkan menurut China revolusi harus langsung dilakukan oleh kelompok komunis (Communist party) baik oleh masyarakat, buruh maupun kalangan borjuis. Klaim China adalah Imperialis sama dengan perang, sedangkan sosialis sama dengan damai. Jadi sosialis harus diusung dengan melakukan revolusi komunis melalui perjuangan senjata melawan imperialisme.
Salah satu inisiasi yang sangat fenomenal adalah dukungan material yang diberikan China kepada Palestina dalam upaya untuk mendukung perjuangan Palestina. Isu tentang Palestina adalah isu yang paling sengit. Hal ini karena danya dukungan dari Amerika Serikat kepada Israel. Sedangkan China dalam dialognya dengan Shuqairy menyatakan komitmennya untuk mengirim bantuan material (senjata). Hal ini didukung dengan ucapan Choun En-lay bahwa China akan memberikan persahabatan dan bantuan. Tidak seperti Soviet yang hanya memberikan hubungan persahabatan, namun tidakmemberikan bantuan.
Dukungan lainnya yang diberikan oleh China untuk memunculkan peran dan pengaruhnya di kawasan tersebut dengan memberikan dukungan pada  Dhofar Benevolence dalam Dhofari Revolution. Gerakan revolusi ini terjadi di Oman. Pada awalnya organisasi ini tidakmendapat dukungan samasekali dari dunia internasional. Namun dukungan selanjutnya datang dari Yaman dan China. Yaman mendukung berdasarkan pada alasan ideologis dan geopolitik dan berperan sebagai perantara antara China dan Dhofari. Sedangkan China memberikan bantuan nasehat militer, mengadakan pelatihan militer di peking bagi gerilyawan Dhofari.
Prinsip[1] dan tujuan[2] polugri China
Prinsip polugri china berdasarkan pada teori yng menyatakan bahwa tatanan dunia hanya dapat dicapai melalui perjuangan revolusioner oleh penduduk yang tertindas melawan eksploitasi. Semua kebijakan dilandaskan pada retotika revolusioner yang mempercayai motivasi kepentingan nasional. Tem yang menjadi prinsip politik luar negeri China di Tmiur-tengah dan Afrika adalah anti-imperialisme. Setidaknya ada lima prinsip China dalam berhubungan dengan negar-negar Arab.
1.      China mendukung rakyat arab dalam perjuangan mereka melawan imperialisme dan neo-kolonialisme, memenanginya dan melindungi kemerdekaan mereka.
2.      China mendukung kebijakan damai, netralitas, dan non-blok pemerintah negara-negara arab.
3.      China mendukung keinginan rakyat arab untuk meraih solidaritas dan persatuan dalam gaya pilihan mereka.
4.      China mendukung negara-negara arab dalam upaya mereka menyelesaikan sengketa mereka melalui konsultasi damai.
5.      China beprinsip bahwa kedaulatan negara-negar arab harus dihormati oleh semua negara dan pelnggaran teritori dan intervensi harus dilawan.
Sebenarnya, ketika China mengeluarkan kelima prinsip politik luar negeri tersebut pada 1964, China belum memiliki kepentingan baik ekonomi maupun strategis. Kepentingan utama China dalam melakukan hubungan dengan kedua kawasan tersebut adalah didasarkan pada kepentingan persaingan dengan Uni Soviet. Persaingan ini lebih kepada perbedaan pandangan antara china-Soviet dalam kaitan posisi barat di Afrika dan Timur-tengah. Dalam pandangan China, hubungan ko-eksistensi dengan barat (pendekatan baru Uni Soviet) adalah ancaman bagi perkembangan komunisme dan terutama bagi kepentingan China di Asia. Jadi kepentingan China di kawasan tersebut adalah untuk menghilangkan pengaruh barat dan berusaha menjadikan Uni Soviet untuk beroposisi terhadap barat.
Namun selanjutnya, hubungan china dengan kawasan ini semakin memiliki peran yang penting bagi China. Terutama sebagaisumber supply energi bagi China. Hubungan ekonomi ini semakin lama semakin meningkat dan tentu memiliki nilaikomersilyang tinggi bagi China.


[1] Prinsip politik luar negeri merupakan refleksi ideologis.
[2] Tujuan (sasaran) politik luar negeri adalah manfaat dari motivasi geopolitik, startegik, dan ekonomi yang dimediasi oleh ideologi.

Definisi Timur Tengah


Review dari tulisan Pinar Bilgin yang berjudul “Whose ‘Middle East’ ? Geopolitical Inventions and Practices of Security”


Sejak terjadinya serangan terhadap Amerika pada 11 September 2001 yang menghancurkan menara WTC yang notabene merupakan salah satu simbol kejayaan Amerika. Dunia islam menjadi sorotan utamanya, karena penyerangan itu dianggap dilakukan oleh kelompok militan Timur Tengah. Dan secra otomatis, Timur Tengah pun kembali menjadi perhatian utama. Mengacu pada peristiwa ini, banyak para ilmuwan yang berpendapat bahwa diperlukan adanya teori atau pendekatan baru dalam menjelaskan dan menganalisa dinamika di daerah ini. Karena pendekatan sebelumnya dianggap kurang sempurna dalam menjelaskan dinamika yang terjadi di Timur Tengah.
Pendekatan realis yang digunakan sebelumnya memang masih relevan untuk menjelaskan kondisi di Timur Tengah. Tapi pendekatan baru seperti pendekatan kritis yang melalui konsep keamanannya telah teruji mampu menjelaskan kondisi di Eropa barat, ternyata juga relevan jika digunakan untuk menjelaskan dinamika yang terjadi di Timur-Tengah. Dalam pandangan pendekatan kritis, terhadap hubungan antara pembentukan daerah dengan konsep keamanan. Artinya bahwa konsep keamanan dibentuk sesuai dengan isu wilayah yang melatarbelakanginya.
Artikel yang ditulis oleh Pinar Bilgin ini berusaha menjelaskan bahwa pendekatan kritis dari konsep keamanannya relevan dalam menjelaskan masalah keamanan regional di Timur Tengah. Pertanyaan utama yang diberikan oleh Bilgin adalah apa yang diamaksdu dengan Timur-Tengah. Konsep wilayah (yang berkaitan dengan konsepsi keamanan) berasal dari bagaimana suatu wilayah itu ditemukan. Sehingga dapat disebut region as geopolitical inventions. Seperti yang telah umum dalam pembahsan mengenai kawasan dalam studi hubungan internasional, batasan mengenai wilayah Timur Tengah ini sendiri tidak jelas. Oleh karena itu Bilgin memberikan  setidaknya ada 4 konsepsi bagi wilayah ini yaitu, Middle East, Arab Middle East, Muslim Middle East, dan Mediterranean Middle East.
Middle East. Konsepsi mengenai middle east ini selalu berkaitan dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Konsepsi ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi keamanan barat karena menyangkut pengamanan terhadap kepentingan minyak (untuk mengendalikan harga), usaha untuk menyelesaikan konflik antara Arab Islael, dan mencegah munculnya islamisme sebagai hegemon baru di kawasan serta untuk mengupayakan hubungan yang harmonis dengan rezim-rezim yang berkuasa di sana agar kepentingan Amerika dan sekutunya tidak terganggu.
Dalam pandangan barat, daerah ini merupakan daerah yang mereka anggap sebagai lumbung energi utama, terutama sebagai penyuplai minyak. Oleh karena itu mereka berupaya agar daerah ini tidak samapai terpengaruh oleh kekuatan komunis dan Uni Soviet. Oleh karena itu mereka berupaya untuk merangkul para pemimpin negara-negara di kawasan untuk menjaga kondusifitas dan kstabilitas keamanan regional. Diantara dengan membentuk East Defence Organisation (1951) dan the Baghdad Pact (1955).
Konsepsi Middle East yang sangat bernuansa keamanan dalam pandangan Amerika juga dapat dilihat dari adanya invasi ke Irak pada 2003 dengan alasan adanya Weapon Mass Destruction yang dianggap dapat mengganggu kestabilan kawasan. Kuatnya nuansa kepentingan AS semakin terlihat paska 9/11 ketika AS menyatakan dukunganny untuk menciptakan kawasan yang bebas dan aman. Dukungan ini dibuktikan dengan adanya semacam latihan militer bersama sebagai upaya untuk melakukan kontrol terhadap wilayah tersebut demi kepentingan energi AS dan sekutunya. Dalam perspektif Middle East ini sangat erat nuansa keamanananya.
Arab Middle East. Negara-negara Arab menganggap bahwa konsepsi Midlle East  merupakan pelecehan terhadap persatuan Arab dan terlalu condong ke Amerika Serikat. Oleh karen itu konsep Arab Middle East ini ditujukan untuk membangun persatuan negara-negara arab melalui doktrin pan-arabisme sebagai upaya untuk menciptakan daerah yang aman baik dari pengaruh Amerika Serikat maupun Uni Soviet.
Pemberian label Middle East oleh Amerika dan Ingriss dianggap sebagai upaya untuk menghapus label Arabisme dari tatanan internasional. Padahal menurut orang-orang arab sendiri, label Arab Middle East ini lebih pantas dan cocok untuk menyatakan eksistensi dunia arab dalam tatanan global. Dengan konsepsi ini, menurut kalangan pendukungnya dianggap akan memberikan kemudahan untuk menganalisa hubungan dunia arab dengan negara-negara tetangga (Iran, Israel, dan Turki) serta dengan kalangan internasional lainnya.konsepsi ini berargumen bahwa jika menggunakan konsepsi Midlle East akan mencampuradukkan antara kepentingan arab dan non- Arab (Israel, Iran, Turki). Ada dua pandangan berbeda yang dikemukakan oleh dua orang ahlu mengenai konsepsi ini. Pertama Baghat Korany, yang menekankan keamanan pada masyarakat sipil dan Ali Eddin Hillal Dessouki dan Jamil Mattar yang menekankan keamanan pada stabilitas negara-negara Arab.
Muslim Middle East. Kata muslim memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu masyarakat transnasional yang mencakup seluruh dunia. Dalam perspektif ini, keamanan didefinisikan menjadi dua, yaitu sebagai berkurangnya pengaruh islam yang berakibat sulitnya untuk mencapai masyarakat muslim yang lebih besar dan kedua semakin meningkatnya perilaku-perilaku non-islami (intervensi asing) yang menjadi ancaman bagi mereka. Jiak dari kedua konsepsi sebelumnya, keamanan selalu diidentikan dengan militerisme. Maka dalam konsepsi muslim middle east ini, kemana dilihat dari dimensi non-militer yang menjadikan islam sebagai identitas keagamaan, dan jihad merupakan suatau bentuk perjuanagn untuk menghilangkan penindasan struktural. Dalam konsepsi ini berupaya untuk membangun suatu masyarakat muslim tanpa adanya penindasan kelas sosial.
Mediterranean Middle East. Konsepsi ini merupakan bentukan Uni Eropa sebagai upaya merek untuk menanggulangi adanya penyebaran konflik di Timur-Tengah menyebar ke Eropa. Selain faktor keamanan Uni Eropa dari ancaman imigrasi penduduk dari Timur-Tengah, khususnya kawasan Mediterania, ada juga faktor lainnya yaitu faktor keamanan supply energy bagi Uni Eropa. Kelangkaan supply energy ini terjadi karena adanya embargo dari OPEC pada 1973. Oleh karena itu, eropa mengajak negara-negara mediterania untuk bekerjasama.
Skema yang ditawarkan oleh uni eropa adalah kerjasama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan mediterania. Dengan demikian tingkat pendapatan penduduk mediterania akan meningkat sehingga dapat menurunkan tingkat imigrasi ke eropa. Yang berarti bahwa mengurangi kemungkinan uni eropa terkena imbas dari krisi yang ada di timur tengah. Dengan demikian, ada tiga alasan yang melatarbelakangi uni eropa menciptakan konsepsi Mediterania ini, yaitu keamanan energy, stabilitas regional yaitu negara-negara Afrika Utara yang berdekatan secara geografis dengan Eropa, dan upaya penyelesaian konflik Arab-Israel.

Review: The Latin American Equilibrium


tulisan ini merupakan Review terhadap tulisan James A Robinson dalam buku Francis Fukuyama. Falling Behind: Explaining The Development Gap Between Latin America and The United States (New York: Oxford University Press, 2008) pp. 161-193.

Bidang yang paling menarik untuk dikaji dari kawasan Amerika, terutama Amerika Latinadalah bidang ekonomi. Hal ini karena kesenjangan ekonomi antara negara-negara Amerika Latindengan mantan penjajahnya ternyata lebih besar. Padahal sekarang ini adalah era modern yang seharusnya kemajuan ekonomi dicapai lebih baik dari sebelumnya. Hal lain yang menarik terjadinya perubahan sentralitas kemajuan ekonomi. Jika sekarang negara yang mengalami kemajuan perekonomian yang pesat adalah negara seperti Kanada dan AS, pada era kolonialisasi negara yang maju secara ekonomi adalah neggara-negara seperti Meksiko, Peru, dan Bolivia.
Mungkinkah hal ini disebabkan oleh kolonialisasi dari Eropa? Padahal, seharusnya kedatangan Eropa ke Amerika berdampak positif, karena membawa kemajuan teknologi yang yanng tumbuh di Eropa. Dengan hadirnya teknologi baru ini memungkin masyarakat Amerika Latin bisa mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pesat. Namun yang terjadi jjustru sebaliknya, sejak terjadinya kolonialisasi ini, justtru ketimpangan semakin meningkat. Banyak data yang menunjukan setelah kedatangan orang Eropa, justru kesejahteraan semakin menurun.
Selanjutnya bagaimana menjelaskan kenyataan ini. Tidak hanya perbedaan tinkat kesenjangan dengan mantan penjajahnya saja, tetapi juga terjadi kesenjangan dengan negara-negara di Amerika Utara seperti Kanada dan Amerika Serikat. Pertanyaannya adalah mengapa Amerika Latin mengalami stagnansi? Setidaknya ada tiga hipotesis yang telah ditawarkan oleh para peneliti, yaitu hipotesis Hipotesis Geografis, Lembaga (institusi), dan Budaya.
Hipotesis Geografis berpendapat bahwa letak geografis suatu negara menentukan kemakmurannya. Ada tiga versi utama dari hipotesis ini, yaitu pertama iklim menjadi faktor penting pada usaha kerja, insentif, dan produktivitas. Di Amerika Latin, umumnya beriklim tropis yang berarti beriklim panas yang akan berdampak pada daya tahan tubuh. Kedua, geografi menentukan teknologi yang tersedia,  terutama untuk bidang pertanian. Dan yang ketiga adalah diseas burden, faktor penyakit akan mempengaruhi efektivitas dan produktivitas.
Selanjutnya adalah hipotesis kelembagaan (institusi). Institusi adalah aturan dan norma-norma yang menentukan insentif dan kendala yang dihadapi individu dalam masyarakat. Institusi yang dimaksu bisa berupa institusi ekonomi maupun politik. Menurut hipotesis ini, elemen institusi yang paling penting adalah tentang hak kepemilikan (property rights) secara luas. Dengan adanya hak kepemilikan ini, individu bisa mendapatkan insentif yang nyata dari investasi yang dilakukan dan berkontribusi terhadapa perkembangan ekonomi.
Hipotesis terakhir adalah hipotesis kebudayaan. Budaya didefiniskan sebagai keyakinan dan nilai-nilai. Hipotesis kebbudayaan ini bersumber dari pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa reformasi protestan berperan penting dalam kebangkitan kapitalisme. Keyakinan yang ada dalam ajaran protestan menekankan pada kerja keras, berhemat dan menabung.
Namun James A Robinson menganggap bahwa dalam konteks Amerika Latin, hanya hipotesis kelembagaan yang berperan dominan. Sementara kedua hipotesis lainnya kurang bisa dipertanggungjawabkan, karena tidak memiliki bukti sejarah yang kuat. Menurut Robinson, faktor geografis tidaklah menjadi alsan kuat bagi terjadinya stagnansi di Amerika Latin. Buktinya adalah apa yang dialami oleh kolombia. Kolombia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang lumayan maju pada abad ke dua puluh. Padahal secara geogarfis, ibu kota Kolombia berada pada 9.000 kaki di atas gunung dan 1.000 km dari pantai.
Mengenai hipotesis budaya, Robinson juga menolaknya. Budaya seperti yang dijelaskan oleh para peneliti berasal dari keyakinan dan nilai-nilai yang dibawa oleh penjajah. Spanyol sebagai penakluk terbesar di Amerika Latin memang  beraliran katolik, sedangkan Inggris yang merupakan negara penjajah Amerika dan Kanada beraliran protestan. Secara kasat mata, teori yang dijelaskan Weber ada benarnya. Namun menurut Robinson, jika kita lihat lebih jauh, jangan hanya membandingkan dua aliran yang berbeda. Tapi juga membandingkan antara negara jajahan dari aliran yang sama.
Contohnya adalah antara AS dan Kanada dikomparasikan dengan kondisi di Sierra Leone Guyana. Padahal mereka semua adalah bekas jajahan Inggris yang notabenenya beraliran protestan. Dan ternyata, kondisi di kedua wilayah tersebut berbeda. Hal ini jelas menunjukan aspek budaya tidak memilikimpengaruh yang signifikan terhadapo kemajuan ekonomi, atau lebih tepatnya bukan menjadi faktor dominan penyebab stagnansi  di Amerika Latin.
Robinson lebih tertarik dengan hipotesis kelembagaan. Menurutnya hipotesis ini lebih meyakinkan dalam memberikan analisis-deskriptif terhadap stagnansi yang terjadi dalam perkembangan perekonomian dan besarnya ketimpangan antara Amerika Latindengan AS.selain itu, bukti sejarah sainntifik juga telah membuktikannya. Berdasarkan data yang disajikan oleh Polical Risk Services menunjukan bahwa ada keterkaitan antara jaminan keamanan property right (hak milik) dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) perkapita. Data ini menerangkan bahwa negara lembaga ekonomi yang lebih baik memiliki pendapatan rata-rata yang lebih tinggi.
Selain itu, masalah kesetaraan dalam masyarakat juga menjadi hal yang menentukan. Dengan tidak adanya monopoli terhadap akan memberi akses peluang ekonomi yang lebih menguntungkan. Selain institusi ekonomi, lembaga politik juga menentukan tingkat kemakmuran. Karena semakin kecil kendala birokratik  yang dihadapi akan semakin mudah investasi masuk. Selain itu, transparansi eksekutif juga berpengaruh. Tranparansi ini bisa dicapai melalui check and balance dan pemisahan kekuasaan. Fakta menunjukan bahwa negara dimana kekuasaan eksekutif dibatasi cenderung makmur.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa lembaga baik institusi ekonomi mapun politik di Amerika Latinlebih buruk dari pada institusi yang ada di AS dan Kanada misalnya. Hal ini dapat dijelaskan dari faktor demografis. Kepadatan penduduk menjadi alasan utamanya. Bangsa Eropa akan memperkenalkan institusi yang lebih baik di daerah yang kepadatan penduduknya (terutama penduduk pribumi) sedikit. Sedangkan di tempat dimana penduduk pribumi menjadi mayoritas, bangsa Eropa tidak memeperkenalkan sistem kelembagaan yang lebih baik. Hal ditujukan untuk menjaga kontrol Eropa terhadap sumberdaya potensial yang tersedia baik alam maupun manusia. Di wilayah yang penduduk pribumi lebih besar, Eropa bisa mengekploitasi mereka melalui pajak, upeti, atau dijadikan sebagai pekerja paksa.
Sedangkan di wilayah yang penduduk aslinya lebih sedikit, Eropa berusaha menciptakan institusi ekonomi dan politik yang lebih baik. Meskipun diwilayah tersebut tingkat keamanan lingkungannya tidak baik, justru hal ini menjadi tantangan bagi mereka untuk bisa membangun sistrem yang dapat membuat mereka survive. mereka akan saling menghargai property right masing-masing.
Uniknya dari kondisi di Amerika Latin ini adalah bahwa perubahan demi perubahan telah terjadi di Amerika Latin untuk menuju perubahan yang lebih baik. Namun mengapa sistem institusi seperti ini masing tetap bertahan dan berlanjut hingga sekarang ini. Bagaimana institusi-institusi seperti ini berasal dan bagaimana kondisi ini terus berlanjut? Spanyol, sebagai pihak kolonial pada 1492 menciptakan seperangkat institusi ekonomi untuk mengeksploitasi kekayaan penduduk asli dan membangun institusi politik yang totaliter dan sentralisasi pada elit Spanyol untuk mengkonsolidasikan kekuatan mereka.
Setelah Peru dan Bolivia berhasil ditaklukan, maka dibentuklah sistem ekonomi yang membuat penduduk pribumi harus membayar sewa pada penjajah.  Institusi-institusi yang muncul untuk melancarkan eksploitasi ini seperti encomienda (yang memberikan hak bagi kelompok penjajah untuk menjadikan tenaga asli sebagai pekerja)), mita (sistem kerja paksa yang digunakan di pertambangan dan pekerjaan umum), dan repartimiento (memaksakan penjualan barang-barang pada penduduk asli, biasanya dengan harga yang sangat tinggi).
Faktor-faktor yang menentukan kegiatan kolonial adalah apakah masyarakat pribumi memiliki pertanian intensif permanen, lokasi desa dan kota yang stabil, mekanisme upeti yang kuat, dan yang lebih penting adalah jumlah penduduk pribumi yang besar. Lembaga lainnya dibentuk sebagai penunjang adalah institusi hukum yang diskriminatif terhadap penduduk lokal (asli) dan kesaksian mereka yang terbatas di pengadilan. Lebih jauh lagi pemerintah Spanyol berusaha melakukan monopoli dan membuat kebijakan merkantilisme untuk meningkatkan keuntungan bagi kerajaan Spanyol. Institusi-institusi yang dibentuk tidak memberikan peluang bagi penduduk asli untuk terlibat atau berinvestasi di pekerjaan yang mereka inginkan. Bahkan keamanan property  right penduduk pribumi tidak terjamin.
Kondisi ini terus bertahan hingga sekarang. Hal ini bisa dijelaskan dengan persistensi equilibrium (keseimbangan) adalah hasil apa yang tetap dilakukan hingga sekarang. Meskipun setiap kali terjadi perubahan politik di Amerika Latin yang diiringi dengan penghapusan sistem yang bersifat eksploitatif, tapi tetap saja pemerintahan yang baru kembali membentuk sistem yang baru yang merupakan pembaharuan dari sistem ekploitasi yang ada sebelumnya. Jadi, institusi politik sangat berperan dalam mempertahankan kondisi ini. Persistensi political equilibrium yang mendasari strategi redistribusi pendapatan dan kontrol yang ditekankan. Pemerintah dalam tidak melakukan investasi di public goods.
Menurut Robinson, untuk melengkapi pemahaman kita terhadap kondisi di Amerika Latin, perlu memperluas gagasan kita tentang persistensi keseimbangan institusional. meskipun lembaga-lembaga ekonomi dan politik tertentu dapat berubah, dan bahkan jika elit yang ada hancur, struktur yang mendasari dan insentif yang memunculkan keseimbangan sebelumnya masih tetap memungkinkan. Hal ini sesuai dengan teori iron law of oligarchy milik Robert Michels yang menyatukan bahwa perubahan sosial yang radikal karena elit baru yang muncul hanya akan melakukan sedikit perubahan.
Salah satu cara untuk keluar dari kondisi ini bagi Amerika Latin adalah dengan harus melakukan restrukturisasi institusi politik secara bertahap dan mengembangkan transparansi dalam pemerintahan. Masyarkat dan pemerintah Amerika Latin harus melakukan transisi menuju political equilibrium yang akan menhasilakn public goods, jaminan keamanan property right tidak adanya monopoli. Selain itu, juga harus melakukan reformai politik dengan membatasi peran presiden melalui check and balances serta sikap yang transparan. 

Neo-Liberalisme dalam HI



Neo-Liberalisme muncul sebagai respon terhadap penjelasan tentang sistem internasional yang anarki milik neo-realisme. Dalam pandangan Neo-realisme, sifat dasar dari sistem internasional adalah anarki (Perwita & Yani 2006, p. 25). Anarki berasal dari bahasa yunani anarkhos yang berarti tidak ada aturan. Lebih jauh anarki didefinisikan sebagai tidak adanya suatu entitas yang dapat mengontrol sistem dunia secara keseluruhan (Griffiths and O’Callaghan 2002, p. 2-3). Menurut Kenneth Waltz sistem internasional dijalankan oleh negara-negara berdaulat yang saling memperjuangkan kepentingan nasional, terutama aspek keamanan. Karena masing-masing negara berusaha untuk mencapai tujuannya tersebut, maka perilaku negara cenderung konfliktual. Oleh karena itu, Waltz mengatakan bahwa international anarchy is the permissive cause of war (Weber 2010, p. 13-14).
Teori neo-liberalisme memiliki pandangan yang sama dengan pandangan neo-realisme mengenai sifat sistem international. Namun mereka menolak bahwa hubungan antar negara cenderung konfliktual. Menurut Bruce Ruset, Harvey Star, dan David Kustella seperti yang dikutip oleh Banyu Perwita (2006, p. 27) bahwa sifat dasar dari interaksi antar negara adalah kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama. Inilah yang menjadi pertanyaan Keohane dan neo-liberalis yang lain mengapa negara melakukan kerjasama dalam kondisi sistem internasional yang anarki? Padahal jika mengacu pada penjelasan yang dimiliki neo-realisme di atas, tentunya akan terjadi konflik antar negara.
Menurut Karen A Mingst (2003, p. 64-65) penyebab kerja sama salah satunya adalah karena setiap negara saling membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian mereka akan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya secara terus menerus. Sedangkan menurut Keohane, kerjasama terjadi karena adanya mutual interest di antara masing-masing aktor (Suhr 1997, p. 109). Lebih lanjut Banyu Perwita menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti bidang pollitik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut akan memunculkan kepentingan yang beranekaragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi dari berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional (2006, p. 34).
Menurut Burchil (Burchil 2009, p. 65) dalam suasana hubungan yang kompetitif, negara akan berusaha untuk memaksimalkan absolute gain. Dengan tujuan ini, negara-negara tentunya akan berusaha untuk bekerjasama semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa mengorban pihak yang lainnya. Ketika hubungan kerjasama telah terjalin dengan sangat erat, maka akan tercipta interdependensi yang membuat mereka bisa mengkalkulasi sebesar apa kerugian yang akan didapat jika mereka tidak bekerja sama.
Dalam suatu kerjasama, tentu sering terjadi friksi, miskomunikasi, atau hambatan-hambatan lainnya yang berpotensi menimbulkan masalah. Jika masalah tersebut membahayakan kepentingan negara, maka sifat agresifitas negara tentunya akan muncul, terutama bagi negara yang memiliki kapabilitas militer yang kuat. Karena kepentingan nasional merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para pengambil keputusan dalam menafsirkan situasi internasional dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang penting. Oleh karena masalah keamanan adalah masalah yang serius dan penting dan hal ini diakui oleh Neo-Liberalisme, maka perlu dibentuk institusi. Dengan demikian institusi akan membuat keamanan menjadi mungkin dijaga, terutama bagi negara yang lemah dalam kapabilitas militer (Mingst 2003, 65).
Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institution sebagai instrumen utamanya. Dengan demikian, teori ini menekankan pada pentingnya kehadiran sebuah institusi dalam kerjasama. Institusi, menurut James A. Robinson (2008, p. 166) adalah aturan dan norma-norma yang menentukan insentif dan kendala yang dihadapi individu dalam masyarakat. Definisi ini hampir mirip dengan definisi yang dikeluarkan oleh Keohane. Menurut Keohane (1989, p. 3) institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan, dan praktek-praktek yang menentukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan.
Teori Neo-Liberalisme membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama. Tindakan Negara sangat bergantung pada pengaturan institusi yang berlaku.  Institusi dalam teori ini memegang peranan yang begitu penting, karena institusi dapat membentuk perilaku aktor agar merespon insentif kerjasama, mengatasi masalah kecurangan dalam bekerjasama, serta masalah miskomunikasi antar aktor. Selain itu pula institusi juga dapat berperan sebagai wadah kerjasama, dimana biaya kerjasama akan lebih murah dari yang seharusnya. Kemampuan Negara untuk bekerjasama pun tergantung pada pihak yang membuat institusi. (Keohane 1989, p. 2) Peran institusi disini adalah juga untuk melembagakan hubungan yang damai dan teratur berdasarkan dialog, kerjasama, dan saling menghormati (Eby Hara 2011, p. 73).
Jadi, institusi selain berperan dalam menjaga keamanan suatu negara dalam bekerja sama, institusi juga dijadikan sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan bersama dan menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan. Institusi dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, yaitu organisasi internasional, rezim internasional, dan perjanjian internasional (Keohane 1989, p. 3).
Organisasi internasional adalah suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama. Organisasi internasional merupakan refleksi dari institusi internasional yang mengacu pada bentuk formal terdiri dari aturan dan tujuan, dan merupakan suatu alat administrasi yang rasional (Perwita & Yani 2006, p. 92). Dengan demikian, negara-negara akan terikat oleh ikatan organisasional sehingga segala tindakan negara akan menjadi terkontrol. Sifat agresif negara dapat dibendung, dengan saling membagi kedaulatannya dalam sebuah organisasi internasional.
Rezim internasional menurut Keohane dan Nye seperti yang dikutip oleh Banyu Perwita (Perwita & Yani 2006, p. 28) adalah serangkaian rencana yang di dalamnya terdapat aturan, norma, dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku tingkah laku dan mengontrol efek yang ditimbulkan oleh rezim itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan antara rezim dan organisasi internasional adalah bahwa rezim internasional memiliki rewards and punishments yang jelas. Jika anggotanya melanggar aturan tersebut, maka akan mendapat sanksi yag tegas, buakn hanya sanksi moral. Dengan adanya snksi yang tegas itu, maka negara akan mengalami kerugian yang besar jika mereka tidak mengikuti aturan yang ada.
Sementara perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan tanpa membentuk suatu lembaga administrasi formal. Perjanjian lebih kepada aturan yang menjadi dasar hubungan antar para penandatangan perjanjian tersebut.
Lebih jauh, Neo-Liberalisme berusaha menjelaskan bagaimana cara agar aktor mau terlibat dalam kerjasama dan institusi dan ketika mereka telah menjadi bagian dari institusi tersebut mereka tidak lagi keluar. Kegagalan institusi semacam ini terbukti dalam sejarah Liga Bangsa-Bangsa. Kegagalan LBB dalam menjaga dan mempertahankan keamanan adalah karena keluarnya Jerman dari lembaga tersebut. Hal ini dikarenakan, institusi tersebut tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Jerman dan tidak memberikan dampak negatif jika Jerman keluar.
Mengacu pada pengalaman sejarah itulah, Neoliberalisme berusaha untuk membentuk suatu institusi yang mapan. Dalam sebuah institusi harus ada incentive yang jelas. Incentive adalah estimasi keuntungan yang akan didapatkan jika terlibat dan kerugian jika tidak terlibat serta dampaknya jika keluar. Ketika insentif yang ditawarkan mampu memenuhi estimasi-estimasi tersebut. Maka akan terciptalah apa yang disebut dengan interdependensi. Dan interdependensi inilah yang dalam pandangan Neoliberalisme dianggap sebagai keberhasilan. Karena interdependensi adalah refleksi dari perdamaian.
Interdependensi  mengacu pada situasi yang dikarakteristikan dengan adanya efek resiprokal antara negara yang berbeda, dimana efek ini merupakan hasil transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia, dan informasi yang melewati batas negara. Hubungan saling ketergantungan yang terjadi antara kedua negara merupakan akibat yang ditimbulkan oleh hubungan kerjasama yang tumbuh pesat sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi kedua negara. (Perwita & Yani 2006, p. 78).
Dalam hubungan internasional, interdependensi memiliki dua dimensi yaitu sensitivity dan vulnerability (kerentanan). Sensitivity mengacu pada tingkat sensitivitas negara terhadap perubahan yang terjadi di negara lain. Sedangkan vulnerability (kerentanan) mengacu pada distribusi biaya yang timbul sebagai reaksi negara terhadap perubahan tersebut (Griffiths and  O’Callaghan 2002, p. 157).
Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme adalah sebuah perspektif yang berusaha untuk menciptakan perdamaian melalui kerangka kerjasama yang dikelola dalam sebuah institusi formal yang saling menguntungkan. Dengan adanya sharing keuntungan ini, maka semua aktor internasional akan menghilangkan sikap utilateralisme dan lebih mementingkan aspek keuntungan bersama.