Rabu, 13 Juni 2012

Neo-Liberalisme dalam HI



Neo-Liberalisme muncul sebagai respon terhadap penjelasan tentang sistem internasional yang anarki milik neo-realisme. Dalam pandangan Neo-realisme, sifat dasar dari sistem internasional adalah anarki (Perwita & Yani 2006, p. 25). Anarki berasal dari bahasa yunani anarkhos yang berarti tidak ada aturan. Lebih jauh anarki didefinisikan sebagai tidak adanya suatu entitas yang dapat mengontrol sistem dunia secara keseluruhan (Griffiths and O’Callaghan 2002, p. 2-3). Menurut Kenneth Waltz sistem internasional dijalankan oleh negara-negara berdaulat yang saling memperjuangkan kepentingan nasional, terutama aspek keamanan. Karena masing-masing negara berusaha untuk mencapai tujuannya tersebut, maka perilaku negara cenderung konfliktual. Oleh karena itu, Waltz mengatakan bahwa international anarchy is the permissive cause of war (Weber 2010, p. 13-14).
Teori neo-liberalisme memiliki pandangan yang sama dengan pandangan neo-realisme mengenai sifat sistem international. Namun mereka menolak bahwa hubungan antar negara cenderung konfliktual. Menurut Bruce Ruset, Harvey Star, dan David Kustella seperti yang dikutip oleh Banyu Perwita (2006, p. 27) bahwa sifat dasar dari interaksi antar negara adalah kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama. Inilah yang menjadi pertanyaan Keohane dan neo-liberalis yang lain mengapa negara melakukan kerjasama dalam kondisi sistem internasional yang anarki? Padahal jika mengacu pada penjelasan yang dimiliki neo-realisme di atas, tentunya akan terjadi konflik antar negara.
Menurut Karen A Mingst (2003, p. 64-65) penyebab kerja sama salah satunya adalah karena setiap negara saling membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian mereka akan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya secara terus menerus. Sedangkan menurut Keohane, kerjasama terjadi karena adanya mutual interest di antara masing-masing aktor (Suhr 1997, p. 109). Lebih lanjut Banyu Perwita menjelaskan bahwa kerjasama terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti bidang pollitik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut akan memunculkan kepentingan yang beranekaragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi dari berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional (2006, p. 34).
Menurut Burchil (Burchil 2009, p. 65) dalam suasana hubungan yang kompetitif, negara akan berusaha untuk memaksimalkan absolute gain. Dengan tujuan ini, negara-negara tentunya akan berusaha untuk bekerjasama semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa mengorban pihak yang lainnya. Ketika hubungan kerjasama telah terjalin dengan sangat erat, maka akan tercipta interdependensi yang membuat mereka bisa mengkalkulasi sebesar apa kerugian yang akan didapat jika mereka tidak bekerja sama.
Dalam suatu kerjasama, tentu sering terjadi friksi, miskomunikasi, atau hambatan-hambatan lainnya yang berpotensi menimbulkan masalah. Jika masalah tersebut membahayakan kepentingan negara, maka sifat agresifitas negara tentunya akan muncul, terutama bagi negara yang memiliki kapabilitas militer yang kuat. Karena kepentingan nasional merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para pengambil keputusan dalam menafsirkan situasi internasional dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang penting. Oleh karena masalah keamanan adalah masalah yang serius dan penting dan hal ini diakui oleh Neo-Liberalisme, maka perlu dibentuk institusi. Dengan demikian institusi akan membuat keamanan menjadi mungkin dijaga, terutama bagi negara yang lemah dalam kapabilitas militer (Mingst 2003, 65).
Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institution sebagai instrumen utamanya. Dengan demikian, teori ini menekankan pada pentingnya kehadiran sebuah institusi dalam kerjasama. Institusi, menurut James A. Robinson (2008, p. 166) adalah aturan dan norma-norma yang menentukan insentif dan kendala yang dihadapi individu dalam masyarakat. Definisi ini hampir mirip dengan definisi yang dikeluarkan oleh Keohane. Menurut Keohane (1989, p. 3) institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan, dan praktek-praktek yang menentukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan.
Teori Neo-Liberalisme membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama. Tindakan Negara sangat bergantung pada pengaturan institusi yang berlaku.  Institusi dalam teori ini memegang peranan yang begitu penting, karena institusi dapat membentuk perilaku aktor agar merespon insentif kerjasama, mengatasi masalah kecurangan dalam bekerjasama, serta masalah miskomunikasi antar aktor. Selain itu pula institusi juga dapat berperan sebagai wadah kerjasama, dimana biaya kerjasama akan lebih murah dari yang seharusnya. Kemampuan Negara untuk bekerjasama pun tergantung pada pihak yang membuat institusi. (Keohane 1989, p. 2) Peran institusi disini adalah juga untuk melembagakan hubungan yang damai dan teratur berdasarkan dialog, kerjasama, dan saling menghormati (Eby Hara 2011, p. 73).
Jadi, institusi selain berperan dalam menjaga keamanan suatu negara dalam bekerja sama, institusi juga dijadikan sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan bersama dan menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan. Institusi dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, yaitu organisasi internasional, rezim internasional, dan perjanjian internasional (Keohane 1989, p. 3).
Organisasi internasional adalah suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama. Organisasi internasional merupakan refleksi dari institusi internasional yang mengacu pada bentuk formal terdiri dari aturan dan tujuan, dan merupakan suatu alat administrasi yang rasional (Perwita & Yani 2006, p. 92). Dengan demikian, negara-negara akan terikat oleh ikatan organisasional sehingga segala tindakan negara akan menjadi terkontrol. Sifat agresif negara dapat dibendung, dengan saling membagi kedaulatannya dalam sebuah organisasi internasional.
Rezim internasional menurut Keohane dan Nye seperti yang dikutip oleh Banyu Perwita (Perwita & Yani 2006, p. 28) adalah serangkaian rencana yang di dalamnya terdapat aturan, norma, dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku tingkah laku dan mengontrol efek yang ditimbulkan oleh rezim itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan antara rezim dan organisasi internasional adalah bahwa rezim internasional memiliki rewards and punishments yang jelas. Jika anggotanya melanggar aturan tersebut, maka akan mendapat sanksi yag tegas, buakn hanya sanksi moral. Dengan adanya snksi yang tegas itu, maka negara akan mengalami kerugian yang besar jika mereka tidak mengikuti aturan yang ada.
Sementara perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan tanpa membentuk suatu lembaga administrasi formal. Perjanjian lebih kepada aturan yang menjadi dasar hubungan antar para penandatangan perjanjian tersebut.
Lebih jauh, Neo-Liberalisme berusaha menjelaskan bagaimana cara agar aktor mau terlibat dalam kerjasama dan institusi dan ketika mereka telah menjadi bagian dari institusi tersebut mereka tidak lagi keluar. Kegagalan institusi semacam ini terbukti dalam sejarah Liga Bangsa-Bangsa. Kegagalan LBB dalam menjaga dan mempertahankan keamanan adalah karena keluarnya Jerman dari lembaga tersebut. Hal ini dikarenakan, institusi tersebut tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Jerman dan tidak memberikan dampak negatif jika Jerman keluar.
Mengacu pada pengalaman sejarah itulah, Neoliberalisme berusaha untuk membentuk suatu institusi yang mapan. Dalam sebuah institusi harus ada incentive yang jelas. Incentive adalah estimasi keuntungan yang akan didapatkan jika terlibat dan kerugian jika tidak terlibat serta dampaknya jika keluar. Ketika insentif yang ditawarkan mampu memenuhi estimasi-estimasi tersebut. Maka akan terciptalah apa yang disebut dengan interdependensi. Dan interdependensi inilah yang dalam pandangan Neoliberalisme dianggap sebagai keberhasilan. Karena interdependensi adalah refleksi dari perdamaian.
Interdependensi  mengacu pada situasi yang dikarakteristikan dengan adanya efek resiprokal antara negara yang berbeda, dimana efek ini merupakan hasil transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia, dan informasi yang melewati batas negara. Hubungan saling ketergantungan yang terjadi antara kedua negara merupakan akibat yang ditimbulkan oleh hubungan kerjasama yang tumbuh pesat sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi kedua negara. (Perwita & Yani 2006, p. 78).
Dalam hubungan internasional, interdependensi memiliki dua dimensi yaitu sensitivity dan vulnerability (kerentanan). Sensitivity mengacu pada tingkat sensitivitas negara terhadap perubahan yang terjadi di negara lain. Sedangkan vulnerability (kerentanan) mengacu pada distribusi biaya yang timbul sebagai reaksi negara terhadap perubahan tersebut (Griffiths and  O’Callaghan 2002, p. 157).
Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme adalah sebuah perspektif yang berusaha untuk menciptakan perdamaian melalui kerangka kerjasama yang dikelola dalam sebuah institusi formal yang saling menguntungkan. Dengan adanya sharing keuntungan ini, maka semua aktor internasional akan menghilangkan sikap utilateralisme dan lebih mementingkan aspek keuntungan bersama.

1 komentar: