Minggu, 22 Januari 2012

Kebijakan Makroekonomi dunia pada 1960-an dan 1980-an

tulisan ini merupakan Review dari tulisan Michael C. Webb yang berjudul International Economic Structures, Government Interests, and International Coordination of Macroeconomic Adjustment Policies

Meningkatnya mobilitas pasar modal internasional pada 1980-an membawa dampak yang sangat drastis. Kondisi ini menyebabkan terjadinya volatilitas mata uang, ketidakseimbangan pembayaran internasional (international payment imbalances), dan berbagai masalah ekonomi lainnya. Ketidakstabilan ekonomi internasional pada 1980-an ini disebabkan oleh adanya integrasi pasar modal yang membuat arus modal semakin mobile. Selain itu, koordinasi kebijakan moneter dan fiscal internasional juga mengalami hambatan dari dinamika politik domestik masing-masing negara.
ketidakstabilan ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berbeda dari sebelumnnya, yaitu kebijakan moneter dan fiscal (monetary and fiscal policy). Oleh karena itu, artikel yang ditulis oleh Michael C. Webb ini focus pada perubahan kebijakan antara tahun 1960-an dan tahun 1980-an. Menurut Webb, ada perubahan kebijakan dari koordinasi neraca pembayaran pembiayaan (coordination of balance-of-payments financing) menjadi koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (coordination of monetary and fiscal policies).
Kebijakan moneter dan fiscal inilah yang dianggap sebagai kebijakan makroekonomi dalam artikel ini. Pada 1960-an, kebijakan moneter dan fiscal ini belum terlalu berpengaruh karena arus mobilitas modal belum begitu tinggi. Akan tetapi ketika pada tahun 1980-an terjadi mobilitas arus modal secara internasional, maka akan terjadi pula ketidakseimbangan pembayaran (payment imbalances) yang tinggi jika setiap negara mengeluarkan kebijakan makroekonomi yang berbeda. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal agar payment imbalances tersebut dapat diatasi atau setidaknya berkurang.
Sebelumnya para analis berpendapat bahwa telah terjadi penurunan koordinasi internasional pada 1980-an daripada tahun 1960-an. Buktinya menurut mereka tidak adanya koordinasi intervensi terhadap nilai tukar (exchange rate), karena terjadi perubahan dari Kurs Tetap (fixed exchange rate) pada 1960-an menjadi kurs mengambang/fleksibel (floating/flexible exchange rate) pada 1980-an. Namun menurut Webb, luas dan intensitas koordinasi yang dilakukan tetap sama, namun yang berubah adalah subjeknya, yaitu dari koordinasi neraca pembayaran pembiayaan (coordination of balance-of-payments financing) pada 1960-an menjadi koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (coordination of monetary and fiscal policies) pada 1980-an. Digunakannya sistem floating exchange rate karena semakin tingginya mobilitas arus modal dan mustahil bagi pemerintah untuk menstabilkan nilai tukar.
Dalam menjelaskan adanya perubahan pola koordinasi ini, essay ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan bagaimana struktur ekonomi internasional mempengaruhi strategi yang tersedia bagi pemerintah dalam upaya mereka untuk berurusan dengan ketidakseimbangan internasional. Bagian kedua mempelajari catatan koordinasi kebijakan di tahun 1960-an dan 1980-an. Analisis menunjukkan bahwa model yang dikembangkan di bagian sebelumnya tidak membantu menjelaskan pola koordinasi internasional. Tapi juga mengungkapkan batas argumen ekonomi-struktural dengan mengidentifikasi faktor-faktor lain (variabel politik dalam negeri khususnya) yang secara konsisten mempengaruhi bagaimana negara bereaksi terhadap insentif yang dihasilkan oleh lingkungan internasional dalam periode yang berbeda. Bagian akhir merangkum temuan dan membahas beberapa implikasi yang lebih luas bagi studi ekonomi politik internasional.
A. Economic Structures and Incentives For International Policy Coordination (Struktur Ekonomi dan Insentif Bagi International policy coordination)
Asumsi yang harus kita sepakati bersama adalah bahwa tujuan utama pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan makroekonomi adalah untuk mencapai kondisi makroekonomi yang menguntungkan. Pemerintah berusaha untuk menurunkan tingkat inflasi, meningkatkan lapangan pekerjaan, dan mencapai pertumbuhan ekonomi. Jika kondisi seperti bisa tercapai, maka stabilitas politik domestik akan stabil. Dan hal ini tentunya akan berpengaruh pada elektabilitas pemilih.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika akhirnya setiap negara mengeluarkan kebijakan makroekonomi yang berbeda. Hal ini tidak lain karena pemerintah berusaha untuk mencapai kondisi ekonomi domestik yang ideal dan adanya kondusifitas situasi politik domestik. Karena situasi domestik sangat berpengaruh baik bagi kelangsungan pemerintahan, maupun bagi citra pemerintah (dalam hal ini partai) di masa depan. Sehingga situasi domestik inilah akhirnya yang akan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Ketika masing-masing negara mengambil kebijakan makroekonomi yang berbeda, maka kemungkinan untuk terjadinya ketidakseimbangan pembayaran ekternal dan pergerakan nilai tukar (exchange rate) akan semakin besar. Untuk mengatasi kondisi ini, setidaknya ada tiga International coordination of macroeconomic adjustment policies yang relevan, yaitu:
1. External Policies. Pemerintah berusaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan pembayaran dengan memanipulasi kontrol perdagangan dan modal. Negara yang defisit mungkin akan membatasi impor dan arus keluar modal; negara yang surplus akan mendorong impor dan membatasi arus modal masuk. Atau, bisa juga pemerintah menyesuaikan nilai tukar; negara yang defisit mungkin melakukan devaluasi, sementara negara yang surplus mungkin akan melakukan revaluasi.
2. Symptom management policies. Pemerintah berupaya mengelola ketidakseimbangan pembayaran dengan menggunakan cadangan nasional, pinjaman internasional, atau kedua-duanya sekaligus. Juga dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing (foreign exchange markets) karena adanya perbedaan kebijakan dari masing-masing negara.
3. Internal policies. Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan moneter dan fiskal untuk menghilangkan ketidakseimbangan antara tabungan, investasi, dan konsumsi yang menghasilkan ketidakseimbangan perdagangan dan juga untuk menghilangkan perbedaan tingkat suku bunga lintas-nasional yang menghasilkan arus modal internasional yang spekulatif.
Akan tetapi biasanya pemerintah lebih memilih untuk menunda atau bahkan menghindari penyesuaian terhadap kebijakan internal karena memiliki efek politik yang lebih besar dari kedua kebijakan lainnya. Baik yang mengalami defisist ataupun yang mengalami surplus (deficit and surplus countries) akan lebih mementingkan pertimbangan politik domestik dalam mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengatasi payment imbalances. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan adalah dengan mengedepankan international policy coordination.
Baik deficit or surplus countries akan menggunakan international policy coordination ini untuk tujuan mereka masing-masing. Deficit countries berharap dengan adanya international policy coordination, maka surplus countries akan merevaluasi (menetapkan harga baru) mata uang, memperluas ekspor, dan membantu negara-negara pengutang (debtor countries) membiayai deficit mereka. Sedangkan bagi surplus countries menggunakan international policy coordination untuk mencegah deficit countries membatasi impor mereka, mendevaluasi mata uang secara tajam, dan mendorong agar deficit countries lebih mengandalkan atau lebih percaya pada strategi deflasi internal.
Upaya yang dilakukan oleh deficit countries untuk melakukan koordinasi kebijakan internasional adalah dengan membuat kesepakatan (agreement) internasional untuk membatasi penggunaan strategi penyesuaian eksternal lainnya. Sedangkan surplus countries akan memberikan international financing agar deficit countries membatasi upaya mereka menggunakan strategi penyesuaian eksternal.
Motivasi dan tantangan setiap negara dalam melakukan koordinasi kebijakan tentunya berbeda, karena adanya tingkat kepentingan struktural yang asimetris. Perbedaan tersebut diantaranya yaitu: Pertama, akan lebih sulit bagi deficit countries untuk mencegah deficit agar tidak memiliki dampak deflasi daripada bagi surplus countries untuk melindungi perekonomian mereka dari konsekuensi inflasi potensial dari surplus ekternal. Artinya adalah bahwa deficit countries memiliki interest yang lenih besar untuk melakukan koordinasi internasional sebagai upaya menyebarkan beban penyesuain kepada yang lain untuk menawarkan perubahan dalam kebijakan pemerintah asing. Kecuali jka deficit country memiliki pasar domestik yang luas, sehingga ia memiliki bargaining position yang lebih besar. Dengan pasar domestik yang besar ini, mereka dapat menutup akses pasar mereka bagi negara lain. Kedua, negara yang memiliki perdagangan yang besar dan tingkat ketergantungan yang kecil akan lebih mudah untuk mempertahankan balance of payment mereka.
Kepentingan memang menjadi unsure yang dominan bagi negara dalam melakukan koordinasi internasional. Namun, jenis kebijakan yang disesuaikan tetap saja bergantung pada struktur ekonomi internasional. Ada dua aspek struktur ekonomi internsional yang penting: yaitu tingkat integrasi pasar barang dan jasa, dan kedua yaitu tingkat integrasi pasar modal. Disinilah terjadi perbedaan. Jika ekonomi hanya dihubungakan dengan perdagangan saja, maka pemerintah cukup hanya dengan menyesuaikan kebijkan ekternal mereka atau lebih menggunakan symptm management policy. Namun jika ekonomi dilihat lebih luas, maka harus ada koordinasi kebijakan moneter dan fiscal (makroekonomi). Karena jika negara berbeda mengeluarkan kebijakan yang berbeda maka akn menimbulkan international imbalances payment.
Jika kita menggunakan struktur pertama (ekonomi adalah perdagangan), akan ada upaya proteksionisme yang kuat oleh negara baik yang surplus maupun defisit ketika arus perdagangan masih rendah. Namun sebaliknya jika perdagangan mulai tinggi, industri akan menentang segala bentuk proteksionisme perdagangan dan meminta pemerintah unutk mencari alternatif lain dalam mengatasi ketidakseimbangan pembayaran. Salah satu caranya adalah dengan mamanipulasi nilai tukar. Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan kurs tetap, ketidakseimbangan makroekonomi internasional dapat dikelola oleh negara-negara surplus dengan meminjamkan uang kepada negara-negara defisit. Hal ini akan membuat negara deficit menghindari deflasi dan membuat negara surplus berusaha untuk mempertahankan pasarnya di negara defisit.
Namun jika kita menggunakan pandangan kedua, yaitu tingkat integrasi internasional pasar modal. Ketika pasar modal sangat terintegrasi secara internasional, otonomi yang dimiliki negera unutk membuat kebijakan makroekonomi sangat sedikit, meskipun ia adalah negara besar. Hal ini karena perbedaan dalam kebijakan makroekonomi dikejar akan memicu arus besar modal. Arus modal merespon dengan cepat perubahan dalam ekspektasi investor tentang suku bunga dan nilai tukar, dan aliran ini memiliki efek langsung pada nilai tukar. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dalam melakukan penyesuaian kebijakan makroekonomi secara internasional. Kecenderungan yang terjadi ketika arus modal bergerak dapat membuat nilai tukar mata uang negara yang dituju oleh investor semakin meningkat. Namun juga akan membuat penurunan tingkat ekspor dan akan meningkatkan impor.
Akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan sebagai akibat dari perbedaan kebijakan makroekonomi hanya dengan memberikan pinjaman dari negara surplus ke negara deficit. Alasan pertama, karena pasar modal internasional bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kebijakan makroekonomi daripada arus perdagangan internasional. Kedua, ukuran arus modal membuat mereka lebih sulit untuk mengelola ketidakseimbangan perdagangan.
B. Patterns of Coordination In The 1960s And The 1980s (Pola Koordinasi pada 1960-an dan 1980-an)
1. Policy coordination from 1958 to 1968
Pada tahun 1960-an, kebijakan moneter masih menjadi otoritas mutlak negara dan diambil secara independent. Akan tetapi yang tejadi bukanlah koordinasi kebijakan moneter dan fiscal, justru yang terjadi adalah negosiasi kebijakan moneter dan fiscal antara International Monetary Fund (IMF) dengan Britania Raya 1967 dan 1969 dan Perancis pada 1958 dan 1969. Hal ini dilakukan karena kedua negara tersebut mengalami defisit. Namun IMF bisa menekan inggris untuk mengubah kebijakan moneter dan fiscal hanya pada 1969, sebelumnya tidak dan pada perancis tidak pernah.
Pada 1960-an ini, memang telah ada institusi internasional seperti the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), G-10, dan the Bank for International Settlements (BIS). Namun institusi seperti ini belum berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan makroekonomi, meskipun diakui oleh para analis bahwa kebijakan makroekonomi lebih harmonis ketika menteri keuangan dan gubernur bank sentral hadir dalam forum di institusi tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan makroekonomi (moneter dan fiscal) yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan rasional dan intellectual negara.
Sejak adanya sistem Bretton Woods kebijakan makroekonomi ekonomi suatu dituntut untuk konsisten dan disesuaikan dengan stabilitas internasional. oleh karena itu, international coordination of macroeconomic adjustment policies tidak diperlukan lagi karena secara otomatis diatur oleh sistem Bretton Woods. Pemerintah akan menyesuaikan sendiri kebijakannya untuk mencegah adanya surplus ataupun deficit pembayaran eksternal yang dapat mengancam sistem fixed exchange rate.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, negara tidak pernah melakukannya penyesuain untuk menciptakan balance of payment. Jika terjadi defisit, maka harus disikapi dengan kebijakan yang terbatas dan jika surplus harus disikapi dengan kebijakan yang fleksibel dan berkembang. Artinya tidak terjadi konsistensi kebijakan sesuai dengan stabilitas internasional. negara melakukan penyesuai kebijakan makroekonomi sesuai dengan kondisi neraca pembayaran mereka sendiri. Sehingga setiap negara cenderung mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan bahkan kontradiktif. Menurut Webb, negara besarlah yang cenderung melakukan kebijakan seperti ini, mereka berusaha untuk menhindari dampak dari ketidakseimbangan neraca pembayaran negara lain.
Dengan demikian menurut Webb, berdasarkan pada data-data, isolasi pasar modal pada 1960-an memungkinkan pemerintah untuk mengambil kebijakan makroekonomi yang berbeda tanpa memperdulikan international imbalances payment. Koordinasi internasional pada 1960-an adalah penyesuaian symptom management policies (meliputi intervensi pasar uang/kurs (foreign exchange market intervention) dan payments financing) dan control perdagangan. Namun, control terhadap arus modal tidak dilkoordinasikan.
2. Policy coordination from 1978 to 1990
Meningkat arus modal dan terjadinya integrasi pasar internasional pada 1980-an membuat intensitas perdagangan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya mobilitas modal ini, maka semakin sulit bagi pemerintah untuk tetap menintervensi pasar valuta asing (valas/kurs) sehingga sistem pertukaran berubah menjadi sistem floating excange rate. Maka arus modal akan bergerak sesuai dengan tinkat suku bunga dari mata uang. Hal ini berdampak pada nilai tukar mata uang suatu negara. Sehingga ketika interaksi perdagangan (ekspor dan impor) dilakukan, akan terjadi ketidakseimbangan pembayaran internasionl (international imbalances payment). Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi internasional untuk mengadopsi kebijakan makroekonomi yang dapat mengurangi ketidakseimbangan ini.
Adanya integrasi pasar internasional memberi pemerintah cara untuk menyeimbangkan posisi tawar mereka untuk membujuk pemerintah lainnya agar menyesuaikan kebijakan-kebijakan mereka. Ancaman-ancaman seperti peningkatan pembatasan perdagangan, menghalangi liberalisasi, atau mengijinkan pasar mata uang untuk berfluktuasi tanpa terawasi sangat sering digunakan. Sebenarnya, Amerika Serikat adalah pihak yang paling berkesempatan untuk memenangkan perubahan ini. Dengan memiliki pasar domestik yang besar, Amerika Serikat mejadi tujuan ekspor banyak negara seperti Jepang dan Jerman. Akibatnya, ekonomi mereka menjadi tergantung pada ekspor mereka ke Amerika Serikat daripada ekspor Amerika Serikat k negara mereka. Inilah yang menjadikan posisi tawar Amerika Serikat lebih kuat.
Jika Amerika Serikat melakukan proteksi (kebijakan fiscal) terhadap barang-barang impor, maka negara pengekspor akan mengalami ketidakseimbangan. Ancaman seperti inilah yang sering digunakan Amerika Serikat untuk menekan negara lain agar melakukan perubahan kebijakan makro ekonomi. Transaksi internasional tidak terlalu penting bagi perekonomian Amerika Serikat, sehingga mereka tidak terlalu peduli dengan volatilitas nilai tukar negara lainnya. Keuntungan inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menekan Jepang dan Jerman agar mengkoordinasikan kebijakan moneter dan fiscal mereka sesuai dengan standar Amerika Serikat.
Kepercayaan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Jimmy Charter dan Ronal Reagan bahwa permintaan luar negeri yang lebih kuat terhadap barang-barang Amerika Serikat dapat mempertahankan ekonomi Amerika Serikat dan membuat Amerika Serikat lebih mudah untuk menahan kebijakan fiskal dan moneter tanpa menyebabkan resesi di Amerika Serikat. Alasan inilah yang membuat Carter meminta Jepang dan Jerman agar membuat kebijakan fiskal yang lebih ekspasif untuk mempertahankan pertumbuhan domestik mereka dan menstimulasi impor dari Amerika Serikat serikat, yang juga akan menstimulasi ekonomi dan mengimbangi deflasi Amerika Serikat. Setelah banyak perdebatan, Amerika Serikat serikkat membujuk Jepang dan Jerman untuk mereflasi sebagai balasan untuk komitmen Amerika Serikat untuk mengendalikan pertumbuhan moneter dan melepas kontrol (decontrol) harga minyak. Permintaan ini disampaikan oleh Amerika Serikat dalam pertemuan Bonn pada 1978 yang membahas tentang penyesuaian timbal balik kebijakan makroekonomi.
Selanjutnya, dari tahun 1981-1984 terjadi permintaan koor dinasi makroekonomi internasional dari negara-negra maju karena Amerika Serikat membuat kebijakan moneter yang ketat dan kebijakan fiscal yang stimulatif. Modal luar negeri dapat masuk dengan cepat ke Amerika Serikat (karena tingginya tingkat suku bunga) yang menyebabkan nilai dolar semakin naik. Masih bersedia investor asing untuk tetpa membeli American government securities meskipun nilai dollar dianggap sangat tinggi dan tingkat suku bunganya mulai jatuh pada 1983-84, membuat Amerika Serikat mengabaikan konsekuensi eksternal dari preferensi (pilihan) kebijakan makroekonominya dan menolak kritik dari eksternal. Sementara negara lain tidak bisa mengatur Amerika Serikat Serikat untuk mengoordinasikan kebijakan moneter dan fiscalnya secara internasional. Hal karena mereka tidak memiliki bargaining position yang lebih baik. Jadi meskipun Amerika Serikat mengalami deficit fiscal, mereka tetap menjadi negara yang memiliki bargining position paling kuat.
Namun akhirnya pemerintah Amerika Serikat pada 1985 menyadari bahwa sikap sepihak mereka dalam membuat kebijakan berdampak negatif bagi ekonomi Amerika Serikat sendiri. Dan mereka mulai membuka diri untuk menkoordinasikan kebijakan makroekonomi mereka secara internasional untuk memperbaiki masalah-masalah eksternal yang telah muncul. Tingginya nilai tukar dolar membuat industri manufaktur Amerika Serikat tertekan. Hasil ini berdampak politis, dimana kongres meminta pemerintah untuk melakukan kebijakan ptroteksionisme ketat yang tentunya akan merusaak system perdagangan liberal internasional saat itu.
Akhirnya pemerintahan Reagan meminta negara lain agar membantu menstimulusi permintaan domestik Amerika Serikat. Permintaan dari negara lain agar Amerika Serikat mengurangi deficit perdagangannya. Pada awalnya Jerman dan Jepang menolak untuk melakukan reflasi karena dikhawatirkan dapat menyebabkan inflasi. Namun, Reagan menyatakan bahwa jika perdagangan Amerika Serikat tidak meningkat maka akan ada tuntutan proteksionisme dari kongres dan akan membirakan volatilitas dollar berjalan tanpa pengawasan. Ini artinya akan berdampak negatif bagi Jerman dan Jepang.
Akan tetapi pada awal 1987 mereka ersedia untuk melakukan reflasi sebagai timbal-balik atas kesedian Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan intervensi valuta asing untuk menstabilkan mata uang dan komitmen Amerika Serikat unutk mengurang deficit anggaran mereka. Di sini secara eksplisit dapat dilihat bahwa adanya kesepakatan untuk saling menyesuaikan kebijakan makroekonomi. Jerman berjanji untuk meningkatkan paket pengurangan pajak yang telah direncanakan untuk tahun 1990 dan memajuakannya menjadi tahun 1988 (move the package ahead to 1988). Jepang setuju untuk mengeluarkan dana tambahan pada musim semi 1987 yang akan menstimulasi permintaan domestik dan juga setuju untuk menurunkan suku bunga. Amerika Serikat serikat sendiri berkomitmen untuk mengurangi defisit anggaran melalui pembatasan pengeluaran.
Kebijakan fiskal dan moneter di tiga negara ini mencerminkan dampak dari adanya proses tawar-menawar. Jepang mempertahankan suku bunga rendah dan pertumbuhan moneter yang cepat untuk merangsang permintaan domestik dan mendorong investor Jepang membeli America treasury security, untuk membiayai anggaran dan deficit perdagangan Amerika Serikat serta mencegah jatuhnya nilai dollar. Pemerintah Jepang juga meningkatkan pengeluaran domestiknya. Penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter Jepang ini berdampak positif, pertumbuhan permintaan domestik menjadi kuat, perekonomian menjadi tidak terlalu bergantung pada ekspor, dan penyusutan surplus transaksi.
Kebijakan makroekonomi Jerman juga mengungkapkan dampak koordinasi kebijakan internasional. Upaya Bundes Bank untuk mendukung dollar tahun 1987, menghasilkan pertumbuhan peredaran uang yang cepat sehingga menciptakan inflasi yang tinggi tahun 1988 dan 1989. Akan tetapi Bundes Bank menolak untuk menaikkan tingkat suku bunga, karena menurut mereka akan diprotes oleh negara-negara eropa lain dan Amerika Serikat serikat. Pemerintah Jerman menolak permintaan asing untuk mempercepat pemotongan pajak dan meningkatkan belanja. tetapi kebijakan fiskalnya lebih stimulatif daripada negara G-7 lain dalam periode 1986-1988, menurut kalkulasi yang dilakukan oleh OECD yang disesuaikan oleh keseimbangan anggaran. Seperti Jepang, Jerman terus mengalami defisit fiskal di akhir 1980-an, meskipun pemerintah berkeinginan untuk mengurangi jumlah utang nasional.
Amerika Serikat juga demikian, mengalami deficit fiscal yang sangat besar. Meskipun The Federal Reserve Bank (The Fed) juga pernah menyesuaikan tingkat suku bunga dan pertumbuhan ekonomi berjalan cepat, deficit fiscal tetap tak bisa dihindarkan. Dan bahkan untuk membiayai deficit anggaran mereka, Amerika Serikat meminjam dana dari luar negeri tanpa membuat nilai dollar turun. Terjadinya deficit fiscal di ketiga negar tersebut membuat mereka berupaya menyesuaikan kebijakan mereka pada 1989. Upaya ini berhasil mengurangi deficit perdaganngan Amerika Serikat dan menimbulkan kekhawatiran akan adanya deficit anggaran Amerika Serikat. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, Amerika Serikat meminta Jepang untuk meningkatkan utang mereka (pinjaman bagi Amerika Serikat).
Aka tetapi upaya ini juga belum berhasil dan deficit anggaran terus terjadi. Masalah ini semakin rumit ketika elit politik domestik juga memberika tekanan. Sehingga pertimbangan–pertimbangan domestik lebih dipentingkan daripada tekanan diplomatic internasional. Akibtanya, kondisi ini menyebabkan ketidakpastian terhadap stabilitas ekonomi internasional. Kondisi ini juga bisa menyebabkan inflasi atau pun resesi bagi perekonomian Amerika Serikat. Di pemerintahan sendiri terjadi konflik tentang tentang apakah suku bunga harus ditingkatkan untuk mengurangi inflasi atau diturunkan untuk menghindari resesi.
Pada 1990, Jepang berupaya untuk melakukan koordinasi negara negara G-7 lainnya agar menyesuaikan kebijakan moneter mereka. Menurunnya nilai Yen dan tingginya tingkat suku bungan dikhawatirkan akan memperburuk tekanan di pasar saham. Oleh karena itu, Jepang meminta negara lainnya untuk melakukan pemotongan tingkst suku bunga. Akan tetapi, hal ini ditolak oleh Jerman dan Amerika Serikat yang berupaya untuk mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi untuk melawan inflasi. Selanjutnya pada paruh kedua 1990 dan awal 1991, isu yang dibahas berkaitan dengan perang teluk. Amerika Serikat berusaha meminta bantuan Jepang dan Jerman untuk membiayai perang tersebut. Sehingga isu mengenai koordinasi tingkat suku bunga ditinggalkan. Dan akhirnya tidak terjadi koordinasi dalam pelaksanaannya. Amerika Serikat menurunkan suku bungan untuk melawan inflasi, sedangkan Jerman justru menaikan suku bunga untuk melawan inflasi.
Di sini terlihat bahwa koordinasi balance of payment financing tidak konsisten, meskipun telah terjadi peningkatan yang cukup besar dalam koordinasinya. Payment financing pada 1980-an lebih didominasi oleh swasta, dengan pembelian treasury securities and corporate securities oleh para investor. Defisit countries melibatkan sektor swasta pada 1970-an karena adanya kebutuhan jumlah kredit yang besar dan pihak swasta mampu menyediakannya. Namun, pemerintah juga melakukan koordinasi payment financing pada 1980-an ketika swasta tidak bersedia memberikan pinjaman ke pada deficit countries untuk menstabilkan nilai tukar.
Periode 1978 ditandai dengan keengganan pemerintah untuk menggunakan kontrl perdagangan dan modal untuk mengatasi ketidakseimbangan eksternal akibat adanya perbedaan kebijakan makroekonomi dari setiap negara. Namun control selektif masih tetap digunakan untuk mengahadapi ancaman sektoral. Pada 1980-an juga ditandai dengan sedikit penggunaan control modal dan perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi kondisi makroekonominya dari pengaruh internasional. Hal ini dikarenakan adanya kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi yang memudahkan para pemegang dana unutk menstransfer modal tanpa hambatan teritoris.
Dalam kondisi perdagangan internasional saat ini yang sangat tergantung dengan mobilitas arus modal, nampak akan semakin sulit bagai negara untuk kembali menerapkan control komprehensif seperti pada 1960-an. Para pelaku ekonomi akan sangat menetang segala upaya yang akan menghambat pergerakan arus modal. Control komprehensif tidak hanya akan menghambat integrasi industri nasional menuju struktur produktif internasional, tetapi juga membuat pemilik modal menghindari penggunaan industri jasa keuanagan, pasar internasional akan menjadi tidak teratur.
C. Changing Patterns of Policy Coordination (Perubahan Pola Koordinasi Kebijakan)
Kebijakan fiskal dan moneter adalah elemen utama pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian negaranya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa telah terjadi perubahan pola international coordination of macroeconomic adjustment policies antara tahun 1960-an dengan tahun 1980-an. Perubahan ini terjadi karena adanya peningkatan arus dan mobilitas modal di pasar internasional. Pada tahun 1960-an, untuk mengatasi ketidakseimbangan pembayaran intenasional cukup hanya dengan mengkoordinasikan neraca pembayaran pembiayaan (balance of payment financing), penggunaan kurs/nilai tukar tetap (fixed exchange rate), dan control terhadap arus modal. Kebijakan ini bisa diterapkan karena mobilitas modal masih rendah dan intensitas perdagangan (baik kuantitas maupun frekuensi) belum tinggi.
Sedangkan pada 1980-an, terjadi peningkatan intensitas perdagangan dan juga mobilis modal yang semakin tinggi. Koordinasi kebijakan seperti pada 1960-an masih berusaha dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi kebijakan seperti itu belum bisa mengatasi masalah volatilitas nilai tukar (exchange rate), ketidakseimbangan pembayaran, dan misalignment (ketidaksejajaran). Dengan demikian, international policy coordination yang dilakukan lebih menekankan pada koordinasi kebijakan moneter dan fiscal.
Akan tetapi kebijakan moneter dan fiskal ini juga belum mampu mengatasi masalah-masalah di atas. Hal ini dikarenakan sulitnya bagi pemerintah untuk mengkoordinasikannya. Kedua kebijakan ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga mengandung pengaruh-pengaruh politis. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan kedua kebijakan ini tentu, harus ada koordinasi antara lembaga eksekutif sebagai pelaksana dan lembaga legislative. Hal ini sangat sulit bagi pemerintah ketika yang menguasai lembaga legislative adalah pihak oposisi, apalagi jika keduanya memiliki prioritas politik yang berbeda. Dengan demikian, tentu kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan akan sulit untuk dikoordinasikan dengan kebijakan moneter dan fiskal negara lainnya.
Selain itu, proses pembuatan kebijakan moneter dilakukan oleh pemerintah dan Bank Sentral, yang notabenenya kedua pihak ini memiliki pandangan yang berbeda. Bank sentral adalah lembaga yang independent dan lebih peduli pada stabilitas harga, bisa mentoleransi pertumbuhan yang lambat dan pengangguran yang tinggi. Sedangkan pemerintah, sebagai pihak yang dipilih melalui proses politik tentunya berbeda. Tingkat pengangguran yang tinggi bisa menggurangi citra pemerintah. Sehingga dalam mengambil kebijakan moneter ini sering terjadi perbedaan antara pemerintah dan Bank Sentral.
Banyak hambatan politik domestik dalam pembuatan kebijakan moneter dan fiskal inilah membuat pemerintah sulit untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah negara lain. Karena kebijakan moneter dan fiskal ini sangat berpengaruh terhadap elektabilitas domestik. Sehingga pemerintah lebih cenderung melakukan penyesuaian Symptom management policies daripada melakukan penyesuain kebijakan moneter dan fiscal dalam merespon tekanan eksternal. Karena mereka lebih mempertimbangkan tekanan internal para pemilih dan kelompok kepentingan domestik. Kebijakan moneter dan fiscal memiliki dampak politik yang lebih besar dari pada symptom management policies.

Muslim di Eropa

tulisan ini merupakan review dari tulisan Tariq Ramadhan yang berjudul The Culture Alternatif dalam bukunya Western Muslim and the future of Islam

Islam adalah sebuah agama, bukan budaya. Itu landasan utama yang mejadi pijakan pemikiran Tariq Ramadhan. Menurutnya jika kita memicarakan tentang Islam, maka pembicaraan tentang ketauhidan (iman) merupakan hal yang paling penting. Namun, Islam juga mengenal konsep multikulturalisme, artinya bahwa Islam sangat terbuka terhadap unsure-unsur eksternal selama tidak bertentangan dengan syariat keislaman. Sifat Islam yang terbuka ini mencerminkan bahwa Islam merupakan rahmatan li al-‘alamiin dan menghargai perbedaan. Hal inilah yang membedakan Islam sebagai agama dan Islam sebagi peradaban. Peradaban Islam (Islam civilization) lahir sebagai hasil dari kemampuan Islam berinteraksi secara universal dan prinsip fundamental tunggal yang terus dipertahankan dalam keberagaman akibat dari konteks cultural yang beragama. Oleh karena itu, untuk mengkaji tentang Islam, selain harus menekankan pada agama, juga harus mengetahui budaya masyarakat yang plural dalam Islam itu sendiri. Jadi apa perbedaan antara “muslim di barat” dan “muslim barat”?
Seperti yang dijelaskan di atas, Islam yang dijalankan oleh penganutnya selalu bersanding dengan budaya local yang mereka miliki. Inilah yang ada dalam diri para imigran muslim di Eropa. Mereka secara geografis berada di Eropa, akan tetapi pola dan cara hidup yang mereka jalani sesuai dengan budaya di daerah asal mereka. Mereka cenderung hidup berkelompok sesuai dengan komunitas mereka, misalnya kelompok Turki, al-Jazair, Maroko, dan lain-lain. Inilah yang membuat mereka merasa bukan sebagai orang Eropa, meskipun mereka adalah generasi kedua dan ketiga (muslim yang lahir di Eropa).
Pada generasi penerus inilah masalah mulai muncul. Mereka mengalami kebingungan karena agama dianggap sebagai budaya sesuai dengan apa yang dijalankan oleh orang tua mereka. Sehingga ketika mereka berinteraksi dengan orang Eropa, mereka merasa harus melindungi budaya mereka agar tidak terkontaminasi oleh budaya Eropa yang dianggap merusak. Karena menurut mereka, banyak kebiasaan Eropa yang berbeda dengan budaya yang mereka biasa lakukan. Mereka khawatir identitas mereka hilang. Akan tetapi, di sisi lain mereka harus melakukan interaksi tersebut. Karena tidak mungkin interaksi hanya dilakkukan di lingkungan komunitas mereka saja. Mereka butuh sosialisasi dan bergaul.
Dalam proses interaksi dan sosialisasi inilah, mereka mengalami hal yang sangat dilematis. Budaya Eropa yang bebas akan berbenturan dengan muslim yang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai spritualitasnya. Disinilah letak permasalahannya menurut Tariq Ramadhan.
Ramadhan meyakini bahwa Islam yang dianut dan diyakini saat ini lebih didominasi oleh budaya-budaya asal. Padahal sejatinya Islam adalah agama yang universal, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan nilai-nilai humanisme. Islam sangat mengedepankan toleransi dan menganggap perbedaan itu sebagai sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, muslim di Eropa harus bisa membaur dengan kehidupan sekitarnya dengan melakukan filterisasi, bukan isolasi.
Sebagai pendatang, tidak mungkin kita menghindari untuk bergaul dengan penduduk asli. Kita harus membawa agama Islam sebagai pengatur kehidupan dan berdasarkan pada ajaran intinya. Dengan kata lain, muslim seharus mampu membedakan antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya yang terbawa dari interaksi local. Dengan demikian, muslim Eropa dapat menciptakan suatu budaya baru yang dalam istilah Tariq Ramadha di sebut the culture alternative. Karena Islam adalah agama yang sangat terbuka dengan nilai-nilai eksternal selama tidak menrubah prinsip dasar keislaman.
Namun, pandangan negative terhadap Islam juga ada, seperti dalam tesis Samuel P. Huntington “Clash of Civilization”. Huntington menyatakana bahwa akan terjadi benturan antara peradaban Islam dan barat. Menurut Huntington, Islam adalah agama yang tidak bisa menerima perbedaan dan dekat dengan kekerasan. Pernyataan ini nampak benar jika melihat perilaku muslim di Eropa yang cenderung menutup diri. Dan bahkan benturan peradaban ini mungkin akan terjadi di Eropa jika muslim tidak merubaha cara pandang dan cara beragamanya.
Pandangan Huntington ini, menimbulkan Islamophobia di Eropa. Apalagi setelah terjadi peristiwa 9/11 yang dianggap sebagai aksi kalangan muslim. Sejak peristiwa ini, diskriminasi terhadap Islam semakinmeningkat. Bahkan tidak jarang, muslim yang merupakan kelompok minoritas semakin sering mendapatkan tekanan baik mental maupun fisik. Diskriminasi ini membuat masyarakat muslim semakin dibenci dan mengalami kesulitan.
Namun, setelah kejadian 9/11 ini, terjadi peningkatan keingintahuan masyarakat barat terhadapa Islam. Hal ini berdampak pada peningkatan kuantitas populasi muslim di barat. Hal ini karena masyarakat Eropa menemukan kontradiksi antara Islam yang sebenarnya dengan pemberitaan di media selama ini. Oleh karena itu, kita harus mereson positif perkembangan ini. Terutama bagi muslim di Eropa sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan Eropa secara sosial.

The Impact of Unauthorized Immigrants on the Budgets of State and Local Governments

Permasalahan tentang jumlah populasi penduduk telah menjadi isu yang mulai diperhatikan saat ini. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu negara tentunya akan membuat masalah yang dihadapi semakin kompleks. Hal ini terkait dengan tugas negara untuk menciptakan kesejahteraan dan melayani kebutuhan warganya. Salah satu masalah yang dilahirkan adalah masalah identitas kependudukan. Identitas penduduk menentukan seberapa besar dana yang akan diterima oleh pemerintah melalui pajak, dan juga menjadi acuan pemerintah untuk menyalurkan layanan publik secara tepat. Namun saat ini, inilah yang menjadi masalah yaitu yang terkait dengan imigran gelap. Artikel ini membahas tentang masalah imigran gelap dan dampaknya terhadap anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Artikel ini memfokuskan pada kasus yang terjadi di negara bagian di Amerika serikat.
Secara keseluruhan, jumlah pendapatan pajak yang diterima lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam melayani kebutuhan mereka. Hal ini diperoleh melalui kalkulasi total dari pendapatan yang diterima baik dari imigran yang sah maupun imigran gelap. Namun, jika difokuskan hanya pada imigran gelap maka terjadi defisit anggaran. Total pendapatan pajak yang mereka bayar lebih kecil dari jumlah pelayanan yang mereka terima. Dampak ini berbeda antara anggaran pemerintah federal dengan negara bagian dan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat melarang imigran gelap untuk menerima pelayanan dari pemerintah, karena pelayanan yang diberikan pemerintah pusat berdasarkan pada Jaminan sosial dan Program berdasarkan kebutuhan. Contohnya, bantuan untuk keluarga miskin. Sedangkan negara bagian dan pemerintah daerah harus memberikan pelayanan bagi semua individu tanpa melihat status imigrasi mereka. hal ini karena ada beberapa keputusan pengadilan yang membatasi otoritas negara bagian dan pemerintahan daerah untuk membatasi penyedian layanan bagi imigran gelap yang berada di dalam garis teritori mereka.
Penerimaan terbesar pemerintah adalah dari sektor perpajakan. Dengan demikian semakin banyak penduduk yang terdata, maka akan semakin besar pula pendapatan yang didapatkan oleh pemerintah dan begitu pun sebaliknya. Namun, di sisi lain pemerintah negara bagian dan daerah harus memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga dengan demikian, keberadaan imigran ilegal akan memperbesar jumlah biaya yang harus dikeluarkanoleh pemerintah negara bagian daerah. Akan tetapi, tidak semua imigran gelap tidak membayar pajak. Terdapat setidaknya lima puluh persen imigran gelap yang membayar pajak.
Faktor lain yang mempengaruhi anggaran pemerintah negara bagian dan daerah adalah tingkat pendapatan imigran gelap. Pada umunya, penghasilan para imigran gelap lebih rendah, sehingga jumlah pajak yang bayar pun lebih kecil. Selain itu, dengan penghasilan yang kecil tersebut maka tingkat kemapuan mereka untuk membeli barang atau menggunakan jasa yang dikenakan pajak juga kecil. Para imigran gelap ini cenderung akan menggunakan fasilitas-fasilitas publik non-pajak. Dan ini semakin memperkecil persentase penerimaan pajak dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam pelayanan publik.

Belanja Negara Bagian dan Pemerintah Daerah dan Bantuan Pemerintah Pusat
Bidang pendidikan merupakan pelayanan publik yang paling besar dalam penggunann pengeluaran anggaran pemerintah negara bagian dan daerah. Hal dikarenakan mereka harus menyediakan sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga kelas dua belas. Pemerintah menanggung semua biaya operasional seluruh sekolah tersebut. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung pada 1982, yang menyatakan bahwa negara bagian tidak bisa mengecualikan anak-anak dari pendidikan publik hanya karena status imigrasi merekan. Dengan kata lain, anak-anak imigran ilegal dapat merasakan pendidikan. Meskipun persentase mereka hanya empat persen dari keseluruhan jumlah pelajar, namun tetap saja pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk mendidik mereka. Karena sumber biaya tersebut berasal dari pajak, sedangkan pajak yang mereka bayar sedikit. Namun, mereka tetap mendapatkan fasilitas pendidikan sama dengan apa yang diterima oleh pelajr lainnya. Selain itu, masalah lain yang membuat anggaran bagi imigran gelap menjadi besar adalah karena kemapuan mereka dalam berbahasa inggris. Sehingga pemerintah harus memberikan fasilitas yang lebih kepada mereka. Pemerintah pusat memang memberikan bantuan, namun hanya sekitar sepuluh persen dari total biaya pelayanan pendidikan. Kebanyakan bantuan pemerintah pusat adalah untuk pengembangan kemampuan bahasa inggris. Setidak sekitar delapan puluh persen dari bantuan pemerintah dialokasikan untuk pogram ini.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, imigran gelap cenderung menggunakan fasilitas pelayanan publik. Hal ini dikarenakan mereka pada umumnya tidak memiliki asuransi kesehatan. Meskipun sebagian biaya pelayanan kesehatan publik ini mendapat bantuan dari pemerintah pusat, tetap saja tidak bisa menutupi besarnya pengeluaran. Sedangkan pemerintah pusat mengharuskan kepada pemerintah negara bagian dan daerah yang menerima bantuan ini harus pelayanan kepada penduduk tanpa melihat status imigrasi mereka ataupun kemampuan mereka untuk membayar biaya pelayanannya. Selain itu, pada umumnya sebagian besar bantuan pemerintah tersebut ditujukan untuk program medicaid darurat. Bantuan ini hanya menyediakan perawatan medis kepada mereka yang berpenghasilan rendah dan yang tidak diasuransikan. Oleh karena itu semua aturan-aturan administrasi, kelayakan, dan kuantittas pelayanan ditentukan oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan Undang-Undang Rekonsiliasi Anggaran Omnibus gabungan tahun 1986 telah mengubah hukum Medicaid untuk mengotorisasi bantuan kepada penyedia layanan kesehatan untuk layanan yang berkaitan dengan melahirkan dan perawatan medis darurat dikirim ke imigran yang akan memenuhi persyaratan manfaat Medicaid. Imigran ilegal mungkin menerima perawatan melalui program ini berdasarkan pada situasi berikut: jika mereka memenuhi persyaratan pendapatan tertentu dan sedang hamil, jika mereka berada di bawah usia 19 atau paling tidak di atas 65 tahun, jika mereka dinonaktifkan, atau jika mereka adalah pengasuh seorang anak di bawah usia 18 tahun. Namun, Medicaid darurat hanya mencakup jasa yang diperlukan untuk menstabilkan pasien; layanan lainnya yang diberikan setelah pasien distabilkan tidak tercakup.
Selanjutnya di bidang penegakan hukum, jika seorang imigran gelap melakukan tindakan kejahtan, maka ia tidak serta nerta langsung dideportasi. Melainkan terlebih dahulu diproses sesuai dengan hukum yang ada dan diproses sama seperti pelaku kejahatan lainnya. Selama tindak kejahatan yang mereka lakukan tidak berkaitan denga status keimigrasian mereka. Sehingga dengan demikian negara bagian dan pemerintah daerah harus menanggung biaya investigasi, penahanan, penuntutan, dan penjara. Sedangkan pemerintah pusat, berdasarkan pada Undang-undang Reformasi Imigrasi dan Pengendalian Tahun 1986 mewenang kepadakan pemerintah federal untuk membantu negara bagian dan pemerintah daerah membayar sebagian dari biaya memenjarakan imigran tidak sah yang didakwa melakukan pelanggaran kejahatan.
Masalah pelayanan terhadap imigran gelap memang sangat rumit. Jika suatu negara tidak memberikan pelayanan yang baik kepada mereka maka tentu saja pemerintah tersebut mengabaikan aspek kemanusian. Rasa solidaritas sebagai sesama manusia tentunya akan membuat kita terketuk untuk memberikan bantuan kepada manusia lainnya. Namun di lain pihak, sebagai sebuah institiusi pemerintahan, negara tentunya akan memperhatikan aspek pendapatan. Karena hal ini terkait dengan biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan pelayanan pada warganya. Solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini adalah dengan memperketat sektor imigrasi yang menjadi pintu utama masuknya imigran. Selain juga harus meningkatkan pengawasan perbatasan teritori untuk mencegah masuknya imigran ilegal tanpa melalui badan keimigrasian. Dan yang paling utama adalah penggunaan identitas pengenal (seperti KTP) dalam semua urusan yang menyangkut masalah pelayanan publik. Andaipun mereka tidak memiliki identitas pengenal ini, hanya ditoleransi jika menyangkut keselamatan jiwa saja dan hanya diberi satu kali kesempatan untuk membuat identitas pengenal.

Changing Role of Islam in International Relations

Tulisan ini merupakan review terhadap artikel yang ditulis Reza Simbar dengan judul yang sama

Sejak tragedi 11 September 2001 yang sangat menghebohkn dunia, islam semakin diidentikan dengan kekerasan. Bahkan sikap ini menimbulkan ketakutan yang sangat besar terhadap hal-hal yang berbau keislaman yang dikenal dengan istilah Islamfobia. Namun secara demografis, populasi islam malah meningkat. Seperti di perancis, agma islam menjadi agama nomor dua setelah katolik. Saat ini ada sekitar 20 juta penganut islam di eropa. Sedangkan di Amerika Serikat terdapat sekitar 6 juta orang muslim dan telah dibangun lebih dari seribu masjid dan Islamic Centre. Bahkan Di Asia Tengah juga demikian, lima negara eks-Soviet (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan) islam adalah agama mayoritas.
Oleh karena itu islam dapat menjadi salah satu subjek dalam kajian Hubungan Internasional (HI). Akan tetapi ada sedikit perdebatan (mungkin hal ini dikarenakan dominasi sekulerisme dalam budaya politik dan keilmuwan barat) bahwa islam bisa diakui sebagai subjek HI jika memiliki peran dalam perkembangan ekonomi, politik, dan sosial serta tidak ada keterkaitannya dengan masalah keagamaan (kandungan al-Qur’an). Namun, ada yang berpendapat bahwa islam juga memiliki kontribusi dalam politik internasional terkait dengan perang, nasionalisme, nation-state, dan HAM.
Sebelum menganalisa lebih jauh, terlebih dahulu kita harus memahami argumen dasar islam tentang politik, yang tentunya sangat berbeda dengan apa yang dianut oleh barat. Menurut Sayyid Quthb, Islam adalah agama yang komprehensif yang mencakup aspek duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian islam tidak mengakui adanya pemisahan agama dan politik (sekulerisme). Karena islam adalah cara hidup, termasuk politik, karena politik adalah bagian dari realitas kehidupan. Konsep lain adalah konsep manusia sebagai khalifah (vicegerent) Allah. Umat Islam bertanggung jawab untuk menerapkan Islam dalam politik atau untuk berpartisipasi sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini berguna untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Untuk memahami perspektif Islam tentang hubungan internasional membutuhkan pemahaman tentang hubungan antara Islam dan politik.
Terminologi yang digunakan untuk menggambarkan institusi politik islam adalah Dar al-Islam. Ada dua pandangan mengenai Dar al-Islam. Salah satu pandangan menyatakan bahwa wilayah Islam harus diperintah oleh Muslim dan sistem pemerintahan Islam yang diterapkan. Pandangan lain menekankan pada masalah apakah keamanan. Jika muslim dilindungi dan diberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran islam, maka wilayah atau negara tersebut dapat dikatakan Dar al-Islam. Dengan demikian, menurut Tariq Ramadhan, kondisi wilayah yang diakui sebagai Dar al-Islam adalah di mana Muslim merasa aman dan tidak dianiaya karena agama mereka. Oleh karena itu, untuk memahami hubungan sebuah pemerintahan muslim dengan non-Muslim, kita perlu memahami hubungan pada tingkat individu, antara Muslim dan non-Muslim. Karena menurut para cendekiawan Muslim, HI hanyalah kelajutan dari hubungan individu.
Hubungan Internasional (siyar) dalam islam berkaitan dengan hubungan muslim dan non-muslim. Ada dua pandangan dalam islam yang melihat hubungan antara keduanya. Pertama adalah pandangan radikalisme. Pandangan ini menyatakan bahwa jihad (perang) adalah hal yang paling utama dalam hubungan ini. Setiap muslim diwajibkan untuk berperang hingga semua non-muslim mengucapka kaliman ”la ilaha illallah”, atau mereka tunduk pada hukum islam dan mengadakan perjanjian damai dengan islam. Menurut pandangan ini, Muslim tidak diperbolehkan untuk melakukan perjanjian perdamaian permanen dengan negara-negara Dar al-Harb. Jika mereka membuat perjanjian damai, periode perjanjian tidak boleh melebihi sepuluh tahun. Dar al-Harb dalam pandangan ini, wilayah non-islam sehingga harus diperangi.
Kedua adalah pandangan yang menyatakan bahwa perdamaian dan harmoni adalah dasar untuk hubungan muslim dan non-muslim, bukan perang. Muslim diperintahkan untuk merangkul keragaman dan, dengan demikian, toleransi terhadap keragaman menjadi ajaran fundamental Islam. Oleh karena itu, syariah (hukum Islam) diterapkan dengan mempertimbangkan konteks. Menurut mereka jihad hanya bisa dilakukan dalam keadaan terdesak. Tujuan jihad bukan untuk memerangi non-Muslim karena perbedaan iman, tetapi untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan penindasan. Islam memandang keberagaman dan pluralitas sebagai keadaan alami ciptaan Allah SWT. Hal ini Ini kemudian dimanifestasikan melalui perintah Islam untuk menghormati agama lain, non-intervensi dalam urusan agama-agama lain (la ikraaha fi ad-diin).
Islam agama agama perdamaian. Setidak ada empat alasan untuk hal ini, pertama islam berasal dari kata kerja ”aslama” yang berakar pada kata ”salm” atau ”silm” yang berarti perdamaian, keamanan. Kedua, kalimat ”assalamu’alaikum” yang bermakna mendoakan keselamatan dan kebaikan kepada orang lain. Ketiga, al-qur’an lebih banyak berbicara mengenai perdamaian daripada perang. Dan kempat, fakta sejarah yang menyatakan bahwa islam lebih mudah disebarkan dalam kondisi damai. Seperti penyebaran di Asia Tenggara, Indonesia khusunya.
Dalam pandangan barat islam selalu dikaitkan dengan terorisme begitu juga sebaliknya muslim menganggap non-muslim itu jahat. Kesalahapahamn ini harus segera dihilangkan islam bukanlah musuh bagi barat. Terorisme ditolak secara universal oleh umat islam. Oleh karena itu, peran aktif dan dialog berkelanjutan sangat diperlukan oleh kedua pihak. Terorisme atas dasar islam adalah penyimpangan simbol keislaman. Karena islam sangat mencintai perdangan dan kontak fisik hanya boleh dilakukan dalam keadaan perang saja. Bahwa warga sipil sekalipun tidak boleh dibunuh. Seharusnya tidak sulit bagi barat untuk menerima penjelasan ini. Karena dalam sejarah, barat juga menggunakan simbol agama untuk tujuan politis, seperti yang terjadi pada perang salib.
Setidakanya ada tiga gagasan yang berusaha untuk menjelas hubungan antara islam dan barat. Pertama, gagasan konfrontasi. Islam dan barat dianggap tidak serasi, sehingga akan terjadi clash of civilization yang bisa menyebabkan kontak fisik. Islam dan barat dianggap sangat berbeda dalam segala hal.
Kedua, gagasan kompatibilitas. Gagasan ini menilai ada kecocokan dan keserasian dalam hubungan barat dan islam. Karena islam dan barat memiliki budaya dan sejarah yang sama berakar pada keastuan budaya yahudi-kristiani dan yunani. Oleh karena itu, gagasan berusaha untuk membedakan islam yang radikal dan islam yang reformis. Terorisme merupakan implementasi dari islam yang radikal dan dianggap sebagai penyakit peradaban. Radikalisme muncul karena adanya kekecewaan terhadap pemerintahan yang korup, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan tertalu tunduk pada asing. Radikalisme juga muncul karena adanya arogansi dari barat.
Sedangkan renewalism adalah sebuah gerakan yang melakukan perbaikan internal. Mereka lahir sebagai alternatif bagi permasalahan kontemporer. Kelompok ini bukanlah kelompok anti barat. Mereka berusaha untuk mengadaptasi budaya-budaya untuk membuat islam menjadi lebih maju. Gerakan ini merupakan sebuah kemajuan bagi tradisi keilmuwan islam karena setidaknya dapat menjelaskan dan mengatasi masalah modern.
Gagasan ketiga adalah gagasan complementary (pelengkap). Gasan ini berusaha untuk menciptakan kerangka agar Islam dan Barat bisa hidup berdampingan secara damai tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing. Hubungan antara peradaban yang mengakomodasi nilai-nilai perbedaan budaya memberikan fondasi yang sangat diperlukan untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan kerjasama. Menurut gagasan ini, Clash of Civilization sebenarnya merupakan benturan simbol. Contohnya, seperti penggunaan jilbab.
Saya dapat mengambil inti dari artikel ini bahwa isllam adalah perdamaian. Meskipun dalam islam sendiri ada terminologi jihad, bukan berarti islam adalah agama pedang. jihad ada sebuah cara untuk mempertahankan diri dan keutuhan agama islam. Namun dalam jihad sendiri tetap terdapat aturan, bukan secara sporadis seperti yang dilakukan oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan islam. Oelh karena itu, tidak ada alasan bagi barat untuk menganggap islam sebagao musuh.
Apakah islam pantas menjadi subjek kajian HI? Menurut saya, islam sangat pantas untuk dijadikan subjek dalam HI. Prinsip dasar agama agama islam adalah kesatuan antara politik dan agama. Inilah yang menjadi alasan bagi sebagian ilmuwan untuk menyatakan bahwa islam tidak bisa menajdi subjek HI. Karena menurut mereka yang paling utama adalah bagaimana peran islam dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal ini mungkin karena perbedaan tradisi keilmuwan dimana barat yang sangat mengedepankan sekulerisme. Menurut mereka, ranah teologis merupakan faktor yang tidak memiliki relevansi apapun dengan konteks kehidupan sosial politik.
Pluralisme dalam HI membawa berbagai peluang dan akses tidak hanya bagi banyak ajaran, tradisi, filsafat, tetapi juga ada peran agama dalam dimensi yang lebih tegas yaitu “political religion”. Oleh karena itu, pentingnya pengakuan peran agama baik dalam cara memandang teori maupun fenomena world political religion. Ada beberapa konsep-konsep Islam yang cukup penting untuk dipelajari sebagai kajian HI diantaranya etika perang, keamanan, tauhid, ummah, jihad, keadilan, akhlak, dan syariah. Inilah saatnya tradisi pemikiran islam memberikan banyak kontribusi dalam politik dunia dan kajian HI.

"Jihad Modern" dan Islam

Tulisan ini merupakan review terhadap tulisan Mahmood Mamdani yang berjudul Whither Political Islam? Understanding the Modern Jihad


Apa yang anda pikirkan ketika ada bom yang meledak di Solo beberapa waktu yang lalu? Apa yang terbayangkan dalam pikiran anda ketika mendengar istilah terrorisme? Jawabannya akan mudah ditebak, ini adalah gerakan Islam fundamentalisme. Inil adalah manifestasi jihad yang salah. Dan banyak lagi pernyataan dan jawaban lainnya yang seolah-olah mengidentikan semua terror itu dengan agama Islam. Bahkan dalam pandangan para orientalis, Islam dianggap sebagai agama kekerasan. Jihad adalah bentuk lain dari kekerasan ini. Jika anda pun berpikir bahwa jihad merupakan ekstensi budaya Islam, anda salah. Ada latar belakang historis dan sosiologis yang membentuknya. Itullah, menurut saya inti dari tulisan Mahmood Mamdani yang mereview buku dari Gilles Kepel and Olivier Roy.
Jihad modern adalah jihad yang dijadikan sebagai tugas permanen dan individu untuk melawan barat tanpa terikat oleh solidaritas tradisional, tetapi lebih kepada tujuan bersama yang harus diperjuangkan sampai mati. Jihad telah berubah menjadi kekuatan politik global. Di timur tengah, partai politik bergerak untuk menanggapi kebijakan negara tertentu. Jihad semacam ini dipengaruhi oleh jihad di Afganistan dan pengaruh kebijakan poltik barat. Roy menolak pendekatan kultural yang menganggap Islam bertanggungjawab atas keadaan saat ini, seperti terjadinya bom bunuh diri. Roy berusaha untuk memahami kondisi sosial di mana umat Islam berpikir dan bertindak (sosiologis), sedangkan Kepel berusaha memahami sejarah intelektual Islam politik (historis).
Gilles Kepel memulai dari awal munculnya ide-ide radikalisme. Menurut Kepel, ada dua pemikiran radikal yang berbeda. Pertama, Wahabisme atau Salafisme yaitu faham yang merujuk pada pemikiran radikal Muhammad bin Abd al-Wahhab dan berkembang di Saudi Arabia. Mereka menyetujui serangan saudi pada tetangganya dan menganggapnya sebagai jihad, karena Raja Muhammad bin Saud berjanji untuk menjadikan wahisme sebagai ideologi negara. Setelah Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, sangat mendukung Wahabisme dan menganggapnya sebagai teologi pembebasan (Liberation Theology) yang akan membebaskan wilayah tersebut dari pengaruh komunisme. Dukungan ini merupakan upaya Amerika untuk mengurangi pengaruh uni Soviet di Middle East.
Pemikiran kedua menurut Kepel adalah ide yang dicanangkan oleh Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini berkembang di mesir dengan gagasan untuk mendirikan negara Islam yang berlandaskan pada syariah (Islamic Law). Slogan Mereka adalah The Quran is Our Constitution. Mereka membantu Gamal Abdul Nasser untuk menggulingkan Raja Farouk pada 1952. Namun pada 1970-an mereka pindah ke Saudi arabia karena di Mesir mereka tidak diakui. Selanjutnya Ikhwanul Muslimin sangat mempengaruhi pemikiran intelektual di Saudi. Ide mereka untuk mendirikan negara gama politik semakin kuat terutama setelah terjadinya revolusi di Iran pad 1979. Revolusioner Iran yang mengkombinasikan retorika Syiah tradisional dengan Dunia Ketiga anti-imperialisme, karena mereka menganggap Saudi adalah antek Amerika.
Setelah perang di Afganistan pada 1980-an, ide jihad semakin mengglobal. Terutama melalui pemikiran Ayman al-Zawahiri, orang kepercayaan Osama bin laden, yaitu Knights Under the Prophets Banner. Zawahiri menggeser target jihad dari "musuh terdekat" menjadi "musuh jauh." Untuk berhasil, katanya, jihad membutuhkan kepemimpinan baru yang ilmiah, konfrontatif, rasional untuk kembali memikirkan hubungan antara "elit" dan "massa". Menurut Zawahiri, isu yang paling cocok isu adalah mengenai penjajahan Palestina. Zawahiri membela serangan bunuh diri sebagai cara yang paling efisien untuk menimbulkan kerugian bagi musuh dan yang paling murah bagi para mujahid. Karena menurutnya jihad adalah serangan terhadap barat, tidak hanya pada pemerintahan dan lembaganya.
Metode dan strategi jihad yang mereka gunakan pun berbeda. Mereka memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk perekrutan. Dan hasilnya adalah organisasi teroris al-Qaeda yang sangat modern dan inovatif. Oleh karena itu kepel berbeda pendapat dengan pendekatan kulturalis yang menganggap bin Laden dan rekan-rekannya sebagai keturunan linier dari Wahabisme Saudi. Kepel memahami mereka sebagai produk hibrida dari beberapa tradisi intelektual yaitu penyatuan pemikiran Wahabi Salafisme dengan ide Ikhwanul Muslimin.
Namun, apa yang dilakukan oleh Gilles Kepel ini menurut Mahmood Mamdani tidaklah murni terlepas dari Culture Talk. Kepel cenderung menggabung alasan (kebencian terhadap barat) dan hal-hal metafisis. Ia menemukan ada fanatisme keimanan (Fanatical faith) dengan dijanjikan surga dan bidadari bagi mereka yang mau melakukan bom bunuh diri. Namun menurut Olivier Roy, ada kekeliruan dari penjelasan Kepel ini. Bagaimana mungkin janji bidadari di surga bisa memotivasi pelaku bom bunuh diri dari kaum perempuan. Menurut Roy, pemikiran neo-konservatif di Barat juga sama seperti jihad, yaitu menggabungakan mimpi dan ideologi. Sedangkan Kepel tidak mencurigai bahwa baik neo-konservatif dan jihad (al-Qaeda) merupakan hasil dari Perang Dingin, ketika kekerasan secara ideologis dipeluk oleh semua pihak, baik sekuler dan religius.
Kegagalan Kepel untuk melihat kesamaan antara jihad dan neo-konservatif ini membatasi pemahaman tentang politik jihad. Padahal keduanya berbagi ambisi global dan kekerasan yang bermotif politik. Pewaris tidak hanya untuk tradisi Salafisme pasif dan Ikhwanul Muslimin, tapi mungkin seperti anti imperialisme-Dunia Ketiga.
Dalam bukunya Globalized Islam Roy menjelaskan mengapa jihad Islam bergema dimasyarakat. Ia melihat penyebaran jihad saat ini sebagai konsekuensi dan reaksi terhadap perubahan sosiologis. Olivier Roy berbicara mengenai tumbuhnya jaringan transnasional gerakan-gerakan Islam, yang tak terkait dengan tempat tertentu. Sekarang, katanya, kita menyaksikan tumbuhnya generasi Muslim baru yang bagi mereka viktimisasi kaum Muslim di mana saja adalah sesuatu yang nyata dan personal, dan harus dilawan dengan apa saja. Beberapa di antara generasi baru ini lahir di Barat. Inilah yang lebih menjelaskan mengapa aksi-aksi bunuh-diri dilakukan di Bali, London dan Madrid.
Roy berusaha membedakan neo-fundamentalis kontemporer dari fundamentalis tradisional. Islam neo-fundamentalis adalah Islam yang dilahirkan kembali dan hasil dari diaspora. Agama telah sekuler, bukan dalam arti bahwa ia berada di bawah pengawasan ilmu modern, tetapi sejauh ini diperdebatkan di luar institusi-institusi tertentu. Revivalisme Islam bergandengan tangan dengan tren modern: "Budaya diri". Individualisasi tumbuh dari praktek-praktek agama telah mendorong orang percaya untuk menciptakan sebuah komunitas baru yang melampaui geografi ketat.
Pencarian untuk membangun sebuah identitas agama yang universal, menghindari dari budaya tertentu mulai dilakukan. Pencarian Islam yang murni berarti juga merupakan pemiskinan isinya dan konsekuensi dari pencarian ini adalah "sekularisasi, tetapi dalam nama fundamentalisme”. Politik Islam akhirnya mendua antara pihak Islam di negara mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Islam di diaspora, Eropa khususnya. Islam di eropa lebih bersifat multikulturalis. Mereka bisa dikatakan sebagai gerakan neo-fundamentalis yang cenderung religius, berpartisipasi dalam kehidupan politik. Keterlibatan dalam politik ini juga yang dilihat oleh Roy di timur Tengah. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh al-Qaeda lebih bersifat politis bukan terinspirasi oleh dorongan religius.
Dari tulisan ini, saya sedikit bisa memahami bahwa jihad itu tidak hanya lahir dari kesempitan pemahaman keIslaman. Tetapi juga dipengaruhi oleh faktor historis, sosiologis, dan politis. Apalagi dengan asumsi dasar bahwa kehidupan politik dan agama dalam Islam adalah sebuah satu-kesatuan sinergis. Karena Islam adalah adalah yang mengatur kehidupan dunia dan ukhrawi penganutnya. Asumsi ini semakin menguatkan keinginan untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah) yang merupakan sebuah keinginan politis. Akan tetapi jihad tidak mesti harus selalu dilakukan dengan kekerasan. Jihad juga menurut saya bisa dilakukan secara politik non-kekerasan. Dengan memiliki fondasi keIslaman yang kuat seorang individu juga bisa memperjuangkan kepeningan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jihad fisik, sebagaimana yang saya fahami hanya boleh dilakukan jika kondisi yang ada sangat membahayakan bagi kita secara pisik dan psikis, terutama jika mengancam keselamatan jiwa. Meskipun demikian, saya masih belum memiliki pemahan yang utuh tentang apa yang disebut oleh Mahmood Mamdani sabagai Jihad modern. Seperti apakah yang disebut Jihad modern itu? Sebelumnya, jihad selalu dipahami dalam pengertian aksi yang bersifat “defensif,” dan hukumnya fardh kifayah (kewajiban kolektif). Sekarang jihad harus bersifat ofensif dan menjadi kewajiban setiap Muslim (fardh `ayn). Apakah ini yang disebut jihad modern. Konsep jihad, yang sekarang digunakan untuk membenarkan serangan mematikan terhadap agama dan lawan-lawan politik. Jihad telah dilakukan dalam rangka untuk pakaian kekerasan politik dengan aura legitimasi agama.
Pendapat Kepel dan Roy juga didukung oleh Robert A. Pape Dalam Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. Pape menolak pandangan bahwa aksi-aksi terorisme bunuh-diri terkait secara langsung dan signifikan dengan ideologi fundamentalisme Islam. Yang menyatukan hampir semua aksi bunuh-diri itu, kata Pape, adalah tujuan khususnya yang bersifat sekular dan strategis. Tujuannya adalah untuk memaksa agar negara-negara demokratis modern menarik mundur kekuatan militer mereka dari wilayah yang oleh para pelaku bom bunuh-diri dianggap sebagai tanah air mereka. Misalnya tentara AS dari Semenanjung Arabia, Israel dari Palestina, Rusia dari Chechnya, dan lainnya.
Lantas, pertanyaan selanjutnya di mana peran agama? Menurut Pape, agama hanya digunakan sebagai alat untuk dua tujuan: (1) merekrut para calon pelaku bunuh-diri dan (2) mencari dukungan dana dari luar negeri. menurut Pape, tuntutan para pelaku aksi bunuh-diri tidak bersifat religious, khususnya Islam, melainkan nasionalistik. Menurut saya, fundamentalisme telah mengalami dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan teks, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengkuh panggung politik dan mengamini kekuasaan. Sehingga fundamentalisme seperti memilik dampak negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Padahal, awalnya fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan.
Sikap multikulturalis harus kita terapkan. Karena itu adalah prinsip kerukunan antar umat manusia dan antar agama. Kita harus mengakui eksistensi dari agama lain dan penganutnya. Akan tetapi tidak berarti bahwa kita mengakui kebenaran esensi dan substansi ajaran yang dibawa. Toleransi dan solidaritas antar manusia harus ada. Etika kosmopolitan (meminjam istilah Immanuel Kant) sangat mungkin untuk diterapkan. Tetapi kita harus tetap beprinsip pada penerimaan mereka sebagai entitas kemanusian, bukan kebenaran agamis. Meskipun demikian, sangat saya sayangkan bahwa kondisi umat Islam yang seperti ini justru membuat Islam terlihat semakin lemah.
Dengan perspektif multikuklturalisme ini, kita umat Islam seakan-akan entitas yang harus toleralis. Kita selalu dimonitori oleh pandangan barat. Padahal konsep keduniawian sendiri telah ada dalam ajaran Islam. Islam terlihat seperti hanya berusaha menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam memiliki kesamaan universal dengan Islam. Seharus kita isa menjadi lebih kuat dengan tidak selalu berkaca pada pandangan barat terhadap Islam. Kita seharus bisa memberikan pandangan keIslaman kita dan membuatnya diterima oleh dunia non-Islam. Karena menurut saya, Islam memang memiliki nilai-nilai uiversal yang bisa diterapkan ke pada semua umat manusia. Karena Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamiin.artinya bahwa apa yang diajarkan oleh Islam tidak akan bertentangan dengan unsur kemanusian.



Review: Richard Devetack, Critical Theory (Scott Burchil (et al), theoris of internastional realtions. London: Palgrave, 4th ed, 2009, pp 159-182)

Teori kritis adalah sebuah tradisi pemikiran yang pada awalnya berkembang di Jerman melalui pemikiran-pemikiran yang dikenal sebagai Mazhab Frankfurt. Teori kritis awalnya berasal dari pemikiran Kant, Marx, Dan Hegel. Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan, dan persamaan dan sekaligu menganalisa ancaman-ancaman yang muncul dan menyelesaikannya. Inti dari teori kritis Mazhab Frankfrut ini adalah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya. Teori kritis harus meliputi refleksi teori dan mencatat asal-usul dan penerapan ilmu pengetahuan dalam masyarakat. Teori kritis berusaha untuk mengubah epistemologi dengan menggali akar ilmu pengetahuan dengan memberika perhatian kepada hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dan berdasarkan hubungan inilah akhirnya ada pembedaan antara dua konsepsi teori. Pertama konsepsi tradisional yang mengharuskan seorang teoritikus lepas dari objek analisisnya (objektif). Sedangkan konsepsi teori menyangkal kemungkinan bebabs nilai dalam analsis sosial.
Teori kritis membawa klaim ilmu pengetahuan ke dalam hubungan internasional dengan penelitian yang teliti secara kritis melalui dua cara. Pertama, membahas permasalahan antara konsep tradisional teori dan konsepsi teori kritis. Konsep tradisonal teori ini dalam istilah Robert Cox, dinamakan sebagai Problem-Solving Theory. Konsep ini berdasarkan pada metodologi positivis yang menganggap fakta, nilai, subjek, dan ojeb sangat mungkin untuk dipisahkan. Problem-Solving Theory memandang dunia apa adanya, dengan hubungan sosial dan kekuatan yang berlaku dan institusi-institusi dimana mereka diatur sebagai kerangka yang diberikan untuk tindakan. Tujuan umumnya adalah untuk memperlancar pelaksanaan sistem politik internasional yang terdesentralisasi. Konsep ini membantu menstabilakn struktur tatanan dunia yang telah ada. Sedangkan teori kritis berasumsi bahwa teori terkondisikan dalam waktu dan tempat tertentu (Theory is always for someone and for some purpose). Teori perlu untuk dikondisikan oleh pengaruh sosial, budaya, dan ideologis. Teori kritis menolak asumsi positivis yang mengharus kan fakta, nilai, subjek, dan objek harus dipisahkan. Etika, tidak seharusnya dipisahkan dari teori dan praktek hubungan internasional, tetapi seharusnya disatukan. Teori kritis berusaha untuk mempromosikan refleksivitas teoritis yang lebih besar. Melalui dua proses, yaitu yang pertama adalah 'kesadaran diri sendiri dari satu waktu sejarah dan tempat yang menentukan pertanyaan-pertanyaan yang mengklaim perhatian', yang kedua adalah 'upaya untuk memahami dinamika historis yang membawa kondisi di mana pertanyaan-pertanyaan ini muncul'. Sehingga mereka menolak anggapan yang menyatakan bahwa tatanan yang ada bersifat abadi.
Yang kedua adalah menjelaskan hubungan antara teori kritis dan teori emansipasi. Teori kritis tidak hanya berkaitan dengan pemahaman realita yang ada di dunia politik, tetapi juga bermaksud untuk mengkritik dan mengubahnya, dan teori ini juga berupaya untuk memahami proses sosial yang sangat penting untuk mengetahui apakah perubahan mungkin terjadi. Inti dari emansipatoris teori kritis adalah untuk mengamankan kebebasan, hubungan dominasi, komunikasi yang menyimpang dan pemahaman manusia yang membatasi kemampuannya untuk membuat masa depan mereka penuh dengan kesadaran. Konsepsi emansipasi yang di usung oleh teori kritis sebagian besar berasal dari sebuah hasil pemikiran yang menemukan asal-usulnya dalam upaya pencerahan. Hal ini umumnya kosen untuk memutuskan hubungan dengan bentuk-bentuk ketidakadilan di masa lalu, dan mendorong kondisi untuk mencapai kebebasan universal. Teori kritis lebih fokus perhatiannya pada hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan. Teori ini mengekspos sifat politis dari pembentukan ilmu pengetahuan.

Dimensi praksiologis: etika kosmopolitan dan etika diskursus
Teori internasional kritis berusaha untuk memikirkan kembali makna masyarakat dan memperluas kewarganegaraan kosmopolitan dengan mengidentifikasi mereka yang bekerja untuk menggantikan atau setidaknya menambah sistem negara berdaulat dengan struktur pemerintahan global yang kosmopolitan. Lebih lanjut Linklater menguraikannya dalam istilah 'triple transformation', yang mengidentifikasi proses-proses yang membuka kemungkinan membongkar hubungan antara kedaulatan, wilayah, kewarganegaraan dan nasionalisme dan bergerak menuju bentuk pemerintahan yang lebih kosmopolitan. Oleh karena itu, teori internasional kritis harus menawarkan suatu struktur multi-tingkat pemerintahan yang lebih kompleks. Kuncinya adalah dengan memutuskan hubungan antara kedaulatan dan asosiasi politik yang merupakan bagian integral dari sistem Westphalia. Sehingga pada akhirnya akan meninggalkan gagasan bahwa kekuasaan, otoritas, wilayah, dan kesetiaan harus difokuskan pada sebuah komunitas tunggal atau dimonopoli oleh satu pemerintahan. Dan dengan demikian akan menjadi 'decentre' negara dalam bentuk organisasi politik yang lebih kosmopolitan. Hal ini memerlukan negara untuk membangun dan menempatkannya dalam bentuk masyarakat internasional yang saling melengkapi. Linklater mendaftarkan tiga bentuk. Pertama, sebuah masyarakat pluralis dari negara-negara di mana prinsip-prinsip koeksistensi (hidup berdampingan) bekerja 'untuk melestarikan penghormatan terhadap kebebasan dan kesetaraan. Kedua, masyarakat 'solidaris' untuk tujuan moral yang substantif. Ketiga, kerangka Post-Westphalia dengan melepaskan beberapa kekuatan berdaulat negara agar bisa melembagakan norma-norma politik dan moral bersama. Inilah yang selanjutnya disebut dengan kosmopolitanisme dialogis yang berusaha untuk memperbanyak jenis dan tingkat komunitas politik agar mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusai dalam proses pembuatan keputusan .
Etika diskursus pada dasarnya adalah pendekatan yang ingin menyelesaikan isu-isu politik dalam kerangka moral. Seperti diuraikan oleh Habermas (1984: 99), etika diskursus dibangun berdasarkan kebutuhan untuk mengkomunikasikan subyek (persoalan) untuk menjelaskan keyakinan mereka dan tindakan dalam hal yang jelas kepada orang lain dan yang kemudian dapat mereka terima atau mereka tentang. Ada tiga ciri utama Pertama, etika diskursus (wacana) adalah inclusionary (universal) yang berorientasi pada pembentukan dan pemeliharaan kondisi yang dibutuhkan bagi terciptanya dialog terbuka dan non-eksklusif (tidak mengecualikan salah satu pihak). Kedua, etika diskursus itu demokratis yang berdasarkan pada pengakuan kebebasan para partisipan untuk menggunakan 'rasionalitas argumentatif' untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap klaim validitas yang masih bisa dikritisi. Dengan menggabungkan dorongan inclusionary (universalis) dan demokratis, etika diskursus menyediakan mekanisme yang mampu menguji prinsip-prinsip, norma, atau pengaturan kelembagaan agar menjadi 'kebaikan yang sama untuk semua' dan ketiga, etika diskursus adalah sebuah bentuk rasionalisasi (penalaran) moral-praktis yang dibimbing oleh keadilan prosedural. Etika diskursus berkenaan dengan ‘justifikasi dan aplikasi norma (prinsip moral) yang menetapkan hak dan kewajiban bersama’ dalam situais perselisihan maupun konflik.
Ada tiga implikasi umum etika diskursus. Pertama, etika diskursus menawarkan panduan prosedural untuk proses pengambilan keputusan yang demokratis. etika diskursus menimbulkan pertanyaan bukan hanya tentang' siapa 'yang akan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga' bagaimana 'dan' di mana 'keputusan-keputusan ini harus dibuat. Kedua, memberikan prosedur untuk meregulasikan konflik kekerasan dan memberikan resolusi yang bisa diterima oleh semua pihak yang berkonflik. Artinya dengan mefasilitasi pihak ketiga untuk mencapai resolusi konflik yang tidak hirarkis dan koersif. Ketiga, etika diskursus menawarkan cara mengkritik dan membenarkan prinsip-prinsip di mana manusia mengatur dirinya sendiri secara politisyang merefleksikan prinsip-prinsip inklusi dan eksklusi.

Membawa isu gender ke dalam konsep National Security dan Hubungan Internasional

Ilmu hubungan internasional sebelumnya menganggap fokus bahasan dari studi HI adalah masalah yang berkaitan dengan hubungan antar negara negara yang berdaulat. Permasalahan-permasalahan lainnya, salah satunya seperti isu gender belum dianggap pantas untuk masuk ke dalam wilayah kajian ilmu hubungan internasional. Hal ini terjadi karena paradigma Hubungan Intenasional yang dianut adalah paradigma realis yang bersifat State Centic. Ini mengacu pada asumsi bahwa aktor hubungan internasional adalah negara. Dengan demikian isu yang paling menonjol saat itu konsep keamanan nasional (National Security) yang menjadi tujuan dasar negara untuk melindungi warga negaranya.
Namun setelah berakhirnya perang dingin, semakin banyak kritik yang ditujukan pada teori realisme. Salah satunya adalah kritik yang dilakukan oleh teori feminisme. Kaum feminisme mempertanyakan bagaimana posisi gender (khususnya bagi kaum wanita) dalam konsep National Security? Juga pertanyaan mengapa mainstream Hubungan Internasional tidak memasukkan gender dalam kajiannya? Mereka menganggap konsep Hubungan Internasional saat ini sangat tidak memungkinkan perempuan unutk melakukan pekerjaan yang potensia atau setidak memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Teori realis berpendapat bahwa hubungan internasional adalah studi yang berkaitan dengan power. Mereka menyatakan bahwa politik luar negeri suatu negara seharusnya dipahami sebagai dunia interaksi antar otoritas kedaulatan yang berbeda dari berbagai negara. Hal ini karena mereka bersumsi bahwa dunia internasional saat ini berada dalam kondisi anarki. Oleh karena itu, untuk menjaga keamanan dan keutuhan otoritas negara, hubungan yang dibangun adalah berdasarkan pada konsep Balance of Power. Konsep negara sebagai aktor dalam hubungan internasional mengacu pada apa yang disebut sebagai kedaulatan laki-laki (sovereign man). Karena seperti yang dinyatakan oleh Morgenthau bahwa laki-laki merupakan titik awal untuk berteori dalam Hubungan internasional. Namun hal ini dikritk oleh feminis, menurut mereka semua ini terjadi karena relais membangun ragumen mereka dari asumsi bahwa warga negara diidentikkan dengan laki-laki, sedangkan perempuan tidak termasuk. Sehingga teori realis akan kehilangan koherensinya jika perempuan tidak dihilangkan dari definisi bahwa laki-laki adalah aktor politik.
Menurut kaum feminis, ketidaksetaraan gender itu terjadi karena negara hanya berdasarkan padam asumsi realis. Padahal sekarang ini kondisi dunia internasional elah berbeda. Oleh karena itu mereka mengangkat isu gender. Mereka ingin agar studi hubungan internasional tidak lagi hanya fokus pada konsep National security realis saja. Selama ini, negara masih tetap mempertahankan dominasi laki-laki. Sehingga perempuan dianggapa tidak pantas untuk memegarng posis-poais penting dalam strukur negara. Semua ini terjadi juga karena negara menganut sistem patriarkis. Perempuan telah dibuat memiliki ketergantungan pada suami dalam unit rumah tangga. Rumah tanggalah yang menjadikan mereka lemah dan tidak memilki akse untuk berinetraksi di luar lingkungan rumah tangga. Kaum femini s menginginkan agar diadakannya dekonstruksi negara untuk menghilangka tradisi patriarki. Karena menurut mereka negara merupakan aktor utama yang mengontrol perempuan. Negara akan tetap mempertahankan dominasi laki-laki.
Meskipun saat ini realisme tidak lagi berdasarka pada politik identitas nasional, namun pada kenyataannya mereka tetap asumsi bahwa laki-laki merupakan aktor utama dalam politik. Isu gender masih tidak menjadi masalah yang berarti bagi mereka. hal dikarenakan mereka hanya fokus masalah masalah perang (konflik). Teori-teori Hubungan Internasional tetap tidak menghubungkan antara pergerakan perempuan dan perubahan yang sosial yang mempengaruhi sistem sosial politik.
Menurut kaum feminis, asumsi bahwa kondisi politik internasional yang anarki hanya merupakan alasan bagi realis untuk memproteksi perempuan. Konsep anarki menolak inter-koneksi sesuatu dan kejadian, sehingga kita terhalangi unutk melihat sebuah realitas secara utuh. Oleh karena itu kaum feminis meminta agar dilakukan penulisan kembali terhadap sejarah. Mereka menginginkan agar perempuan juga dimasukkan dalam sejarah. Karena dalam sejarah, konsep “laki-laki” selalu berkaitan dengan gagasan power. Feminis menetang asumsi bahwa studi Hubungan Internasional tidak membahas isu gender. Karena menurut mereka teori hubungan internasional berdasarkan pada interaksi negara. Mereka mengakui bahwa negara merupakan aktor utama dalam Hubungan internasional. Kajian hubungan internasional tidak hanya membahas struktur dan proses, tetapi juga berhubungan dengan kontruksi teori yang dibuat untuk mendukung dinamika ini. Oleh karena itu, realis seharunya tidak hanya mendeskripsikan dunia apa adanya saja, tetapi juga harus memperhatikan pada pada dinamikan sosial dan politik.
Selain feminisme, masih ada eori lain yang mengkritik teori realis. Neoliberalis seperti Robert Keohane menyatakan bahwa neo-realisme tidak mempedulikan karekteristik institusional sistem-sistem dan demikian tidak menyediakan cara bagi sistem untuk merubah kecuali ketika kapabilitas negara berubah. Pemahaman politik dunia harus meliputi perubahan kompleksitas institusi dan efeknya terhadap negara. Menurut Osenburg, realisme cacat karena teori anarki sebagai sebuah determinan dalam HI ditetapkan dalam periode tertentu dan tidak bisa menjelaskan transisi dan perubahan sejarah. Selain itu, HI tidak hanya tentang konflik antarnegara tetapi menunjukan bahwa konflik domesti bisa diinternasionalkan dan konflik internasional bisa menjadi aspek mayor dari isu-isu domestik.
Doktrin-Doktrin National Security dan penolakan kaum feminisme
Realis dan neorealis menganggap keamana sebagai kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup negara. Tugas sebuha negara adala untuk menjamin keamanan, membuat dan mengatur unit-unit politik. Kemanan sebuah Negara terhubungkan kepada pandangan strategisnya. Kaum realis meyakini bahwa keamanan Negara berhubungan secara dekat dengan kekuatan militer, karena National Security berkaitan dengan pertahanan dan kekuatan yang muncul menjadi pokok keamanan ketika terjadi konflik, paham realism berasumsi bahwa Negara-bangsa adalah sumber identitas bagi sebuah individu. National Security tertuju pada penggerakan politik yang didasarkan pada nasionalisme. Oleh karena itu jika individu ingin keamana dijami oleh negara, maka mereka harus mengikuti apa saja kebijakan negara. Keamanan individu tidak dapat dilepas hubungannya dengan Negara, karena prinsip dasar sebuah Negara memelihara tatanan sosial dan menjaga individu dari invasi asing.
Kaum feminis telah mengambil dari pendekatan tersebut dan memasukkan ke ruang lingkup gender untuk memperkuat kritik mereka. Pendekatan state- realism adalah subjek untuk di kritisi karena kekurangan mereka dan karena Negara pada teori realist menjadi sebuah dasar kesatuan dengan kepentingan dan agency, hal ini mengabaikan fakta bahwa Negara dibentuk dalam proses pembuatan batas dan identitas yang membedakan antara komunitas dan masyarakat pada kelas dasar, ras, gender dan dan agama. Selain itu batas Negara dibentuk dan diperbaharui oleh kekuatan kepentingan nasional, demikian pula, konsep kewarganegaraan melalui masalah kewajiban dan hak pada individu, menjadi konsep yang menimbulkan dan menutupi hal lainnya. untuk masalah keamanan, para aparatur Negara merupakan agen pengambil kebijakan. Aktor non Negara memiliki peran yang kecil dalam kerangka kerja seperti itu. Keberadaan mereka masih berada diluar kerangka kerja dari struktur National Security. Teori strategis tersebut membantu kritik kaum feminis pada doktrin National Security. Sehingga, keamanan Negara mendapat perlakuan khusus dan keamanan masyarakat termaginalkan.
Feminist mempertanyakan kebenaran pandangan bahwa negara merupakan arus utama dari keamanan dan asumsi bahwa keamanan individu cukup dipahami pada istilah keanggotaanya dari komunitas nasional dan Negara. Feminisme bukan saja menentang ide stabiltas dan identitas nasional yang homogen tetapi juga menawarkan konsep alternatif seperti identitas kolektif. Mereka berpendapat bahwa identitas tidak sekadar terikat pada konsep wilayah saja atau batas dari negara bangsa. Mereka menggaris bawahi kepentingan dari gender sebagai suatu identitas dan menunjukan bagaimana isu-isu identitas lainnya telah termarginalkan atau dikeluarkan dalam proses konstruksi negara sebagai suatu aktor dan mendahulukan laki-laki sebagai warga. Namun menurut realisme, ide dari identitas sub-nasional tidak kompatibel dengan Hubungan Internasional. sejak masuk kedala studi Hubungan Internasional, negara terus berfungsi sebagai komponen yang tidak dapat diperkecil lagi dari identitas, gender, perlombaan, kelas, atau faktor lain yang terus diabaikan. Ide kepentingan nasional sebagai satu prinsip pengorganisasian dasar dalam Hubungan Internasional percaya pada dugaan identifikasi kita dengan bangsa lebih penting dan menolak semua fokus dan identifikasi sosial dan politik lainnya.
Gerakan anti kolonial setelah perang dunia kedua memiliki peran utama di dalam membangun negara bangsa. Identitas dibangun oleh hal yang lainnya yang memiliki konsekuensi dalam membuat kategori sosial yang pasti dan dalam usaha membuat orang menerima mereka. Setelah melihat kesuksesan dari gerakan nasionalis, struktur dan institusi yang muncul pada image dari gerakan itu cenderung memperkuat status tidak menentu. Teori seperti realisme, dan konsep National Security juga membuktikan dengan sangat mudah dalam menggabungkannya. Kaum feminis, bagaimanapun, persoalkan dongeng dengan identitas homogen yang adalah basis dari negara bangsa sebagai satu aktor, dan memperlihatkan bagaimana gender pusat ke konstruksi dari negara bangsa.
Kaum feminis berpendapat bahwa penyatuan gender dari identitas nasional juga melayani untuk menawarkan secra spesifik “tempat bagi perempuan” di dalam hirarki sosial politik. Hal Ini tampak seperti mengidealkan perempuan, tetapi pada kenyataannya menempatkan mereka pada pada tempat yang lebih rendah secara permanen dari hirarkis. meskipun gender memainkan satu peran dalam membangun identitas nasional dan meletakkan perempuan pada masalah sosial yang spesisfik, perempuan tidak dikeluarkan dari konsep bangsa sebagai akibat perlombaan mereka, agama atau warna. aspirasi-aspirasi nasionalis untuk kedaulatan yang populer mungkin mendorong sebuah perluasan hak kewarganegaraan.
Realis dan neorealis sekarang mengakui bahwa security memiliki banyak dimensi dan militer membangun untuk memastikan keamanan. Mereka juga menghargai bahwa anggaran militer meliputi biaya yang sangat besar untuk masyarakat, bahwa suatu negara mungkin menjadi sumber ketidakamanan bagi orang hidup di dalamnya, dan seterusnya. Akan tetapi, metode untuk menjamin keamanan tetap pada aspek militer dan nasionalis dalam wacana realis dan neorealis. Realis dengan tegas meyakini bahwa keamanan bisa diperoleh tanpa melalui persenjataan, perkembangan, atau memupuk rasa menghormati HAM, adalah utopis. Oleh karfena itu, agenda utama realisme dan mendasari doktrin-doktrin dari siasat memperkuat pasukan tetap utuh.
Demikian pula, negara dan institusi, dalam hubungan dengan HI dan national security, juga telah mencoba untuk memasukkan masalah gender ke dalam agenda mereka. Kejadian ini dilakukan dengan memilih untuk “menambahkan gerakan perempuan”. Kaum feminis berpendapat bahwasanya wanita yang menyetujui paham realis akan sesuai untuk memasuki bidang ini. Bagaimanapun juga, apa yang mereka usulkan adalah perubahan dalam teori realisme. konsep keamanan harus disesuaikan dengan keadilan sosial, kebebasan berpolitik, dan demokratisasi. lebih kepada memperluas perspektif keamanan untuk menjaga proses demokratisasi dan pemberdayaan“pengelolaan” konflik keadilan sosial harus dipandang sepenting penyelesaian konflik. Tapi perdebatan tentang keamanan harus di luar kerangka realis. Proses demokratisasi dan resolusi konflik menunjukan bahwa konsep tradisional dari national security mulai ketinggalan jaman
Fungsi dari kritik feminis adalah untuk menunjukkan bahwa realisme dan kategori doktrin National Security, meskipun klaim bahwa mereka sangat penting "kebenaran" tentang negara dan masyarakat, memiliki bias gender yang kuat. feminis menekanan pada tantangan gender dan identitas menerima kebijaksanaan bahwa bangsa-negara adalah satu-satunya sumber identifikasi politik signifikan dan kesetiaan di dunia. Mereka mengangkat isu-isu gender dan menunjukkan bahwa perempuan memiliki sedikit hubungannya dengan pengambilan keputusan dalam struktur negara.

Review: Controlling Crime and Corruption from Below: Sungusungu in Kenya

Artikel ini menjelaskan tentang perkembangan organisasi sungusungu di Kenya. organisasi ini berperan dalam menangani kasus kriminal seperti perampokan yang mana sanksi yang diberikan berdasarkan kepada norma setempat. Sungusungu sangat berbeda dengan organisasi lain dalam menangani masalah korupsi. Organisasi ini tidak melibatkan polisi dalam menyelesaikan masalahnya karena dia meyakini jika dia mengaitkan antara jalur kepolisian dan peradilan maka akan di takutkan terjadinya korupsi sistemik antara mereka.
Kenya adalah negara yang sangat rentan akan terjadinya korupsi, masyarakat di Kenya tidak lagi mempercayai pemerintahan dan kepolisian setempat karena mereka hanya main hakim sendiri dalam menanggani kasus-kasus. Maka oleh karena itulah menimbulkan organisasi yang sangat bertentangan dengan pemerintah dan kepolisian, salah satu organisasi yang didirikan adalah Polmas. Organisasi ini sangat di kenal oleh masyarakat Kenya karena organisasi ini sangat melindungi kelompok-kelompok lokal dan menjaga ketertiban di pedesaan.
Small arms and sungusungu
Berkembangnya sungusungu di Tanzania pada tahun 1980-an sangat erat kaitannya dengan perang antara Tanzania dan Uganda pada tahun 1978. Setelah berakhirnya perang ini menyebabkan rasa ketidakamanan bagi Tanzania kerena berkembangnya gerakan kriminal seperti penyelundupan senjata dan pencurian saham. Maka oleh karena itu di bentuklah organisasi sungusungu untuk merespon ancaman tersebut. Darisinilah mereka memulai berkembang di berbagai Kota Tanzania. Kenya juga dihantui oleh perang eksternal dengan negara lain selain negara Kenya ini sering di hantui oleh perang saudara antara pemerintah dan warga sipil dalam negeri. Maka adanya sungusungu ini adalah suatu gerakan yang sangan membantu bagi penduduk setempat karena menawarkan keamanan bagi mereka.
Kuria and its thieves
Di Kenya, Kuria banyak rumah-rumah yang menyembunyikan pencuri sehingga identitas para pencuri sangat sulit untuk dikenal. Oleh karena itu, sangat susah untuk menyelesaikan masalah pencurian di Kuria juga dikarenakan mereka yang dilindungi oleh kerabat mereka di daerah lain. Selain itu mereka juga bisa menyuap para pejabat penegak hukum. Walaupun mereka di hukum, tidak lama kemudian mereka akan bebas dengan sangat mudah. maka dengan memberikan kasus pencurian di Kuria ini kepada pemerintahan adalah hal yang sangat sia-sia.
Selain dari hal diatas, para pencuri juga menyuap pejabat-pejabat negara untuk melancarkan misinya dalam menyelundupkan senjata, dan para pencuri di Kuria juga merekrut para pejabat negara untuk menjadikan sekutu mereka dalam menjalankan misinya yang sangat berguna apabila mereka terbentur dengan beberapa masalah maka para pejabat tersebut dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah yang di dapatkan.
Karena begitu sangat banyaknya para pejabat yang terlibat dengan korupsi, maka yang sangat di perlukan dalam menegakkan hukum dalam menangani kasus pencurian di Kuria adalah organisasi seperti sungusungu. Sungusungu selain memberikan responan terhadap pencuri tetapi dia juga mendapat tantangan dari para pejabat negara dan kepolisian yang bergabung dengan para pencuri tersebut. Maka hal ini menyebabkan terjadinya pro kontra di kalangan pejabat karena organanisasi hanya merupakan organisasi independen yang illegal.
Dalam artikel ini juga di jelaskan bahwa polisi juga pernah di dapatkan membantu para pencuri dengan menangkap anggota dari Sungusungu, karena organisasi sungusungu telah menangkap para pencuri dan para pencuri mendesak kepolisian yang bersekutu dengannya untuk membantu para pencurian tersebut. Tentunya hal ini sangat membuat pihak kepolisian bimbang dalam mengambil keputusan antara menegakkan hukum dan membantu sekutunya.
Selain dari itu yang menjadi masalah utama dalam organisasi sungusungu adalah masalah pendanaan, sehingga juga membuat organisasi independen ini terkadang terpaksa untuk terhenti sementara, dan dalam menjalankan aksinya sungusungu juga mendapatkan ancaman besar dari para pencuri, seperti ancaman pembunuhan terhadap keluarga sungusungu dan pembakaran terhadap rumah sehingga hal ini menyebabkan turunnya kinerja dari organisasi sungusungu.

A World Without Islam

A World without Islam, itulah judul buku yang ditulis oleh Graham E. Fuller. Tentu sangat menarik bukan? Umumnya, judul buku merupakan daya tarik pertama bagi pembaca dan Fuller telah berhasil menarik saya untuk membacanya. Ketika melihat judul tersebut, saya berpikir bahwa Fuller adalah orang yang memandang Islam dengan persepsi negatif. Namun justru sebaliknya, ia mempertanyakan validkah jika kita mempertentangkan antara Islam dan Barat? Ia menyatakan ada atau tidak adanya Islam, dunia akan sama saja. Akan ada hubungan konfliktual antara barat dan timur jika dilihat secara historis-politis. Kenapa? Inilah yang dijawab oleh Fuller dalam bukunya tersebut.
Bagaimanakah jika Islam tak pernah ada? Itulah pertanyaan Pertama yang diajukan oleh Fuller. Tentu jawabannya adalah tidak akan ada benturan peradaban, tidak akan ada perang suci, dan lebih jauh lagi tidak akan ada terorisme. Sejak 9/11, banyak persepsi negatif yang muncul di dunia cenderung mendiskreditkan Islam. Apakah benar Islam merupakan penyebab krisis yang terjadi saat ini? Akankah Timur Tengah menjadi lebih damai? Apakah hubungan timur dan barat akan tetap ada tanpa pengaruh Islam? Untuk menjawab semua ini, Fuller menggunakan analisis sejarah.
Islam selalu diidentikan dengan Timur Tengah, dan memang benar bahwa Islam memang lahir di sana. Dalam perkembangan selanjutnya Islam telah membentuk norma-norma budaya dan preferensi (pilihan) politik masyarakat. Sehingga yang terlihat bahwa Timur Tengah adalah Islam. Lantas bagaimana kita bisa memisah Islam dari Timur Tengah? Menurut Fuller, pertama dimulai dari etnisitas. Sebelum Islam lahir, telah terjadi persaingan etnis di Timur Tengah yang didominasi oleh kelompok etnis Arab, Persia, Turki, Kurdi, Yahudi, dan bahkan suku barbar dan Pashtun. Jadi persaingan ini telah ada sebelum Islam dan mungkin akan tetap berlangsung meskipun Islam tidak ada. Akan tetapi, peran Islam tetap ada sebagai agama mayoritas saat ini di sana.
Sandainya Islam tidak ada dan Kristen menjadi agama terkuat, apakah hubungan Timur Tengah dan barat akan lebih baik? Tentu saja tidak. Sikap ekspansionisme bangsa Eropa pada abad pertengahan lebih didasari oleh kepentingan ekonomi dan geo-politik. Semangat kekristenan dalam Perang Salib hanyalah sebagai symbol kuat pemersatu. Namun tetap tujuan utamanya adalah untuk mencari daerah jajahan sebagai sumber kekayaan. Dan jika Islam tidak ada, rasanya mustahil jika Kristen Timur-Tengah akan diam saja jika mereka dijajah.
Selanjutnya adalah faktor minyak di Timur Tengah. Ini adalah isu yang sangat dominant hingga saat ini. Apakah negara di Timur Tengah rela jika ladang minyak mereka dikuasai oleh asing, khususnya barat? Rasanya tidak mungkin, bahkan orang Kristen Timur Tengah sekalipun rasanya akan menentang hal tersebut. Jadi hal ini bukanlah karena mayoritas negara Timur Tengah tersebut adalah Islam dan anti terhadap barat. Buktinya, adalah bagaimana reaksi Amerika Latin atas dominasi Amerika terhadap minyak, ekonomi dan politik mereka. Gerakan anti-kolonial di Timur Tengah dapat juga disamakan dengan perjuangan anti colonial yang dilakukan oleh golongan Hindu di India, Konfusius di China, Budha di Vietnam, dan perjuangan anti kolonialisme lainnya. Jadi, tidak ada jaminan bahwa seandainya Islam tidak pernah ada, interaksi di Timur Tengah akan lebih baik. Dengan kata lain, tanpa Islam, Timur Tengah akan selalu konfliktual karena telah ada pertarungan kekuasaan, wilayah, pengaruh, ekonomi, dan perdagangan sebelum Islam ada.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah Timur Tengah akan lebih demokratis tanpa Islam? Jawabannya pun sama saja. Tidak ada jaminan bahwa Timur Tengah akan lebih demokratis tanpa Islam. Karena di Eropa sendiri, masa-masa kediktatoran pun baru berakhir pada abad ke-20. Contoh lainnya adalah masalah Palestina. Sebetulnya ini berasal dari permusushan antara Kristen dan Yahudi, bukan dengan Islam. Holocaust telah menjadi bukti sejarah yang nyata dari permusuhan ini. Kaitannya dengan Palestina hanyalah karena kaum yahudi berusaha mencari tanah di laur Eropa. Jadi, konflik Israel Palestina ini, bukanlah konfik agama, melainkan hanya konflik nasionalisme, entnis, dan teritori, karena hak orang Palestina direbut oleh bangsa Yahudi.
Selain itu, agama Kristen di Eropa juga sering dijadikan sebagai alat politik, ini tentu berbeda dengan Kristen di Timur Tengah yang cenderung religius. Sehingga tidak heran jika terjadi pertentangana antara Kristen Katolik di Roma dengan Kristen Ortodoks di Konstantinopel (yang juga berakar dari permasalahan politis). Apalagi sejak terjadi sekulerisasi di Barat (Eropa), kapitalisme, dan kebebasan, membuat gap antara Kristen Ortodoks di Timur semakin berbeda dengan Kristen yang berkembang di Barat.
Jadi, meskipun Islam tidak pernah ada, hubungan Timur Tengah dengan Barat akan tetap tidak harmonis. Hal ini dikarenakan persaingan perebutan sumber daya ekonomi dan kepentingan geo-politik di Timur Tengah. Islam hanyalah dijadikan sebagai alat untuk pemersatu, karena ia adalah agama mayoritas di Timur Tengah saat ini. Dan sekarang ini isu terorisme semakin memperparah hubungan antara keduanya. Apakah benar terorisme ada karena Islam? Yakinkah jika Islam tidak ada, terorisme akan hilang atau tidak akan terjadi peristiwa 9/11? Karena menurut Barat, terorisme, selalu dikaitkan dengan Islam ekstrimisme. Meskipun bukan Islam secara keseluruhan, tetapi melekatnya kata Islam juga menjadi diskredit tersendiri dari isu terorisme ini.
Jawabannya tidak. Terlebih dahulu harus dipertanyakan tentang konsepsi terorisme itu sendiri. Karena konsepsi ini sangat ambigu. Kenapa saat ini terorisme selalu berkaitan dengan Islam. Padahal kelompok Hindu Tamil di Srilanka juga bisa disebut terorisme. Di Athena juga ada terorisme. Dan banyak lagi kelompok militant yang bisa disebut terorisme. Ini berarti bahwa jika Islam tidak ada, terorisme tetap akan ada. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik sentiment etnis, ekonomi, maupun geo-politik. Seperti di Inggris, China, India, Makedonia, dan banyak lagi lainnya. Sebagian besar tindakan tersebut bersifat non-agama. Bahkan serangan terorisme di Eropa selama 2006, hanya sekali dilakukan oleh para Islamis dari 498 serangan. Ini menunjukan bahwa Islam sangat sedikit perannya dalam menimbulkan aksi terorisme. Bahkan kebanyakan tindakan terorisme ini lebih disebabkan oleh ideologi marxisme, bukan Islam.
Semua bangsa tentunya akan menolak adanya penindasan asing. Begitu juga dengan negara-negara Islam. Nasionalisme tetaplah menjadi alasan utama, sedangkan agama hanyalah dijadikan upaya mencari dukungan dari negara lain yang memiliki agama yang sama. Apalagi jika pihak asing tersebut berasal dari agama yang berbeda. Tujuannya adalah agar mendapatkan solidaritas dan dukungan. Jelas, bahwa agama hanya dijadikan sebagai alat politis dari pada sebagai tatanan moral dalam hubungan barat dan Islam.
Jika seandainya Islam tidak ada, dunia belum tentu akan lebih baik? Atau malah akan lebih buruk. Karena persaingan etnis di Timur Tengah bisa berkurang sejak lahirnya Islam. Mungkin jika Islam tidak pernah ada, konflik akan semakin menjadi. Begitu juga dengan konflik barat dan timur tetap ada, karena lebih disebabkan oleh faktor etnis, nasionalisme, ambisi, keserakahan, sumber daya, dan imperialis. Dan lebih ironis lagi, panasnya hubungan timur-barat lebih disebabkan oleh pemimpin yang ototriter sekaligus sekuler.
Bagi Barat, Islam dikonstruksi sebagai sasaran untuk menguasai sumber daya alam Timur Tengah, sementara bagi negara-negara di Timur Tengah, Islam dijadikan sebagai perekat untuk melakukan perlawanan terhadap Barat. Padahal posisi Islam hanyalah komplementer saja yang datang belakangan. Tanpa Islam persaingan Barat versus Timur Tengah akan tetap berlanjut.