Minggu, 22 Januari 2012

Changing Role of Islam in International Relations

Tulisan ini merupakan review terhadap artikel yang ditulis Reza Simbar dengan judul yang sama

Sejak tragedi 11 September 2001 yang sangat menghebohkn dunia, islam semakin diidentikan dengan kekerasan. Bahkan sikap ini menimbulkan ketakutan yang sangat besar terhadap hal-hal yang berbau keislaman yang dikenal dengan istilah Islamfobia. Namun secara demografis, populasi islam malah meningkat. Seperti di perancis, agma islam menjadi agama nomor dua setelah katolik. Saat ini ada sekitar 20 juta penganut islam di eropa. Sedangkan di Amerika Serikat terdapat sekitar 6 juta orang muslim dan telah dibangun lebih dari seribu masjid dan Islamic Centre. Bahkan Di Asia Tengah juga demikian, lima negara eks-Soviet (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan) islam adalah agama mayoritas.
Oleh karena itu islam dapat menjadi salah satu subjek dalam kajian Hubungan Internasional (HI). Akan tetapi ada sedikit perdebatan (mungkin hal ini dikarenakan dominasi sekulerisme dalam budaya politik dan keilmuwan barat) bahwa islam bisa diakui sebagai subjek HI jika memiliki peran dalam perkembangan ekonomi, politik, dan sosial serta tidak ada keterkaitannya dengan masalah keagamaan (kandungan al-Qur’an). Namun, ada yang berpendapat bahwa islam juga memiliki kontribusi dalam politik internasional terkait dengan perang, nasionalisme, nation-state, dan HAM.
Sebelum menganalisa lebih jauh, terlebih dahulu kita harus memahami argumen dasar islam tentang politik, yang tentunya sangat berbeda dengan apa yang dianut oleh barat. Menurut Sayyid Quthb, Islam adalah agama yang komprehensif yang mencakup aspek duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian islam tidak mengakui adanya pemisahan agama dan politik (sekulerisme). Karena islam adalah cara hidup, termasuk politik, karena politik adalah bagian dari realitas kehidupan. Konsep lain adalah konsep manusia sebagai khalifah (vicegerent) Allah. Umat Islam bertanggung jawab untuk menerapkan Islam dalam politik atau untuk berpartisipasi sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini berguna untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Untuk memahami perspektif Islam tentang hubungan internasional membutuhkan pemahaman tentang hubungan antara Islam dan politik.
Terminologi yang digunakan untuk menggambarkan institusi politik islam adalah Dar al-Islam. Ada dua pandangan mengenai Dar al-Islam. Salah satu pandangan menyatakan bahwa wilayah Islam harus diperintah oleh Muslim dan sistem pemerintahan Islam yang diterapkan. Pandangan lain menekankan pada masalah apakah keamanan. Jika muslim dilindungi dan diberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran islam, maka wilayah atau negara tersebut dapat dikatakan Dar al-Islam. Dengan demikian, menurut Tariq Ramadhan, kondisi wilayah yang diakui sebagai Dar al-Islam adalah di mana Muslim merasa aman dan tidak dianiaya karena agama mereka. Oleh karena itu, untuk memahami hubungan sebuah pemerintahan muslim dengan non-Muslim, kita perlu memahami hubungan pada tingkat individu, antara Muslim dan non-Muslim. Karena menurut para cendekiawan Muslim, HI hanyalah kelajutan dari hubungan individu.
Hubungan Internasional (siyar) dalam islam berkaitan dengan hubungan muslim dan non-muslim. Ada dua pandangan dalam islam yang melihat hubungan antara keduanya. Pertama adalah pandangan radikalisme. Pandangan ini menyatakan bahwa jihad (perang) adalah hal yang paling utama dalam hubungan ini. Setiap muslim diwajibkan untuk berperang hingga semua non-muslim mengucapka kaliman ”la ilaha illallah”, atau mereka tunduk pada hukum islam dan mengadakan perjanjian damai dengan islam. Menurut pandangan ini, Muslim tidak diperbolehkan untuk melakukan perjanjian perdamaian permanen dengan negara-negara Dar al-Harb. Jika mereka membuat perjanjian damai, periode perjanjian tidak boleh melebihi sepuluh tahun. Dar al-Harb dalam pandangan ini, wilayah non-islam sehingga harus diperangi.
Kedua adalah pandangan yang menyatakan bahwa perdamaian dan harmoni adalah dasar untuk hubungan muslim dan non-muslim, bukan perang. Muslim diperintahkan untuk merangkul keragaman dan, dengan demikian, toleransi terhadap keragaman menjadi ajaran fundamental Islam. Oleh karena itu, syariah (hukum Islam) diterapkan dengan mempertimbangkan konteks. Menurut mereka jihad hanya bisa dilakukan dalam keadaan terdesak. Tujuan jihad bukan untuk memerangi non-Muslim karena perbedaan iman, tetapi untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan penindasan. Islam memandang keberagaman dan pluralitas sebagai keadaan alami ciptaan Allah SWT. Hal ini Ini kemudian dimanifestasikan melalui perintah Islam untuk menghormati agama lain, non-intervensi dalam urusan agama-agama lain (la ikraaha fi ad-diin).
Islam agama agama perdamaian. Setidak ada empat alasan untuk hal ini, pertama islam berasal dari kata kerja ”aslama” yang berakar pada kata ”salm” atau ”silm” yang berarti perdamaian, keamanan. Kedua, kalimat ”assalamu’alaikum” yang bermakna mendoakan keselamatan dan kebaikan kepada orang lain. Ketiga, al-qur’an lebih banyak berbicara mengenai perdamaian daripada perang. Dan kempat, fakta sejarah yang menyatakan bahwa islam lebih mudah disebarkan dalam kondisi damai. Seperti penyebaran di Asia Tenggara, Indonesia khusunya.
Dalam pandangan barat islam selalu dikaitkan dengan terorisme begitu juga sebaliknya muslim menganggap non-muslim itu jahat. Kesalahapahamn ini harus segera dihilangkan islam bukanlah musuh bagi barat. Terorisme ditolak secara universal oleh umat islam. Oleh karena itu, peran aktif dan dialog berkelanjutan sangat diperlukan oleh kedua pihak. Terorisme atas dasar islam adalah penyimpangan simbol keislaman. Karena islam sangat mencintai perdangan dan kontak fisik hanya boleh dilakukan dalam keadaan perang saja. Bahwa warga sipil sekalipun tidak boleh dibunuh. Seharusnya tidak sulit bagi barat untuk menerima penjelasan ini. Karena dalam sejarah, barat juga menggunakan simbol agama untuk tujuan politis, seperti yang terjadi pada perang salib.
Setidakanya ada tiga gagasan yang berusaha untuk menjelas hubungan antara islam dan barat. Pertama, gagasan konfrontasi. Islam dan barat dianggap tidak serasi, sehingga akan terjadi clash of civilization yang bisa menyebabkan kontak fisik. Islam dan barat dianggap sangat berbeda dalam segala hal.
Kedua, gagasan kompatibilitas. Gagasan ini menilai ada kecocokan dan keserasian dalam hubungan barat dan islam. Karena islam dan barat memiliki budaya dan sejarah yang sama berakar pada keastuan budaya yahudi-kristiani dan yunani. Oleh karena itu, gagasan berusaha untuk membedakan islam yang radikal dan islam yang reformis. Terorisme merupakan implementasi dari islam yang radikal dan dianggap sebagai penyakit peradaban. Radikalisme muncul karena adanya kekecewaan terhadap pemerintahan yang korup, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan tertalu tunduk pada asing. Radikalisme juga muncul karena adanya arogansi dari barat.
Sedangkan renewalism adalah sebuah gerakan yang melakukan perbaikan internal. Mereka lahir sebagai alternatif bagi permasalahan kontemporer. Kelompok ini bukanlah kelompok anti barat. Mereka berusaha untuk mengadaptasi budaya-budaya untuk membuat islam menjadi lebih maju. Gerakan ini merupakan sebuah kemajuan bagi tradisi keilmuwan islam karena setidaknya dapat menjelaskan dan mengatasi masalah modern.
Gagasan ketiga adalah gagasan complementary (pelengkap). Gasan ini berusaha untuk menciptakan kerangka agar Islam dan Barat bisa hidup berdampingan secara damai tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing. Hubungan antara peradaban yang mengakomodasi nilai-nilai perbedaan budaya memberikan fondasi yang sangat diperlukan untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan kerjasama. Menurut gagasan ini, Clash of Civilization sebenarnya merupakan benturan simbol. Contohnya, seperti penggunaan jilbab.
Saya dapat mengambil inti dari artikel ini bahwa isllam adalah perdamaian. Meskipun dalam islam sendiri ada terminologi jihad, bukan berarti islam adalah agama pedang. jihad ada sebuah cara untuk mempertahankan diri dan keutuhan agama islam. Namun dalam jihad sendiri tetap terdapat aturan, bukan secara sporadis seperti yang dilakukan oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan islam. Oelh karena itu, tidak ada alasan bagi barat untuk menganggap islam sebagao musuh.
Apakah islam pantas menjadi subjek kajian HI? Menurut saya, islam sangat pantas untuk dijadikan subjek dalam HI. Prinsip dasar agama agama islam adalah kesatuan antara politik dan agama. Inilah yang menjadi alasan bagi sebagian ilmuwan untuk menyatakan bahwa islam tidak bisa menajdi subjek HI. Karena menurut mereka yang paling utama adalah bagaimana peran islam dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal ini mungkin karena perbedaan tradisi keilmuwan dimana barat yang sangat mengedepankan sekulerisme. Menurut mereka, ranah teologis merupakan faktor yang tidak memiliki relevansi apapun dengan konteks kehidupan sosial politik.
Pluralisme dalam HI membawa berbagai peluang dan akses tidak hanya bagi banyak ajaran, tradisi, filsafat, tetapi juga ada peran agama dalam dimensi yang lebih tegas yaitu “political religion”. Oleh karena itu, pentingnya pengakuan peran agama baik dalam cara memandang teori maupun fenomena world political religion. Ada beberapa konsep-konsep Islam yang cukup penting untuk dipelajari sebagai kajian HI diantaranya etika perang, keamanan, tauhid, ummah, jihad, keadilan, akhlak, dan syariah. Inilah saatnya tradisi pemikiran islam memberikan banyak kontribusi dalam politik dunia dan kajian HI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar