Minggu, 22 Januari 2012

Review: Richard Devetack, Critical Theory (Scott Burchil (et al), theoris of internastional realtions. London: Palgrave, 4th ed, 2009, pp 159-182)

Teori kritis adalah sebuah tradisi pemikiran yang pada awalnya berkembang di Jerman melalui pemikiran-pemikiran yang dikenal sebagai Mazhab Frankfurt. Teori kritis awalnya berasal dari pemikiran Kant, Marx, Dan Hegel. Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan, dan persamaan dan sekaligu menganalisa ancaman-ancaman yang muncul dan menyelesaikannya. Inti dari teori kritis Mazhab Frankfrut ini adalah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya. Teori kritis harus meliputi refleksi teori dan mencatat asal-usul dan penerapan ilmu pengetahuan dalam masyarakat. Teori kritis berusaha untuk mengubah epistemologi dengan menggali akar ilmu pengetahuan dengan memberika perhatian kepada hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dan berdasarkan hubungan inilah akhirnya ada pembedaan antara dua konsepsi teori. Pertama konsepsi tradisional yang mengharuskan seorang teoritikus lepas dari objek analisisnya (objektif). Sedangkan konsepsi teori menyangkal kemungkinan bebabs nilai dalam analsis sosial.
Teori kritis membawa klaim ilmu pengetahuan ke dalam hubungan internasional dengan penelitian yang teliti secara kritis melalui dua cara. Pertama, membahas permasalahan antara konsep tradisional teori dan konsepsi teori kritis. Konsep tradisonal teori ini dalam istilah Robert Cox, dinamakan sebagai Problem-Solving Theory. Konsep ini berdasarkan pada metodologi positivis yang menganggap fakta, nilai, subjek, dan ojeb sangat mungkin untuk dipisahkan. Problem-Solving Theory memandang dunia apa adanya, dengan hubungan sosial dan kekuatan yang berlaku dan institusi-institusi dimana mereka diatur sebagai kerangka yang diberikan untuk tindakan. Tujuan umumnya adalah untuk memperlancar pelaksanaan sistem politik internasional yang terdesentralisasi. Konsep ini membantu menstabilakn struktur tatanan dunia yang telah ada. Sedangkan teori kritis berasumsi bahwa teori terkondisikan dalam waktu dan tempat tertentu (Theory is always for someone and for some purpose). Teori perlu untuk dikondisikan oleh pengaruh sosial, budaya, dan ideologis. Teori kritis menolak asumsi positivis yang mengharus kan fakta, nilai, subjek, dan objek harus dipisahkan. Etika, tidak seharusnya dipisahkan dari teori dan praktek hubungan internasional, tetapi seharusnya disatukan. Teori kritis berusaha untuk mempromosikan refleksivitas teoritis yang lebih besar. Melalui dua proses, yaitu yang pertama adalah 'kesadaran diri sendiri dari satu waktu sejarah dan tempat yang menentukan pertanyaan-pertanyaan yang mengklaim perhatian', yang kedua adalah 'upaya untuk memahami dinamika historis yang membawa kondisi di mana pertanyaan-pertanyaan ini muncul'. Sehingga mereka menolak anggapan yang menyatakan bahwa tatanan yang ada bersifat abadi.
Yang kedua adalah menjelaskan hubungan antara teori kritis dan teori emansipasi. Teori kritis tidak hanya berkaitan dengan pemahaman realita yang ada di dunia politik, tetapi juga bermaksud untuk mengkritik dan mengubahnya, dan teori ini juga berupaya untuk memahami proses sosial yang sangat penting untuk mengetahui apakah perubahan mungkin terjadi. Inti dari emansipatoris teori kritis adalah untuk mengamankan kebebasan, hubungan dominasi, komunikasi yang menyimpang dan pemahaman manusia yang membatasi kemampuannya untuk membuat masa depan mereka penuh dengan kesadaran. Konsepsi emansipasi yang di usung oleh teori kritis sebagian besar berasal dari sebuah hasil pemikiran yang menemukan asal-usulnya dalam upaya pencerahan. Hal ini umumnya kosen untuk memutuskan hubungan dengan bentuk-bentuk ketidakadilan di masa lalu, dan mendorong kondisi untuk mencapai kebebasan universal. Teori kritis lebih fokus perhatiannya pada hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan. Teori ini mengekspos sifat politis dari pembentukan ilmu pengetahuan.

Dimensi praksiologis: etika kosmopolitan dan etika diskursus
Teori internasional kritis berusaha untuk memikirkan kembali makna masyarakat dan memperluas kewarganegaraan kosmopolitan dengan mengidentifikasi mereka yang bekerja untuk menggantikan atau setidaknya menambah sistem negara berdaulat dengan struktur pemerintahan global yang kosmopolitan. Lebih lanjut Linklater menguraikannya dalam istilah 'triple transformation', yang mengidentifikasi proses-proses yang membuka kemungkinan membongkar hubungan antara kedaulatan, wilayah, kewarganegaraan dan nasionalisme dan bergerak menuju bentuk pemerintahan yang lebih kosmopolitan. Oleh karena itu, teori internasional kritis harus menawarkan suatu struktur multi-tingkat pemerintahan yang lebih kompleks. Kuncinya adalah dengan memutuskan hubungan antara kedaulatan dan asosiasi politik yang merupakan bagian integral dari sistem Westphalia. Sehingga pada akhirnya akan meninggalkan gagasan bahwa kekuasaan, otoritas, wilayah, dan kesetiaan harus difokuskan pada sebuah komunitas tunggal atau dimonopoli oleh satu pemerintahan. Dan dengan demikian akan menjadi 'decentre' negara dalam bentuk organisasi politik yang lebih kosmopolitan. Hal ini memerlukan negara untuk membangun dan menempatkannya dalam bentuk masyarakat internasional yang saling melengkapi. Linklater mendaftarkan tiga bentuk. Pertama, sebuah masyarakat pluralis dari negara-negara di mana prinsip-prinsip koeksistensi (hidup berdampingan) bekerja 'untuk melestarikan penghormatan terhadap kebebasan dan kesetaraan. Kedua, masyarakat 'solidaris' untuk tujuan moral yang substantif. Ketiga, kerangka Post-Westphalia dengan melepaskan beberapa kekuatan berdaulat negara agar bisa melembagakan norma-norma politik dan moral bersama. Inilah yang selanjutnya disebut dengan kosmopolitanisme dialogis yang berusaha untuk memperbanyak jenis dan tingkat komunitas politik agar mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusai dalam proses pembuatan keputusan .
Etika diskursus pada dasarnya adalah pendekatan yang ingin menyelesaikan isu-isu politik dalam kerangka moral. Seperti diuraikan oleh Habermas (1984: 99), etika diskursus dibangun berdasarkan kebutuhan untuk mengkomunikasikan subyek (persoalan) untuk menjelaskan keyakinan mereka dan tindakan dalam hal yang jelas kepada orang lain dan yang kemudian dapat mereka terima atau mereka tentang. Ada tiga ciri utama Pertama, etika diskursus (wacana) adalah inclusionary (universal) yang berorientasi pada pembentukan dan pemeliharaan kondisi yang dibutuhkan bagi terciptanya dialog terbuka dan non-eksklusif (tidak mengecualikan salah satu pihak). Kedua, etika diskursus itu demokratis yang berdasarkan pada pengakuan kebebasan para partisipan untuk menggunakan 'rasionalitas argumentatif' untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap klaim validitas yang masih bisa dikritisi. Dengan menggabungkan dorongan inclusionary (universalis) dan demokratis, etika diskursus menyediakan mekanisme yang mampu menguji prinsip-prinsip, norma, atau pengaturan kelembagaan agar menjadi 'kebaikan yang sama untuk semua' dan ketiga, etika diskursus adalah sebuah bentuk rasionalisasi (penalaran) moral-praktis yang dibimbing oleh keadilan prosedural. Etika diskursus berkenaan dengan ‘justifikasi dan aplikasi norma (prinsip moral) yang menetapkan hak dan kewajiban bersama’ dalam situais perselisihan maupun konflik.
Ada tiga implikasi umum etika diskursus. Pertama, etika diskursus menawarkan panduan prosedural untuk proses pengambilan keputusan yang demokratis. etika diskursus menimbulkan pertanyaan bukan hanya tentang' siapa 'yang akan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga' bagaimana 'dan' di mana 'keputusan-keputusan ini harus dibuat. Kedua, memberikan prosedur untuk meregulasikan konflik kekerasan dan memberikan resolusi yang bisa diterima oleh semua pihak yang berkonflik. Artinya dengan mefasilitasi pihak ketiga untuk mencapai resolusi konflik yang tidak hirarkis dan koersif. Ketiga, etika diskursus menawarkan cara mengkritik dan membenarkan prinsip-prinsip di mana manusia mengatur dirinya sendiri secara politisyang merefleksikan prinsip-prinsip inklusi dan eksklusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar