Minggu, 25 September 2011

Transnational Crime, Corruption, and Information Technology

Seiring dengan semakin majunya perkembangan teknologi, dan semakin meningkatnya kuantitas pengguna teknologi informasi, maka akan semakin banyak pula tantangan yang harus dihadapi. Kemajuan ini tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga memberikan dampak negatif. Oleh karena itulah, maka pada tahun 2000 diadakan konferensi tentang Transnational Crime, Corruption Center, and Information teknology. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas isu-isu kontemporer terkait dengan penyalahgunaan teknologi infomasi sebagai sarana kejahatan dan sangat berpotensi terjadinya tindakan korupsi. Mereka ingin memberikan solusi tetapi tanpa menghilangkan potensi ekonomi dari pemanfaatan perkembangan teknologi ini.
Konferensi ini berlangsung selama dua hari yaitu pada 30 November-1 Desember 2000 dan terbagi dalam enam panel. Panel pertama membahas Bagaimana teknologi informasi memfasilitasi kejahatan transnasional dan korupsi? Teknologi seperti e-mail, Internet Relay Chat, chat room, newsgroup, enkripsi , dan layanan anonymi online sering disebut-sebut sebagai penyedia akses untuk melakukan kejahatan dan cara-cara baru untuk mengoperasikan perusahaan terlarang. Layanan-layanan ini memberikan potensi untuk meningkatkan kejahatan karena dengan demikian aktivitas mereka menjadi tidak terlihat, lebih efektif, lebih efisien dan lebih rapi. Pemerintah pun akan semakin kesulitan untuk melacak siapa mereka yang melakukan tindakan tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah pun sangat sulit untuk membuktikan apakah mereka benar-benar melakukan tindakan kejahatan. Dengan semakin canggihnya teknologi, khususnya internet, memudahkan seseorang untuk melakukan penipuan tanpa harus takut diketahui identitasnya. Karena pelaku tersebut dapat menyembunyikan identitasnya dengan menggunakan kode pengaman atau bahkan dengan memalsukan identitasnya. Selain itu, proyek pengembangan teknologi informasi juga berpotensi menjadi sasaran korupsi. Dalam proyek semacan ini sangat rentan sekali dengan suap-menyuap.
Menurut Michael Vatis, Direktur Pusat Perlindungan Infrastruktur Nasional (NIPC) FBI, teknologi informasi juga akan semakin mempermudah jaringan kejahatan. Karena dengan adanya sarana internet, membuat komunikasi mereka menjadi semakin efisien, cepat, aman, dan lintas batas. Kejahatan-kejahatan transnasional akan semakin terorganisir dengan baik. Selanjutnya, produksi perangkat-perangkat yang digunakan untuk mengembangkan tenologi informasi direkayasa (dibajak) sehingga hak kekayaan intelektual seseorang menjadi tidak ada harganya lagi. Selain itu, internet juga disalahgunakan untuk menyebarluaskan informasi-informasi yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan. Karena semua orang bisa mengaksesnya. Seperti informasi tentang teknik pembuatan bom secara sederhana.
Pada panel yang kedua, permasalahan yang dibahas masih seputar penyalahgunaan teknologi informasi untuk kejahatan transnasional dan korupsi tetapi dalam lingkup perspektif internasional. Teknologi informasi memang tidak secara signifikan berpotensi untuk dikorupsi, tetapi justru mempermudah aktivitas korupsi. Salah satu contohnya adalah seperti yang diberikan oleh Michael Hershman yaitu penggunaan internet untuk mentransfer uang. Koruptor dapat dengan mudah memindahkan uangnya ke luar negeri dan menyembunyikannya. Selanjutnya Dinkar Gupta menjelaskannya dengan mengambil contoh kasus di India. Ia memfokuskan pada tiga bidang masalah yaitu pertama, aktivitas kejahatan dalam konteks internet dan sistem komputer. Pembajakan perangkat lunak adalah area utama keprihatinan di India, karena hampir 90% dari perangkat lunak di India adalah bajakan. Kedua dalam bidang jaringan komputer, terutama yang dikuasai oleh negara. Mereka dapat menggunakan jaringan ini untuk melakukan konspirasi memanipulasi data. Ketiga, daerah akhir diskusi adalah telekomunikasi, terutama mengenai penggunaan ponsel. Ponsel sering digunakan oleh para penjahat untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti untuk mengancam seseorang, menipu dan merencanakan kejahatan secara terorganisir. Bahkan ponsel sering digunakan oleh pelaku kejahatan yang ada di penjara untuk berkomunikasi dengan orang luar.
Pada panel yang ketiga, topik yang dibahas adalah masalah Enkripsi dan Privasi. Penggunaan enkripsi ini sangat dilematis. Di satu sisi, proteksi terhadap privasi individu sangat perlu dilakukan. Dengan adanya enkripsi individu akan merasa aman bahwa privasi terjamin. Namun, disisi lain penggunaan ekripsi ini menyebabkan para pelaku kejahatan semakin berani dan merasa aman dalam melakukan aktivitasnya. Dengan demikian mereka tidak akan takut kalau seandainya perilaku mereka akan dilacak. Karena mereka dapat memproteksi akun mereka melalui enkripsi ini. Enkripsi, menurut Dr Denning, digunakan dalam konteks yang berbeda, berbagai bentuk komunikasi, serta penyimpanan data. Untuk masalah privasi sendiri, atau "hak untuk dibiarkan sendiri." Hak pribadi itu harus diberikan jika ia memenfatkannya dengan sah. Namun seiring dengan Pertumbuhan berlanjut dari Internet dan, khususnya, hubungan antara besar sistem informasi terkomputerisasi telah menuntun beberapa industri untuk mencatat bahwa era privasi berakhir. Oleh karena itu Peracikan tantangan ini adalah untuk memastikan privasi sedemikian rupa sehingga informasi yang bergerak di jaringan dan untuk memastikan bahwa identitas diterapkan sedemikian rupa sehingga identitas sebenarnya seseorang dikonfirmasi. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik apa yang dijelaskan di atas adalah bahwa seseorang harus memiliki alat untuk melindungi dirinya. Kerahasiaan harus berada di bawah kendali individu dan harus memiliki perangkat keras, dan informasi tidak boleh memakai drive dalam bentuk "lunak" yang dapat menyebabkan pencurian dan penyalahgunaan. Solusi lain untuk memastikan privasi adalah bahwa smart card digunakan untuk menyelaraskan sistem informasi dan perangkat keras.
Selanjutnya, panel yang keempat membahas tentang jaringan digital. Dalam hal ini para panelis berusaha untuk mengidentifikasikan cara-cara komunikasi digital membantu kejahatan transnasional dan metode hukum untuk mengatasinya. Marc Zwillinger, melihat jaringan digital ini dari dua perspektif-yang dari masyarakat dan pemerintah. Ada tiga poin pengantar yang ia berikan yaitu pertama adalah semua organisasi non-pemerintah seperti majikan, pengiklan, dan situs e-commerce yang sedang memantau lalu lintas jaringan, lebih besar dari pemerintah, dalam hal yang melakukan pemantauan jaringan. Pemerintah, dengan kata lain, memainkan peran kecil dalam memantau lalu lintas jaringan. Kedua, pemerintah yang memiliki kapasitas teknologi untuk memonitor tidak berarti bahwa pemerintah memiliki hak untuk melakukannya. Ketiga, kadang-kadang pemantauan dapat menjadi hal yang baik. Contoh ini termasuk orang tua menginstal perangkat lunak pada komputer mereka sehingga mereka dapat memantau penggunaan Internet anak-anak mereka. hal ini akan lebih efektif dibandingkan menggunakan telepon, karena mereka bisa mengetik di komputer mereka dan orang lain melihat segala sesuatu yang mereka lakukan. Dengan demikian semua yang mereka lakukan bisa terpantau.
Untuk mencegat konten, penegakan hukum harus mengikuti kaidah-kaidah hukum yang mengatakan seseorang tidak bisa mencegat komunikasi elektronik kecuali ada perintah yang dikeluarkan. Dengan demikian, kami memiliki dua jenis pengawasan, pemerintah dan swasta, yang melibatkan berbagai jenis persyaratan untuk memerankannya. Selanjutnya Mike Godwin, membahas dampak pemantauan jaringan yang mengatakan harus berpikir tentang keseimbangan antara jenis privasi yang dihargai dalam masyarakat, dan keterbatasan pemerintah yang dinilai dalam masyarakat kami, dan kemampuan penegakan hukum untuk menegakkan aturan-aturan hukum. Masalah-masalah ini dipersulit oleh fakta bahwa individu-individu semakin banyak diberdayakan oleh teknologi baru. Hal ini lebih merupakan ancaman terhadap privasi individu dan mengarah ke suatu prerogatif pemerintah yang tidak selalu jelas dibatasi oleh kendala kebijakan legislatif atau lainnya.
Sedangkan pada panel yang kelima, pembahsan difokuskan pada pencarian solusi. Panel berusaha mengeksplorasi apa solusi atau strategi mitigasi untuk menghambat, membatasi, atau mencegah teknologi informasi memberikan manfaat bagi aktivitas kejahatan transnasional dan korupsi. Salah satunya adalah model strategi hukum yang dikembangkan dari hukum kejahatan transnasional terorganisir, menyerukan harmonisasi hukum yang lebih besar, lebih besar kerjasama penegakan hukum, dan pembinaan jaringan penegakan hukum. Model lain adalah yang diterapkan untuk pencucian uang-penamaan dan mempermalukan pusat-pusat keuangan luar negeri untuk mempengaruhi perilaku mereka. John Tritak, membahas pentingnya kemitraan publik-swasta dalam menanggapi ancaman dari kejahatan cyber. Kemitraan ini penting karena mereka memungkinkan mitra untuk mengelola dengan lebih baik risiko dalam era informasi seperti sekarang ini. solusi berdasarkan kemitraan publik-swasta lebih baik dari pada menggunakan rezim yang didasarkan pada peraturan. Untuk membahas kemitraan publik-swasta, pemerintah memiliki peran tertentu untuk bermain. Salah satunya adalah untuk membantu mendukung proses berbagi informasi, terutama dalam hal memberikan informasi tentang ancaman yang lebih tinggi yang tidak disadari, seperti kelompok teroris. Selain itu, untuk mengidentifikasi hambatan potensial untuk berbagi informasi atau untuk investasi yang akan meningkatkan pertukaran informasi, termasuk kekhawatiran seperti pelanggaran anti-trust. Dalam hal kemitraan publik-swasta dalam konteks lintas-sektoral, manfaat paling penting adalah pemerintah dapat memberikan bagi industri untuk mengelola masalah-masalah di dunia cyber.
Yang terakhir yaitu membahas tentang apa saja tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa depan. Lou Degni, menunjukan tantangan masa depan penegakan hukum akan dihadapi dalam menangani teknologi yang digunakan oleh organisasi kejahatan. Ada beberapa hal yang menyebakan penegakan hukum memiliki tantangan yang besar. Pertama, apa yang membuat teknologi digital yang menarik bagi penjahat adalah mobilitas mereka yang tawarkan, yang dalam dan dari dirinya sendiri menimbulkan kesulitan bagi penyadapan untuk memantau keran sekarang harus bergerak dengan perangkat komunikasi. Karena protokol transmisi digital, mobilitas dan enkripsi, perangkat ini menimbulkan tantangan untuk melakukan penegakan hukum yang sah, pengawasan elektronik yang berwenang, sehingga membutuhkan teknik intercept yang berbeda dari penegakan hukum yang digunakan yang ada. Kedua, penegakan hukum belum memiliki karyawan yang memenuhi syarat untuk menangani operasi teknologi intensif. Ketiga, penegakan hukum tidak kompetitif dalam hal gaji untuk insinyur teknologi. Akhirnya, penegakan hukum memiliki waktu yang sulit memberikan pelatihan yang lebih baru.
Dengan demikian kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa perkembangan teknologi informasi harus diiringi dengan regulasi yang tidak menghilangkan maupun membatasi manfaatnya bagi kehidupan. Pemberdayaan sumberdaya manusia harus terus dilakukan agar tidak mudah tertipu dan mengerti penggunaan teknologi informasi. Memang dampak negatif (penyalahgunaan) ini tidak bisa dihindari, tetapi setidaknya bisa diminimalisir. Oleh karena itu harus ada kerjasama semua pihak untuk menyelasaikan masalah penyalahgunaan teknologi informasi untuk kejahatan transnasional dan korupsi.

Richard Devetack, Critical Theory, dalam Scott Burchil (et al), theoris of internastional realtions. London: Palgrave, 4th ed, 2009, pp 159-182.

1. Summary Teori kritis berasal dari pemikiran Kant, Marx, Dan Hegel. Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan, dan persamaan dan sekaligu menganalisa ancaman-ancaman yang muncul dan menyelesaikannya. Inti dari teori kritis Mazhab Frankfrut ini adalah pemikiran untuk memahami sifat-sifat utama dari dari masyarakat kontemporer dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya. Teori kritis harus meliputi refleksi teori dan mencatat asal-usul dan penerapan ilmu pengetahuan dalam masyarakat. Teori kritis berusaha untuk mengubah epistemologi dengan menggali akar ilmu pengetahuan dengan memberika perhatian kepada hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dan berdasarkan hubungan inilah akhirnya ada pembedaan antara dua konsepsi teori. Pertama konsepsi tradisional yang mengharuskan seorang teoritikus lepas dari objek analisisnya (objektif). Sedangkan konsepsi teori menyangkal kemungkinan bebabs nilai dalam analsis sosial. Teori kritis membawa klaim ilmu pengetahuan ke dalam hubungan internasional dengan penelitian yang teliti secara kritis melalui dua cara. Pertama, membahas permasalahan antara konsep tradisional teori dan konsepsi teori kritis. Konsep tradisonal teori dinamakan sebagai Problem-Solving Theory oleh Robert Cox yang menganggap fakta, nilai, subjek, dan objek sangat mungkin untuk dipisahkan. Problem-Solving Theory memandang dunia apa adanya, dengan hubungan sosial dan kekuatan yang berlaku dan institusi-institusi dimana mereka diatur sebagai kerangka yang diberikan untuk tindakan. Tujuan umumnya adalah untuk memperlancar pelaksanaan sistem politik internasional yang terdesentralisasi. Sedangkan teori kritis berasumsi bahwa teori terkondisikan dalam waktu dan tempat tertentu (Theory is always for someone and for some purpose). Teori perlu untuk dikondisikan oleh pengaruh sosial, budaya, dan ideologis. Teori kritis menolak asumsi positivis yang mengharus kan fakta, nilai, subjek, dan objek harus dipisahkan. Etika, tidak seharusnya dipisahkan dari teori dan praktek hubungan internasional, tetapi seharusnya disatukan. Teori kritis berusaha untuk mempromosikan refleksivitas teoritis yang lebih besar. Melalui dua proses, yaitu yang pertama adalah 'kesadaran diri sendiri dari satu waktu sejarah dan tempat yang menentukan pertanyaan-pertanyaan yang mengklaim perhatian', yang kedua adalah 'upaya untuk memahami dinamika historis yang membawa kondisi di mana pertanyaan-pertanyaan ini muncul'. Sehingga mereka menolak anggapan yang menyatakan bahwa tatanan yang ada bersifat abadi. Yang kedua, menjelaskan hubungan antara teori kritis dan teori emansipasi. Teori kritis tidak hanya berkaitan dengan pemahaman realita yang ada di dunia politik, tetapi juga bermaksud untuk mengkritik dan mengubahnya. Inti dari emansipatoris teori kritis adalah untuk menjaga kebebasan, hubungan dominasi, komunikasi yang menyimpang dan pemahaman manusia yang membatasi kemampuannya untuk membuat masa depan mereka penuh dengan kesadaran. Konsepsi emansipasi yang di usung oleh teori kritis berasal dari sebuah hasil pemikiran yang menemukan asal-usulnya dalam proyek pencerahan. Proyek ini umumnya berkaitan pemutusan hubungan dengan bentuk-bentuk ketidakadilan di masa lalu untuk mendukung perkembangan keadaan yang diperlukan mencapai kebebasan universal. Teori kritis lebih fokus perhatiannya pada hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan dengan mengekspos sifat politis dari pembentukan ilmu pengetahuan. Dimensi praksiologis: etika kosmopolitan dan etika diskursus Teori internasional kritis berusaha memikirkan kembali makna masyarakat dan memperluas kewarganegaraan kosmopolitan dengan menambah sistem negara berdaulat dengan struktur pemerintahan global yang kosmopolitan. Linklater menguraikannya dalam istilah 'triple transformation', yang mengidentifikasi proses-proses yang memungkinkan membongkar hubungan antara kedaulatan, wilayah, kewarganegaraan dan nasionalisme dan bergerak menuju bentuk pemerintahan yang lebih kosmopolitan. Kuncinya adalah dengan memutuskan hubungan antara kedaulatan dan asosiasi politik yang merupakan bagian integral dari sistem Westphalia. Sehingga akan meninggalkan gagasan bahwa kekuasaan, otoritas, wilayah, dan kesetiaan harus difokuskan pada sebuah komunitas tunggal atau dimonopoli oleh satu pemerintahan. Dengan demikian akan menjadi 'decentre' negara dalam bentuk organisasi politik yang lebih kosmopolitan. Hal ini memerlukan negara untuk membangun dan menempatkannya dalam bentuk masyarakat internasional yang saling melengkapi. Linklater mendaftarkan tiga bentuk. Pertama, sebuah masyarakat pluralis dari negara-negara di mana prinsip-prinsip koeksistensi (hidup berdampingan) bekerja 'untuk melestarikan penghormatan terhadap kebebasan dan kesetaraan. Kedua, masyarakat 'solidaris' untuk tujuan moral yang substantif. Ketiga, kerangka Post-Westphalia dengan melepaskan beberapa kekuatan berdaulat negara agar bisa melembagakan norma-norma politik dan moral bersama. Inilah yang selanjutnya disebut dengan kosmopolitanisme dialogis yang berusaha untuk memperbanyak jenis dan tingkat komunitas politik agar mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusai dalam proses pembuatan keputusan . Etika diskursus pada dasarnya adalah pendekatan yang ingin menyelesaikan isu-isu politik dalam kerangka moral. Seperti diuraikan oleh Habermas (1984: 99), etika diskursus dibangun berdasarkan kebutuhan untuk mengkomunikasikan subyek (persoalan) untuk menjelaskan keyakinan mereka dan tindakan dalam hal yang jelas kepada orang lain dan yang kemudian dapat mereka terima atau mereka tentang. Ada tiga ciri utama etika diskursus (wacana), pertama, adalah inclusionary (universal) yang berorientasi pada pembentukan dan pemeliharaan kondisi yang dibutuhkan bagi terciptanya dialog terbuka dan non-eksklusif (tidak mengecualikan salah satu pihak). Kedua, demokratis yang berdasarkan pada pengakuan kebebasan para partisipan untuk menggunakan 'rasionalitas argumentatif'’ untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap klaim validitas yang masih bisa dikritisi. Dengan menggabungkan dorongan inclusionary (universalis) dan demokratis, etika diskursus menyediakan mekanisme yang mampu menguji prinsip-prinsip, norma, atau pengaturan kelembagaan agar menjadi 'kebaikan yang sama untuk semua'. Ketiga, etika diskursus adalah sebuah bentuk rasionalisasi (penalaran) moral-praktis yang dibimbing oleh keadilan prosedural. Etika diskursus berkenaan dengan ‘justifikasi dan aplikasi norma (prinsip moral) yang menetapkan hak dan kewajiban bersama’ dalam situais perselisihan maupun konflik. Ada tiga implikasi umum etika diskursus. Pertama, etika diskursus menawarkan panduan prosedural untuk proses pengambilan keputusan yang demokratis. Etika diskursus menimbulkan pertanyaan bukan hanya tentang ‘siapa’ yang akan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga 'bagaimana' dan' ‘di mana' keputusan-keputusan ini harus dibuat. Kedua, memberikan prosedur untuk meregulasikan konflik kekerasan dan memberikan resolusi yang bisa diterima oleh semua pihak yang berkonflik. Artinya dengan mefasilitasi pihak ketiga untuk mencapai resolusi konflik yang tidak hirarkis dan koersif. Ketiga, menawarkan cara mengkritik dan membenarkan prinsip-prinsip di mana manusia mengatur dirinya sendiri secara politis yang merefleksikan prinsip-prinsip inklusi dan eksklusi. 2. Daftar Konsep Politik : bidang yang berkitan dengan pencapaian kehidupan yang adil Hegemoni :suatu kesesuaian antara unsure kekuasaan, ideology dan kelembagaan yang membingkai pemikiran dan juga membatasi gerakan. Emansipatoris :kebebasan untuk menghilangkan hamabatan-hambatan yang dapat mengganggu orang untuk melakukan sesuatu secara bebas 3. Tujuan Penulis Tujuan penulis dalam buku ini adalah untur menjelaskan alternative teori dalam menganalisa hubungan internasional. Penulis berusaha untuk menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada hubungan ilmu dengan nilai. Penulis ingin menunjukan bahwa proses pembuatan ilmu pengetahuan itu tidak lah netral dan selalu mengandung unsure politis. 4. Pandangan Mahasiswa Penjelasan yang teradapat dalam buku ini cukup kaya akan penjelasan sehingga dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca. Buku ini juga syarat akan penejelasan nilai dan etika namun konteks teori kritis tidak dijelaskan perebdaaan dengan post-sturkturalis ecara signifikan, sehingga tidak diketahui perbedaan keduanya dalam kesimpulan. 5. Apakah ilmu itu tidak boleh memihak (netral)? Tidak, ilmu harus memihak. Karena menurut kami, setiap penelitian pasti mempunyai tujuan untuk menjelaskan apa yang ia ingin jelaskan. Penelitian itu tidak selalu dilakukan untuk menghilangkan rasa penasaran, tetapi juga bisa dilakukan untuk menguatkan atau membantah yang telah ada, dalam artian, penelitian harus memihak terhadap apa yang kita yakini agar dapat menyampaikan penjelasan kita. seperti halnya seorang guru matematika yang menjelaskan kepada muridnya, dengan tujuan agar murid dapat memahami penjelasan guru tersebut.