Rabu, 21 November 2012

Kekhawatiran Israel Terhadap Gejolak di Timur Tengah



 Review Tulisan Efraim Inbar yang berjudul "Israeli Defense: The Arab Uprisings' Impact

Krisis Politik yang terjadi sebagai akibat dari adanya aksi protes masyarakat secara masif di negara-negara Arab memang mulai mereda. Jatuhnya rezim Ben Ali di Tunisia, Husni Mobarak di Mesir, dan Muamar Khadafi di Lybia memberikan sedikit kondusifitas politik di Kawasan Timur Tengah. Namun masih ada satu negara yang bergejolak, yaitu di Suriah. Perubahan geo-politik ini tentunya memiliki dampak pada pola hubungan baik bilateral maupun multilateral di kawasan, terutama dalam hubungan antara Arab-Israel.
Israel sangat khawatir sekali dengan perubahan politik domestik di negara-negara arab. Kemenangan-kemenangan yang diraih partai politik yang beraliran islam-ideologis membuat Israel semakin resah. Meskipun Israel adalah negara yang kuat secara militer dan ekonomi, tetapi ia tidak memiliki teman yang dekat di kawasan. Oleh karena itu, Israel harus selalu siap dan memantau segala perubahan politik domestik di negara-negara arab yang tentunya akan merubah arah kebijakan politik luar negeri mereka.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh Israel ini sangat wajar dan beralasan. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan politik dalam negeri negara-negara di Timur Tengah ternyata sangat berpengaruh dalam membentuk pola hubungan dan orientasi politik luar negeri negara tersebut. Contohnya adalah Revolusi Islam di Iran pada 1979. Revolusi ini membawa Iran menuju suatu bentuk pemerintahan yang berdasarkan pada teokrasi Shiah. Perubahan ini berlanjut pada sikap politik luar negerinya. Jika sebelumnya Iran adalah negara yang pro-barat pada era Palevi, maka pasca Revolusi tersebut Iran menjadi tidak bersahabat dengan Barat, terutama Israel dan Amerika. Contoh kedua adalah di Turki. Kemenangan yang diraih oleh the Islamist justice and Development Party sejak 2002 membuat Turki menjadi negara yang anti-Israel.
Ada beberapa hal yang membuat Israel khawatir dengan kekacauan politik domestik negara-negara tetangganya. Selain besarnya potensi kekuatan jatuh kepada kaum islamis, juga adanya kekhawatiran jika yang mengamabil alih kendali pemerintahan adalah kelompok yang lemah, maka tidak akan berlangsung lama. Dan selanjutnya akan di ambil alih oleh kelompok islamis. Atau bahkan jika ketidakstabilan politik domestik masih berlangsung, isu konfrontasi dengan Israel akan menjadi kebijakan yang akan membuat masyarakat kehilangan perhatiaannya terhadap permasalahan politik dommestik. Hal ini tidak lain karena masyarakat Arab yang mayoritas beragama islam akan mengusung semangat solidaritas keagamaan terhadap warga Palestina yang haknya dirampas oleh Israel.
Faktor lain yang menjadi kekhawatiran Israel adalah akan menurunnya pengaruh Amerika Serikat dan semakin meningkatnya pengaruh Iran dan Turki. Menurunya pengaruh AS di timur Tengah tidak lain karena Rezim yang jatuh adalah regim yang cenderung terbuka seperti Mubarak di Mesir. Qaddafi sendiri masih sedikit terbuka dengan AS. Selain itu, rencana penarikan mundur pasukan AS dari Irak dan Afghanistan semakin mempertegas bahwa pengaruh AS akan semakin memudar di Kawasan. Dan ini berarti Israel akan kehilangan sekutu dekatnya yang memiliki pasukan di Timur Tengah. Apalagi ditambaha dengan kritik yang cenderung pasif dan gagal terhadap tindakan represif Bashar al-Assad di Suriah semakin memperkuat bahwa AS semakin lemah pengaruhnya di Kawasan.
Selain itu, kerenggangan hubungan dan dukungan AS pada pemerintaha Obama juga semakin memperkuat kegelisahan Israel. Hal ini dikraenakan besarnya peran Amerika di masa lalu dalam menjaga kepentingan Israel dan mengajak para pemimpin negara Arab untuk bernegosiasi. Hal ini disebabkan oleh fokus perhatin pemerintahan Obama untuk membenahai ikondisi ekonomi domestik yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lebih lanjut, dengan kepergian pasukan AS dari timur-tengah akan semakin meningkatkan kepercayaan diri kaum islamis anti-Israel. Bahkan para pemimpin yang pro–AS pun akan cenderung mengikuti aspirasi masyarakatnya yang tidak menginginkan perdamaian dengan Israel.
Sementara itu, Rezim yang frontal terhadap AS dan sekutu, seperti Iran dan Suriah, masih tetap memegang kendali pemerintahan. Lebih lanjut, besarnya pengaruh Iran dan juga turki dalam mendorong para demonstran di Mesir untuk menggulingkan Mubarak membuktikan bahwa pengaruh kedua mulai meningkat. Apalagi ditambah dengan kemenagan yang diraih oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dalam pemilu Mesir. IM memiliki kesesuaian ideologis dengan Turki dan Iran yang notabenenya saling berkompetisi untuk menjadi nomor satu di hadapan negara-negara Arab dengan sikap vocal mereka terhadap Israel. Sementara pemerintahan militer sementara sekarang juga cenderung merestorasi hubungan mereka dengan Iran. Persaingan pengaruh antara Iran dan Turki ini semakin terlihat dengan dukungan yang diberikan Turki terhadap opposisi di Suriah. Sementara rezim Assad adalah sekutu Iran.
Selain kehilangan dukungan politik, Israel juga memiliki ancaman militer yang besar dari Iran, yaitu program nuklir Iran yang oleh Israel dianggap sebagai embrio dari pembuatan senjata nuklir. Iran sendiri meskipun telah diberi sanksi oleh komunitas internasional, namun tetap mampu survive dan terus melanjutkan program nuklirnya. Hal ini menunjukan bagi Israel bahwa ancaman nuklir Iran ini benar-benar nyata.
Dengan berkurangnya pengaruh AS di Timur Tengah maka Israel harus berdiri sendiri untuk menjaga dan bertahan. Dengan didukung oleh kemampuan ekonomi yang baik, Israel memiliki kesempatan untuk memperkuat sistem petahanannya. Israel harus meningkatkan Anggaran militer untuk menjaga dan memperkuat pertahanannya dalam menangkal semua ancama keamanan nasionalnya. Setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan oleh Israel untuk memperkuat sistem defense-nya, yaitu passive protection dan active defense. Proteksi pasif (passive protection) mengacu pada konstruksi perlindungan (shelters) dalam negeri, institusi pendidikan, dan pusat komersial serta hiburan. Sedangkan active defense system mencegah roket dan misil yang datang.


Changes in Turkey: What Drives Turkish Foreign Policy?
Svante E. Cornell

Turki merupakan salah satu dari sebagian kecil negara Islam yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sehingga menurut saya Turki sedikit “menghianat” negara-negara Islam lainnya yang secara umum mendeklamasikan komitmennya untuk mendukung upaya Palestina. Pernyataan umum ini terimplementasikan dalam pembenttukan OKI. Namun, pasca menangnya Islamist Justice and development party (AKP) pada pemilu 2002, orientasi politik Turki mulai mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan ersebut seperti mulai meenjalin hubungan yang lebih dekat dengan Iran, Suriah, dan Sudsan yang sebelumnya menjadi rival Turki. PM terpilih, Resep Tyyip Erdogan berusaha untuk memjadi mediator bagi Iran dengan dunia barat. Bahkan tekadngg, tidak jarang retorika yangg dikeluarkan Turki seakan-akan menentang AS dan negara Eropa laiinya. Hal ini semakin menambah perdebatan bagi posisi Turki di Eropa. Lebih lanjut lagi, Turki mulai membatasi hubungannya dengan Israel yang telah terjalin cukup lama.
Seiring dengan merenggangnya hubungan dengan Israel, hubungan dengan Iran semakin membaik. Hal ini ditunjukan dengan dukungan terhadap program nuklir Iran. Bahkan pada november 2008, PM Erdogan mengatakan kepada negara-negara yang memiliki nuklir untuk menghapus semua program nuklir yang dimilikinya sebelum ikut campur mengurusi masalah nuklir Iran. Lebih lanjut, pada voting di IAEA untuk menjatuhkan sanksi bagi Iran, Turki mengambil sikap absstein.
Berbanding terbalik dengan membaiknya hubungan dengan Iran, hubungan Turki-Israel justru sebaliknya. Bahkan pada September 2011 lalu, Erdogan mengancam untuk melakukan aksi konfrontasi dengan Israel. Belum lagi penyerangan terhadap kapal ekspedisi Mavi Marmara yang membawa bantuan keamanan ke Palestina. Hal ini semakin memperuncing hubungan diplomatik Turki-Israel. Secara militer, baik diangkatan darat, udara, maupun laut Erdogan telah memerintahkan mereka untuk siap bertmpur dengan Israel. Kebijakan-kebijakan militeristik ini semakin menegaskan bahwa orientaasi politik Turki tidak lagi bersahabat terhadap Israel.


Selasa, 06 November 2012

Fatamorgana

Aku ingin dunia yang terang, tak samara dan tak redup. Aku butuh cahaya. Namun cahaya itu tak ada. Bertahun-tahun orang mencari cahaya. Suatu ketika mereka mengira mendapat cahaya. Kemudian datang orang lain berkata, ”itu bukan cahaya.” itu hanyalah tawa kepedihan, bukan cahaya. Mungkin kenes atau sinis, tetapi bukan cahaya. Cahaya tidak ada, kalau begitu apa jadinya hidup ini?
Mungkin ini semua semu. Hanyalah khayalan atau ilusi. Atau bahkan cahaya itu hanya sekedar mimpi. Tetapi semua orang harus bermimpi dan memiliki mimpi. Apalah artinya hidup ini tanpa sebuah mimpi. Mungkin hidup akan terasa membosankan, atau bahkan terasa mati. Aneh, hidup dan mati kan berbeda. Namun aku tak tahu apa mimpiku. Kalaupun boleh disebut mimpi, mungkin satu-satunya mimpiku adalah ingin di dekatnya, berada di sisinya. Tapi semua itu seakan mustahil. Meskipun di dunia ini tak ada yang mustahil. Yah, mimpi adalah mimpi. Hanya sekedar khayalan, tak ada yang bisa menduga. Hanya kenyataan lah yang dapat membuktikannya.
Banyak orang yang berkata, mimpi adalah setengah dari kenyataan. Asalkan engkau mau memperjuangkan maka mimpimu akan terwujud. Tapi itu bagiku hanyalah pelipur lara. Jaminan apa yang akan diberikan ketika ku perjuangkan dan mimpiku tak juga tercapai. Tetap saja hanya waktu yang membuktikan apakah mimpi akan terwujud atau tidak. Tapi apa salahnya mencoba, kata mereka. Lagi-lagi ku pertanyakan, jika gagal bagaimana. Bukankah itu membuang kesempatan ku untuk melakukan hal yang benar-benar jelas tujuannya. Yah, apapun yang akan dikatakan orang, biarlah. Setidaknya inilah yang ku yakini saat ini. Keyakinan yang mungkin berubah suatu saat nanti. Kenyataannya, toh saat ini cahaya itu hanya sekedar mimpi bagiku.