Rabu, 12 Oktober 2011

AIDS, Security, and Biopolitcs

Tulisan ini merupakan review dari artikel yang ditulis oleh Stefan Elbe dengan judul yang sama


Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, batas-batas wilayah tidak lagi menjadi hambatan yang berarti. Sistem internasional pun akhirnya mengalami integrasi. begitu juga dengan aktor internasional, tidak lagi dimonopoli oleh beberapa negara seperti pada era perang dingin. Dengan demikian, peta politik dunia berubah menjadi sistem yang multipolar dari sistem bipolar. Banyaknya jumlah negara yang berinteraksi di dunia internasional membuat fokus perhatian para politisi dan ilmuwan tidak lagi terpusat pada masalah tradisional (aspek militer). Isu-isu yang menjadi perhatian semakin kompleks. Salah satu isu yang diangkat sebagai isu keamanan internasional adalah HIV/AIDS.

Mengapa HIV/AIDS dianggap sebagai isu keamanan internasional? HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan. Dalam artikel yang ditulis oleh Stefan Elbe ini, sekitar 42 juta orang telah terkena penyakit ini dan lebih lebih dari 25 juta orang telah menjadi korban. Tingkat penyebarannya pun sangat tinggi, hal ini dibuktikan dengan korban yang tewas setiap hari tiga kali lebih banyak dari korban 11 September 2001. Para politisi internasional berpendapat bahwa HIV akan menjadi masalah jangka panjang yang dapat mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di masa depan karena tingkat prevalensi berkisar antara 10 dan 40 persen dari populasi orang dewasa. Oleh karena itulah, Dewan Keamanan PBB meminta seluruh pemerintah diseluruh dunia untuk menjadikan pandemik AIDS ini sebagai prioritas politik karena berkaitan dengan National Security sebuah bangsa. Dengan demikian, politik tidak hanya berkaitan dengan perang dan damai, tetapi juga politik berhubungan dengan penanganan masalah kesejahteraan dan kesehatan manusia.

HIV/AIDS masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower, anatamo-politic, dan biopolitics. Biopower adalah konsep yang berkaitan dengan pembuatan pengetahuan dan kekuasaan (power-knowledge) sebagai agen untuk transformasi kehidupan manusia. Biopower menganggap masyarakat sebagai makhluk biologis atau dengan kata lain hidup tidak sebagai subjek hukum atau politik, memperlakukan manusia sebagai makhluk hidup.

Anatomo-politik adalah konsep yang berkaitan strategi politik menganggap manusia sebagai tubuh (body), artinya bahwa bagaimana cara untuk membuat tubuh manusia menjadi lebih produktif secara fisik. Sesuai dengan namanya (anatomi), konsep ini berusaha untuk membuat sistem tentang bagaimana pengelolaan manusia secara jasmaniah. Sedangkan biopolitk, mengacu pada strategi politik yang bertujuan secara kolektif menganggap manusia sebagai spesies. Konsep ini erat kaitannya dengan masalah populasi dimana manusia sebagai makhluk biologis yang melakukan reproduksi. Konsep ini berusaha mengatur tingkat populasi, seperti tingkat natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), meningkatkan harapan hidup rata-rata, menurunkan tingkat morbiditas dan (keadaan tidak sehat).

Dengan demikian, jika tujuan biopolitik adalah untuk memaksimalkan kesehatan manusia, maka penyakit tidak bisa dianggap hanya sebagai masalah kesehatan saja. Penyakit harus dikendalikan secara politik, sosial, dan ekonomi yang perlu diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan yang komprehensif. Konsep ini pun berlaku terhadap permasalahan HIV/AIDS dalam konsep sekuritisasi AIDS (Securitization of AIDS). Dengan masuknya AIDS ke dalam agenda keamanan internasional, maka keamanan tidak lagi terbatas pada mempertahankan kedaulatan, integritas wilayah, hukum internasional tetapi juga termasuk masalah dinamika populasi seperti ”penyakit” pun menjadi masalah penting. Para aktor sekuritisasi HIV/AIDS menyerukan agar masalah kependudukan  juga menjadi tujuan pemerintah, tidak hanya sebatas menjadi kekuatan penguasa.

Sekutisasi AIDS juga masuk dalam dimensi biopolitik karena para aktor internasional berupaya untuk memonitor dan mengatur kesehatan masyarakat. Badan-badan internasional yang melakukan pemantauan secara rinci terhadap perkembangan HIV/AIDS adalah seperti WHO, terutama UNAIDS yang berupaya untuk memberikan informasi secara detail dan global tentang AIDS. Untuk tujuan ini UNAIDS selalu meng-up to date data tahunan setiap negara. UNAIDS memberikan pengetahuan tentang karekteristik biologis dari populasi dan sub-populasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan pandemik ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan seharusnya menjadi prioritas semua orang. Karena Menurut Foucault, biopower (mencakup anatomo-politic dan biopolitik) tidak pernah menjadi milik satu agen, melainkan selalu jamak, dan desentralisasi.

Konsep bipolitik Foucault memang telah merubah persepsi dan pandangan politik menjadi lebih cenderung kepada aspek kemanusian. Konsep biopolitik telah menjadi penyebab dibangunnya rumah sakit sebagai tempat pengobatan dan membuat sebuah sistem kesehatan universal. Oleh karena itulah, sekuritisasi HIV/AIDS diharapkan akan memberikan manfaat kemanusiaan bagi mereka yang terinfeksi virus ini dengan menjadikannya sebagai isu internasional yang signifikan. Lantas, bagaimana cara kita merespon epidemik ini? Berapakah besaran alokasi yang kita korbankan untuk menanganinya? Sektor pemerintah yang manakah yang terlibat dalam meresponnya? Namun, konsep biopolitik ini juga harus diterapkan secara hati-hati, karena konsep ini pun memiliki bahaya yang serius. Salah satu bahaya tersebut adalah dalam bentuk rasisme model baru. Rasisme, sebelumnya dilakukan berdasarkan pada ras, budaya, dan aspek sosial lainnya. Pertanyaanya, dari aspek manakah securitisasi HIV/AIDS ini bisa menjadi bentuk rasisme baru?

Rasisme (menurut saya) adalah bentuk diskriminasi terhadap orang lain (umumnya adalah kelompok minoritas). Kita akan menghindari orang tersebut, bahkan memusuhinya. Begitu juga dengan penderita AIDS, dengan alasan kesehatan (label sakit), mereka akan terisolir dari masyarakat. Sekuritisasi AIDS akan berusaha memaksimalkan kesehatan masyarakat sehingga menganggap orang yang dikategorikan tidak sehat tersebut berbahaya. Menurut Foucault, prinsip yang mendasari rasisme biopolitik ini adalah label sehat. Bahkan terkesan seperti membiarkan mereka yang dianggap sakit (positif terinveksi virus HIV/AIDS) mati secara bertahap. Setidaknya ada tiga hal dimana sekuritisasi AIDS dapat menimbulkan rasisme biopolitik.

Pertama, dengan masuknya HIV/AIDS dalam kerangka keamanan, maka pemerintah akan menyimpulkan bahwa cara yang paling efektif untuk mengatasi pandemik ini adalah dengan membiarkan mereka yang terinfeksi mati dari pada harus memberikan pengobatan. Argumen ini mungkin masih sebuah hipotesa karena tidak ada dokumentasi faktualnya. Tetapi hal ini bisa dilihat dari pernyataan seorang pejabat National Intelligence pada 1990-an, “itu akan lebih baik, karena kelebihan penduduk Afrika”. Juga seorang mantan pejabat UN Population Fund (UNFPA) yang mengeluarkan gurauan bahwa AIDS merupakan salah satu cara untuk pengendalian pertumbuhan penduduk di Afrika. Satu anggapan yang paling rasial adalah bahwa yang sehat akan lebih baik tanpa mereka yang tidak sehat.

Kedua, dengan melakukan karantina terhadap mereka yang positif HIV/AIDS, dengan kata lain mencegah, mereka untuk bergabung dengan masyarakat karena perbedaan karakter biologis mereka. tindakan ini dibenarkan dengan alasan untuk memastikan dan meningkatkan kesehatan penduduk. Sekuritsasi AIDS semacam ini, menurut Stefan Elbe, sudah mulai dilakukan di kalangan militer. Orang terinfeksi HIV akan dinon-aktifkan dari dinas militer karena mereka dianggap melemahkan efisiensi dan efektivitas kinerja militer, sehingga dapat merusak perlindungan terhadap penduduk sipil secara keseluruhan. Ketiga, pengidap HIV/AIDS dapat dicegah untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Dengan alasan kesehatan, pemerintah dapat menolak untuk mengeluarkan visa. 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara untuk meminimalisir ancaman rasisme dan melakukan normalisasi pada sekuritisasi HIV/AIDS? Setidaknya ada tiga cara yaitu pertama, memasukan HIV AIDS sebagai ancaman keamanan selain menjadi ancaman kesehatan, ekonomi dan sosial. Tetapi tidak dengan melakukannya secara ekslusif dan tetap mempertimbangkan aspek-aspek HAM. Misalnya dengan tidak mempersulit penderita HIV/AIDS untuk mendapat pengobatan. Kedua, untuk mengsekuritisasi AIDS bukan hanya memakai kerangka keamanan nasional, akan tetapi memakai kerangka keamanan manusia. Kerangka keamanan manusia adalah berkaitan dengan pengobatan penyakit untuk kehidupan individu. Ketiga, ancaman rasisme juga dapat diminimalisir dengan mendesak sipil untuk merespon dan mencegah aktor keamanan melanggar HAM. Selain itu juga memasukan AIDS sebagai ancaman keamanan internasional.

Sekutitisasi juga HIV juga berdampak pada normalisasi (penormalan perilaku). Orang yang normal adalah orang yang tidak terkena penyakit. Sehingga ketika sekuritisasi HIV ini dimasukkan dalam agenda keamanan internasional diharapkan akan menormalkan perilaku-perilaku kelompok dengan memaksimalkan kesehatan penduduk. Menurut Foucault, teknik normalisasi yang digunakan oleh biopower adalah terkait dengan perilaku seksual. Biopower diperluka untuk menentukan bentuk seksualitas karena seks menentukan perilaku individu yang berdampak pada jumlah populasi.

Review of The Smuggling of Migrants: A Flourishing Activity of Transnational Organized Crime

Di era globalisasi seperi sekarang ini, jarak geografis tidak lagi menjadi hambatan yang serius. Dengan semakin samarnya batasan geografis ini, interaksi antar negara di dunia pun semakin intens. Dampaknya perekonomian dunia semakin tumbuh, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Hal inilah yang akhirnya menarik orang-orang yang hidup di dunia ketiga tertarik untuk mencari peruntungan di daerah industri tersebut. Akan tetapi banyaknya persyaratan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan izin tinggal (visa) membuat para calon imigran ini mencari cara-cara lain untuk mencapai tujuan mereka.
Di masa lalu pelayanan ini disediakan oleh beberapa orang yang berspesialisasi untuk dapat melewati suatu perbatasan secara ilegal dan menyelundupkan migran melalui jalan tersembunyi di pegunungan. Fenomena inilah akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Penyeludupan manusia dan migrasi illegal ini telah menjadi bisnis yang bernilai jutan dolar. Sehingga kejahatan ini menjadi semakin terorganisir (Transnational Organized Crime). Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh pemerintah Amerika Serikat pada 30 September 2004, lebih dari 350.000 imigran ilegal telah melintasi perbatasan AS dari meksiko. Sedangkan yang memasuki Eropa sebanyak 800.000 orang.
Modus yang digunakan untuk menyeludupka imigran sangat bervariasi. Salah satunya dengan menggunakan visa pelajar. Dengan menggunakan visa ini mereka dapat masuk ke negara tujuan. Namun, setelah visa ini berakhir, mereka tetap berada di negara tersebut. Sedangkan modus yang terjadi di Amerika utara adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Contoh lainnya sepertiyang dilakukan oleh imigran dari Timur-Tegah dan Asia Selatan. Mereka terlebih dahulu masuk ke wilayah Malaysia, dan selanjutnya membuat perahu kecil untuk melewati Indonesia dan menuju Australia.
Terkait dengan masalah biaya, TOC menerapkan tiga macam harga berdasar pada cara yang mereka lakukan. Harga pertama yaitu dengan menyogok petugas yang berwenang di negara tujuan untuk mendapatkan dokumen imigran yang legal. Sedangkan yang kedua dengan pemalsuan izin tinggal dan terakhir dengan memasukkan mereka ke dalam sebuah peti yang diangkut oleh kapal kontainer. Terkait dengan rute yang dilalui untuk melakukan penyeludupn ini, Kepolisian Eropa mengidentifikasi rute untuk penyeludupan migran ke Uni Eropa melalui rute Mediterania (dari Timur ke Barat), rute Afrika Utara (dari Selatan ke Utara), rute Balkan (dari Tenggara ke Barat Laut), rute pesisir Atlantik Barat Afrika (dua subrute), rute Eropa Tengah dan Timur, dan rute Baltik.
Kerangka Legal: The UN TOC Convention and The Protocol On Smuggling Of Person
Konvensi PBB yang tentang TOC adalah konvensi yang dilakukan di Palermo, Italia pada 2000. dalam konvensi ini, TOC didefinisikan sebagai sebuah kejahatan yang terstruktur yang melibatkan tiga orang atau lebih dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih tindakan kejahatan demi mendapatkan keuntungan. Ada tiga protokol penting yang Salah satunya adalah protokol yang melawan penyelundupan baik melalui darat, laut dan udara. Protokol itu mendefinisikan “penyelundupan migran” sebagai pengadaan, untuk memperoleh keuntungan keuangan dari memasukkan manusia secara ilegal kedalam sebuah negara dimana orang-orang tersebut bukanlah penduduk dari negara tersebut. Definisi ini menyebutkan bahwa jelaslah merupakan tindakan pidana untuk mendapatkan keuntungan.
Artikel 2 dari protokol mendefinisikan sebuah pernyataan dengan tujuan, yang mana “untuk mencegah dan memberantas penyelundupan para migran, sebaiknya mempromosikan kerjasama antar negara sebagai pihak yang mengakhiri, sambil melindungi hak dari migran yang diselundupkan”. Ada lagi tambahan, artikel 5 dari protokol jelas untuk negara “para migran tidak akan bertanggung jawab pada penuntutan pidana dibawah protokol ini untuk fakta dimana menjadi objek dari apa yang telah ditetapkan di artikel 6”.
Pertanyaannya adalah kenapa imigran gelap tidak termasuk ke dalam pelaku kriminil, tetapi mereka justru dikategorikan sebagai korban kejahatan TOC? Hal ini dikarenakan Secara tehnik, penyelundupan berakhir pada saat kedatangan, tetapi pada kenyataannya para migrant dalam tujuannya telah mendirikan kontrak dengan atau melalui organisasi yang sama, misalnya untuk mendapatkan pekerjaan. Disinalh mereka menjadi korban. Karena apabila mereka dieksploitir oleh TOC tersebut, mereka tentunya tidak akan bisa melakukan pembelaan. Status mereka sebagai imigran gelap membuat mereka tidak memiliki perlindungan hukum. Sehingga sering kali mereka menjadi objek bagi TOC untuk meraup keuntungan yang sangat besar. Karena mereka para imigran, telah menyerahkan hidup mereka di abawah kendali TOC tersebut.
Ketika para imigran gelap tersebut tertangkap, dan dideportasi mereka akan sangat dirugikan. Karena mereka telah membayar kepada TOC tersebut sebelum mereka berangkat. Sedangkan TOC ini cenderung melakukan manipulasi data untuk meraih keuntungan. Sehingga ketika mereka (imigran) dipulangkan mereka tidak akan mendapatkan keuntunga apa-apa.
Menurut The Australian Institute of Criminology, setidaknya ada 10 kategori agen yang berbeda dalam setiap peristiwa penyelundupan. Di badian atas organisasi tersebut ada seorang pengatur/penyandang dana yang menginvestasikan keuntungan dan mengawasi kegiatan penyelundupan. Yang kedua, Perekrut adalah perantara antara calon imigran dan penyandang dana. Selanjutnya, pengangkut adalah yang membawa dari bandara atau pelabuhan ke kota besar. Empat, pejabat publik yang korup, mereka menyediakan dokumen resmi izin, atau petugas bea cukai. Yang kelima, Informan adalah mereka yang mengumpulkan informasi mengenai pengawasan perbatasan peraturan imigrasi, sistem suaka dan aktivitas penegakan hukum. Yang ke enam, pemandu dan kru (bisanya supir kendaraan seperti supir taksi) mereka memindahkan para imigran secara illegal dari satu titik transit ke tempat lain dan mendampingi para pendatang sepanjang perjalanan. Selanjutnya, aparat penegak, bertanggung jawab untuk menjaga perintah antara migran selama perjalanan. Kedelapan, dept coletor, mereka bertanggung jawab mengumpulkan biaya, sering kali menggunakan ancaman dan kekerasan. Dan pencuci uang dalam jenis lain kegiatan ilegal memberikan keuntungan dalam jumlah besar. Diperlu untuk menyamarkan atau 'membersih' keuntungan tersebut dengan didukung oleh personil/staf pegawai dan para profesionalis. Serta yang terakhir adalah masyarakat setempat di titik embarkasi dan transit poin bertugas penampungan dan menyembunyikan migrant.
Telah jelas bahwa semua bentuk pkejahatan itu dilakukan atas dasar motif bisnis. Oleh karena itu, para imigran selalu menjadi objek eksploitasi tersebut. Meskipun di sisi lain, terkada justru para calon imigran inilah yang mencari cara lain untuk melakukan migrasi. Tetapi tetap saja yang mendapat keuntungan adalah para penyeludup tersebut. Terjadinya penyeludupan ini juga terjadi karena adanya permintaan pasar terhadap tenaga kerja yang murah. Oleh karena itu, peran pemerintah setiap negara sangat diperlukan untuk mencegahnya. Seperti dengan melakukan standarisasi upah minimum, juga dengan pengetatan syarat administrasi pekerja tidak hanya ditingkat birokrasi, tetapi juga hingga ke dalam perusahaan. Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap perekrutan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan. Sehingga tidak terjadi pengekploiasian manusia.

Review: Theory of International Relaton in Islam (Labeeb Ahmed Bsoul)

Tulisan ini merupakan review terhadap artikel yang ditulis oleh Labeeb Ahmed Bsoul, Ph.D


Islam secara kuantitas merupakan agama dengan penganut terbesar di dunia. Dalam kondisi globalisasi sekarang ini, hubungan antar negara semakin komplek. International Relations yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Mu’amalat atau Siyar. Siyar berkaitan dengan hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Sejak berakhir perang dingin dan terutama sekali pasca 11 September 2001, Islam dianggap sebagai ancaman bagi keamanan dan perdamaian dunia. Persepsi ini muncul karena para orientalis barat berpendapat bahwa setiap umat Islam wajib hukumnya untuk membunuh orang non-Muslim (kafir) ketika terjadi perang. Islam dianggap sebagai agama kekerasan
Akan tetapi, ada juga sebagian ilmuwan barat yang memiliki pandangan berbeda terhadap Islam. Seperti Sir Thomas Arnold yang berpendapat bahwa ekspansi agama Islam terjadi melalui cara-cara damai, khususnya melalui dakwah. Klaim bahwa Islam adalah agama kekerasan yang disebarkan dengan pedang adalah distorsi. Mengingat sebagian besar ilmuwan barat menganggap Islam sebagai agama perang, maka tidak ada salahnya jika kita juga melihat Dari sudut pandang pemaluk Islam itu sendiri. Bagaimana para pemeluk Islam menilai hubungan mereka dengan non-Muslim.
Menurut sumber Islam dan tradisi, Islam menunjukkan prinsip hubungan internasional antara bangsa-bangsa dalam hal hubungan antara mu'minun , dan mu'ahidun atau antara mu'minun dan orang tanpa 'ahd (perjanjian). Hubungan ini selanjutnya dibagi menjadi tiga kategori, muharibin , ahl al-'ahd dan ahl dzimmah . Berdasarkan kategori di atas, sarjana Muslim membagi dunia menjadi dua, yang dikenal sebagai Dar la-Islam (wilayah Islam) meliputi semua negara Islam dimana syariat Islam berlaku dan Dar al -Harb (wilayah perang atau wilayah non-Muslim memusuhi Muslim) dimana hukumnya tidak berdasarkan pada syriat Islam.
Menurut Shaybani, Dar al-Islam adalah wilayah yang berada dibawah otoritas Islam, atau dimana aturan Islam diterapkan, atau suatu wilayah di mana umat Islam hidup dalam keadaan perlindungan. Hal ini memungkinkan untuk kasus-kasus di mana non-Muslim berada di wilayah Muslim (ahlu al-dzimmah). Dar al-Harb, bisa menjadi Dar al-Islam dalam tiga kondisi, pertama dimana wilayah tersebut jatuh ke tangan umat Islam dan penduduknya masuk Islam. Kedua, wilayah tersebut dikuasai oleh Islam meskipun penduduknya tetap non-muslim. Ketiga, wilayah Islam yang dipengaruhi oleh Dar al-Harb yang kemudian ditebus oleh Islam.
Dengan demikian, Dar al-Islam tidak bergantung pada siapa penduduknya. Apakah mereka muslim atau non-muslim. Selama wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan Islam, maka penduduk non-muslim yang disebut ahl al-dhimma berkewajiban membayar jizyah (pajak) dan mereka dapat hidup dengan aman, damai, dan tentram. Sedangkan menurut Sarakhsi, semua wilayah dimana umat Islam merasa terancam, tidak aman, dan menjadi sasaran ancaman merupakan bagian dari Dar al-Harb. Karena Dar al-Islam harus memberikan rasa aman bagi penduduknya.
Beberapa pemikir Islam modern juga memberikan pendapatnya mengenai Dar al-Islam. Diantaranya adalah Awdah 'Abd al-Qadir', menurutnya Dar al-Islam mencakup wilayah-wilayah di mana prinsip-prinsip hukum-hukum Islam diberlakukan atau di mana umat Islam mampu mempraktekkan hukum Islam. Sehingga setiap wilayah yang dihuni oleh mayoritas Muslim, atau tempat yang ditaklukkan oleh umat Islam dan diperintah oleh Islam (bahkan jika mayoritas penduduknya adalah non-muslim), juga setiap wilayah yang ditaklukkan dan dikuasai oleh non-Muslim dan Muslim bebas untuk melaksanakan aturan Islam, tetap disebut sebagai Dar al-Islam. Menurut abu Zahra Dar al-Islam adalah sebuah negara yang diperintah oleh otoritas Islam dan yang memiliki ketentuan untuk menetapkan apakah suatu aturan bisa ditegakkan atau dilarang. Sedangkan M. Rashid Ridha menganggapnya sebagai seluruh teritori dimana aturan Islam bisa diterapkan dan dipraktekkan.
Rafi'i al-Qazwini (w. 632/1226) menetapkan tiga kategori untuk menentukan status dar al-Islam: 1) bahwa dar harus dihuni oleh umat Islam, 2) harus ditaklukkan oleh Muslim, dan 3) dar harus telah dihuni oleh Muslim yang dievakuasi, sehingga kemudian berada di bawah kendali orang musyrik. Menurut dia, salah satu dari ini akan membuat dar sebagai bagian dari dar al-Islam, bahkan kategori ketiga, di mana beberapa ahli hukum sebelumnya dan kemudian berbeda. Namun, ia mempersempit kategori ketiga dengan menetapkan beberapa kondisi. Misalnya, ia menjelaskan bahwa, jika kaum musyrik mencegah kaum Muslim tinggal di wilayah di bawah kendali mereka, maka akan menjadi dar al-harb. Namun, jika mereka tidak memaksa umat Islam untuk pergi, maka akan tetap menjadi dar al-Islam meskipun fakta bahwa kontrol politik dar telah dipegang kepada non-Muslim.
Sedangkan Dar al-Harb Menurut Shaybani adalah wilayah di mana keputusan dan hukum berdasarkan prinsip-prinsip non-Islam, yang secara otoritatif diimplementasikan dan ditegakkan. Meskipun muslim melakukan perjanjian dengan non-muslim bahwa maturan tersebut tidak berlaku bagi mereka, wilayah tersebut tetap saja dianggap sebagai Dar al-Harb. Sedangkan menurut Sharakhsi suatu wilayah akan menjadi Dar al-Islam hanya jika aturan Islam yang diterapkan. Oleh karena itu, jika aturan Islam tidak diterapkan, maka Dar itu akan terus menjadi Dar al-Harb, karena berbasis pada struktur non-Islam hukum.
Menurut mayoritas ahli hukum Hanbali, Setiap kali sebuah wilayah di mana umat Islam berada di bawah ancaman, dan dimana keputusan berdasarkan pada polytheisme atau sistem non-Islam dikenakan, maka wilayah tersebut didefinisikan sebagai Dar al-Harb. Sedangkan menurut kalangan Syafi’i Dar al-Harb adalah Dar mana umat Islam dihalangi menjalankan agama mereka dengan bebas.
'Abd al-Qadir' Awdah mendefinisikan Dar al-Harb sebagai Dar yang mencakup semua wilayah non-Islam yang diatur oleh non-Muslim dan di mana hukum ditegakkan dalam wilayah yang didasarkan pada sumber-sumber non-Islam. Meskipun sistem pemerintahannya diterapakan melalui sistem tunggal atau multi-partai, selama muslim tidak bisa menegakan aturan islam, maka tetap saja disebut Dar al-Harb. 'Abd al-Wahhab Khallaf mendefinisikan dar al-harb sebagai dar yang memiliki hubungan damai dengan dar al-Islam meskipun hukum-hukum isllam tidak ditegakkan.
Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai Dar al-Harb menurut abu Zahra ada tiga kondisi, pertama jika wilayah tersebut berada di bawah kendali non-muslim. Kedua jika wilayah Islam diserang dan takluk kepada non-muslim. Ketiga jika muslim dan ahlu dhimmi merasa tidak aman meskipun dibawah kendali umat Islam. Tetapi ada pendapat lain yang menambahkan yaitu, jika orang murtad dari Islam yang menguasai wilayah tersebut dan menerapkan hukum kemusyrikan (berdasarkan pada polytheisme). Dan terakhir jika Ahlu Dhimmi melakukan pemberontakan terhadap perjanjian yang telah ada dan mereka berhasil menguasainya.
Dar Al-'Ahd Dan Muwada'a
Suatu wlayah dapat dikatakan menjadi Dar al-Islam jika berada dalam salah satu diantara empat kondisi berikut; 1) penduduk suatu wilayah menjadi muslim dan tetap di wilayah mereka; 2) wilayah itu ditangkap dengan kekerasan, namun pemerintah memungkinkan muslim menegakkan hukum-hukum Islam; 3) warga non-muslim menerima hukum Islam di bawah perlindungan Islam dengan menjadi ahl al-dzimmah, dan 4) Jika wilayah ditaklukkan di bawah perjanjian damai di mana umat Islam diperbolehkan untuk menyelesaikan dan menerapkan dengan kharaj (pajak tanah).
Kondisi yang ke empat inilah yang disebut dengan Dar al-‘Ahd dan Muwada’a. Menurut shaybani, wilayah ini adalah bagian dari Dar al-Harb yang berdamai dengan umat Islam dengan membayar kharaj tahunan, atau upeti tetap, sebagai ganti karena mereka tidak menerapkan hukum islam dan untuk tidak memaksakan status dzimmah pada mereka. Jika salah satu warganya memasuki Dar al-Islam dengan kekayaan yang cukup, maka menurut kesepakatan rekonsiliasi, ia harus diberikan keamanan dan perlindungan. Sarakhsi membenarkan pendapat Shaybani dengan mengatakan bahwa dalam kasus ini, siapa pun yang memasuki Dar al-Islam, akan aman dan tidak menjadi dzimmi, selama dia tidak Harbi karena para ahkam Islam tidak berlaku kepada orang-orang (ahl) muwada'a. Selain itu, Dar tidak menjadi Dar al-Islam di bawah ketentuan rekonsiliasi ini karena tidak menegakkan hukum Islam.
Shaybani menambahkan bahwa jika seseorang pihak pada suatu muwada'a membunuh pihak lain untuk sama dalam Dar al-muwada'a, ia tidak akan dikenakan qisas (hukuman hukum), meskipun hal ini akan berlaku jika ia membunuh seorang musta'min (siapa saja yang telah diberi janji keamanan) di Dar al-Islam. Hal ini karena, menurut Sarakhsi, ahl al-muwada'a tidak memiliki komitmen untuk hukum Islam di bawah perjanjian rekonsiliasi, sehingga mereka dianggap Dar al-Harb.
Akan tetapi banyak ilmuwan barat menganggap Dar yang ketiga ini tidak ada. Sebagian besar ilmuwan hanya meyakini ada dua Dar yaitu Dar al-Islam dan al-Harb. Sehingga Dar al-'ahd dianggap sebagai wilayah sementara dan sering penengah antara Dar al-Islam dan Dar al-Harb.
Menurut penulis, sebagian besar pendapat para cendikia muslim diatas berprinsip bahwa Dar al-Islam akan tercipta jika konstitusi islam yang menjadi payung hukumnya. Namun, yang menarik adalah pendapat awdah 'Abd al-Qadir' dan Rafi'i al-Qazwini yang menyatakan bahwa suatu wilayah dapat dikatakan Dar al-Islam asalkan muslim dapat menjalankan ajaran dan prinsip keislaman. Berdasarkan pendapat ini, kondisi dunia internasional saat ini memiliki tendensi ke arah Dar al-Islam. Mengapa? Karena PBB sebagai lembaga supranasional memiliki konvensi HAM yang memberikan kebebasan prinsipil bagi setiap individu, salah satu untuk menjalankan agama. Begitu juga dengan jargon demokrasi yang berlandaskan pada Human Rights. Saat ini demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang sangat diminati oleh banyak negara. Terutama pada aspek implementasi Human Rights.