Rabu, 12 Oktober 2011

Review: Theory of International Relaton in Islam (Labeeb Ahmed Bsoul)

Tulisan ini merupakan review terhadap artikel yang ditulis oleh Labeeb Ahmed Bsoul, Ph.D


Islam secara kuantitas merupakan agama dengan penganut terbesar di dunia. Dalam kondisi globalisasi sekarang ini, hubungan antar negara semakin komplek. International Relations yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Mu’amalat atau Siyar. Siyar berkaitan dengan hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Sejak berakhir perang dingin dan terutama sekali pasca 11 September 2001, Islam dianggap sebagai ancaman bagi keamanan dan perdamaian dunia. Persepsi ini muncul karena para orientalis barat berpendapat bahwa setiap umat Islam wajib hukumnya untuk membunuh orang non-Muslim (kafir) ketika terjadi perang. Islam dianggap sebagai agama kekerasan
Akan tetapi, ada juga sebagian ilmuwan barat yang memiliki pandangan berbeda terhadap Islam. Seperti Sir Thomas Arnold yang berpendapat bahwa ekspansi agama Islam terjadi melalui cara-cara damai, khususnya melalui dakwah. Klaim bahwa Islam adalah agama kekerasan yang disebarkan dengan pedang adalah distorsi. Mengingat sebagian besar ilmuwan barat menganggap Islam sebagai agama perang, maka tidak ada salahnya jika kita juga melihat Dari sudut pandang pemaluk Islam itu sendiri. Bagaimana para pemeluk Islam menilai hubungan mereka dengan non-Muslim.
Menurut sumber Islam dan tradisi, Islam menunjukkan prinsip hubungan internasional antara bangsa-bangsa dalam hal hubungan antara mu'minun , dan mu'ahidun atau antara mu'minun dan orang tanpa 'ahd (perjanjian). Hubungan ini selanjutnya dibagi menjadi tiga kategori, muharibin , ahl al-'ahd dan ahl dzimmah . Berdasarkan kategori di atas, sarjana Muslim membagi dunia menjadi dua, yang dikenal sebagai Dar la-Islam (wilayah Islam) meliputi semua negara Islam dimana syariat Islam berlaku dan Dar al -Harb (wilayah perang atau wilayah non-Muslim memusuhi Muslim) dimana hukumnya tidak berdasarkan pada syriat Islam.
Menurut Shaybani, Dar al-Islam adalah wilayah yang berada dibawah otoritas Islam, atau dimana aturan Islam diterapkan, atau suatu wilayah di mana umat Islam hidup dalam keadaan perlindungan. Hal ini memungkinkan untuk kasus-kasus di mana non-Muslim berada di wilayah Muslim (ahlu al-dzimmah). Dar al-Harb, bisa menjadi Dar al-Islam dalam tiga kondisi, pertama dimana wilayah tersebut jatuh ke tangan umat Islam dan penduduknya masuk Islam. Kedua, wilayah tersebut dikuasai oleh Islam meskipun penduduknya tetap non-muslim. Ketiga, wilayah Islam yang dipengaruhi oleh Dar al-Harb yang kemudian ditebus oleh Islam.
Dengan demikian, Dar al-Islam tidak bergantung pada siapa penduduknya. Apakah mereka muslim atau non-muslim. Selama wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan Islam, maka penduduk non-muslim yang disebut ahl al-dhimma berkewajiban membayar jizyah (pajak) dan mereka dapat hidup dengan aman, damai, dan tentram. Sedangkan menurut Sarakhsi, semua wilayah dimana umat Islam merasa terancam, tidak aman, dan menjadi sasaran ancaman merupakan bagian dari Dar al-Harb. Karena Dar al-Islam harus memberikan rasa aman bagi penduduknya.
Beberapa pemikir Islam modern juga memberikan pendapatnya mengenai Dar al-Islam. Diantaranya adalah Awdah 'Abd al-Qadir', menurutnya Dar al-Islam mencakup wilayah-wilayah di mana prinsip-prinsip hukum-hukum Islam diberlakukan atau di mana umat Islam mampu mempraktekkan hukum Islam. Sehingga setiap wilayah yang dihuni oleh mayoritas Muslim, atau tempat yang ditaklukkan oleh umat Islam dan diperintah oleh Islam (bahkan jika mayoritas penduduknya adalah non-muslim), juga setiap wilayah yang ditaklukkan dan dikuasai oleh non-Muslim dan Muslim bebas untuk melaksanakan aturan Islam, tetap disebut sebagai Dar al-Islam. Menurut abu Zahra Dar al-Islam adalah sebuah negara yang diperintah oleh otoritas Islam dan yang memiliki ketentuan untuk menetapkan apakah suatu aturan bisa ditegakkan atau dilarang. Sedangkan M. Rashid Ridha menganggapnya sebagai seluruh teritori dimana aturan Islam bisa diterapkan dan dipraktekkan.
Rafi'i al-Qazwini (w. 632/1226) menetapkan tiga kategori untuk menentukan status dar al-Islam: 1) bahwa dar harus dihuni oleh umat Islam, 2) harus ditaklukkan oleh Muslim, dan 3) dar harus telah dihuni oleh Muslim yang dievakuasi, sehingga kemudian berada di bawah kendali orang musyrik. Menurut dia, salah satu dari ini akan membuat dar sebagai bagian dari dar al-Islam, bahkan kategori ketiga, di mana beberapa ahli hukum sebelumnya dan kemudian berbeda. Namun, ia mempersempit kategori ketiga dengan menetapkan beberapa kondisi. Misalnya, ia menjelaskan bahwa, jika kaum musyrik mencegah kaum Muslim tinggal di wilayah di bawah kendali mereka, maka akan menjadi dar al-harb. Namun, jika mereka tidak memaksa umat Islam untuk pergi, maka akan tetap menjadi dar al-Islam meskipun fakta bahwa kontrol politik dar telah dipegang kepada non-Muslim.
Sedangkan Dar al-Harb Menurut Shaybani adalah wilayah di mana keputusan dan hukum berdasarkan prinsip-prinsip non-Islam, yang secara otoritatif diimplementasikan dan ditegakkan. Meskipun muslim melakukan perjanjian dengan non-muslim bahwa maturan tersebut tidak berlaku bagi mereka, wilayah tersebut tetap saja dianggap sebagai Dar al-Harb. Sedangkan menurut Sharakhsi suatu wilayah akan menjadi Dar al-Islam hanya jika aturan Islam yang diterapkan. Oleh karena itu, jika aturan Islam tidak diterapkan, maka Dar itu akan terus menjadi Dar al-Harb, karena berbasis pada struktur non-Islam hukum.
Menurut mayoritas ahli hukum Hanbali, Setiap kali sebuah wilayah di mana umat Islam berada di bawah ancaman, dan dimana keputusan berdasarkan pada polytheisme atau sistem non-Islam dikenakan, maka wilayah tersebut didefinisikan sebagai Dar al-Harb. Sedangkan menurut kalangan Syafi’i Dar al-Harb adalah Dar mana umat Islam dihalangi menjalankan agama mereka dengan bebas.
'Abd al-Qadir' Awdah mendefinisikan Dar al-Harb sebagai Dar yang mencakup semua wilayah non-Islam yang diatur oleh non-Muslim dan di mana hukum ditegakkan dalam wilayah yang didasarkan pada sumber-sumber non-Islam. Meskipun sistem pemerintahannya diterapakan melalui sistem tunggal atau multi-partai, selama muslim tidak bisa menegakan aturan islam, maka tetap saja disebut Dar al-Harb. 'Abd al-Wahhab Khallaf mendefinisikan dar al-harb sebagai dar yang memiliki hubungan damai dengan dar al-Islam meskipun hukum-hukum isllam tidak ditegakkan.
Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai Dar al-Harb menurut abu Zahra ada tiga kondisi, pertama jika wilayah tersebut berada di bawah kendali non-muslim. Kedua jika wilayah Islam diserang dan takluk kepada non-muslim. Ketiga jika muslim dan ahlu dhimmi merasa tidak aman meskipun dibawah kendali umat Islam. Tetapi ada pendapat lain yang menambahkan yaitu, jika orang murtad dari Islam yang menguasai wilayah tersebut dan menerapkan hukum kemusyrikan (berdasarkan pada polytheisme). Dan terakhir jika Ahlu Dhimmi melakukan pemberontakan terhadap perjanjian yang telah ada dan mereka berhasil menguasainya.
Dar Al-'Ahd Dan Muwada'a
Suatu wlayah dapat dikatakan menjadi Dar al-Islam jika berada dalam salah satu diantara empat kondisi berikut; 1) penduduk suatu wilayah menjadi muslim dan tetap di wilayah mereka; 2) wilayah itu ditangkap dengan kekerasan, namun pemerintah memungkinkan muslim menegakkan hukum-hukum Islam; 3) warga non-muslim menerima hukum Islam di bawah perlindungan Islam dengan menjadi ahl al-dzimmah, dan 4) Jika wilayah ditaklukkan di bawah perjanjian damai di mana umat Islam diperbolehkan untuk menyelesaikan dan menerapkan dengan kharaj (pajak tanah).
Kondisi yang ke empat inilah yang disebut dengan Dar al-‘Ahd dan Muwada’a. Menurut shaybani, wilayah ini adalah bagian dari Dar al-Harb yang berdamai dengan umat Islam dengan membayar kharaj tahunan, atau upeti tetap, sebagai ganti karena mereka tidak menerapkan hukum islam dan untuk tidak memaksakan status dzimmah pada mereka. Jika salah satu warganya memasuki Dar al-Islam dengan kekayaan yang cukup, maka menurut kesepakatan rekonsiliasi, ia harus diberikan keamanan dan perlindungan. Sarakhsi membenarkan pendapat Shaybani dengan mengatakan bahwa dalam kasus ini, siapa pun yang memasuki Dar al-Islam, akan aman dan tidak menjadi dzimmi, selama dia tidak Harbi karena para ahkam Islam tidak berlaku kepada orang-orang (ahl) muwada'a. Selain itu, Dar tidak menjadi Dar al-Islam di bawah ketentuan rekonsiliasi ini karena tidak menegakkan hukum Islam.
Shaybani menambahkan bahwa jika seseorang pihak pada suatu muwada'a membunuh pihak lain untuk sama dalam Dar al-muwada'a, ia tidak akan dikenakan qisas (hukuman hukum), meskipun hal ini akan berlaku jika ia membunuh seorang musta'min (siapa saja yang telah diberi janji keamanan) di Dar al-Islam. Hal ini karena, menurut Sarakhsi, ahl al-muwada'a tidak memiliki komitmen untuk hukum Islam di bawah perjanjian rekonsiliasi, sehingga mereka dianggap Dar al-Harb.
Akan tetapi banyak ilmuwan barat menganggap Dar yang ketiga ini tidak ada. Sebagian besar ilmuwan hanya meyakini ada dua Dar yaitu Dar al-Islam dan al-Harb. Sehingga Dar al-'ahd dianggap sebagai wilayah sementara dan sering penengah antara Dar al-Islam dan Dar al-Harb.
Menurut penulis, sebagian besar pendapat para cendikia muslim diatas berprinsip bahwa Dar al-Islam akan tercipta jika konstitusi islam yang menjadi payung hukumnya. Namun, yang menarik adalah pendapat awdah 'Abd al-Qadir' dan Rafi'i al-Qazwini yang menyatakan bahwa suatu wilayah dapat dikatakan Dar al-Islam asalkan muslim dapat menjalankan ajaran dan prinsip keislaman. Berdasarkan pendapat ini, kondisi dunia internasional saat ini memiliki tendensi ke arah Dar al-Islam. Mengapa? Karena PBB sebagai lembaga supranasional memiliki konvensi HAM yang memberikan kebebasan prinsipil bagi setiap individu, salah satu untuk menjalankan agama. Begitu juga dengan jargon demokrasi yang berlandaskan pada Human Rights. Saat ini demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang sangat diminati oleh banyak negara. Terutama pada aspek implementasi Human Rights.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar