Rabu, 12 Oktober 2011

AIDS, Security, and Biopolitcs

Tulisan ini merupakan review dari artikel yang ditulis oleh Stefan Elbe dengan judul yang sama


Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, batas-batas wilayah tidak lagi menjadi hambatan yang berarti. Sistem internasional pun akhirnya mengalami integrasi. begitu juga dengan aktor internasional, tidak lagi dimonopoli oleh beberapa negara seperti pada era perang dingin. Dengan demikian, peta politik dunia berubah menjadi sistem yang multipolar dari sistem bipolar. Banyaknya jumlah negara yang berinteraksi di dunia internasional membuat fokus perhatian para politisi dan ilmuwan tidak lagi terpusat pada masalah tradisional (aspek militer). Isu-isu yang menjadi perhatian semakin kompleks. Salah satu isu yang diangkat sebagai isu keamanan internasional adalah HIV/AIDS.

Mengapa HIV/AIDS dianggap sebagai isu keamanan internasional? HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan. Dalam artikel yang ditulis oleh Stefan Elbe ini, sekitar 42 juta orang telah terkena penyakit ini dan lebih lebih dari 25 juta orang telah menjadi korban. Tingkat penyebarannya pun sangat tinggi, hal ini dibuktikan dengan korban yang tewas setiap hari tiga kali lebih banyak dari korban 11 September 2001. Para politisi internasional berpendapat bahwa HIV akan menjadi masalah jangka panjang yang dapat mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di masa depan karena tingkat prevalensi berkisar antara 10 dan 40 persen dari populasi orang dewasa. Oleh karena itulah, Dewan Keamanan PBB meminta seluruh pemerintah diseluruh dunia untuk menjadikan pandemik AIDS ini sebagai prioritas politik karena berkaitan dengan National Security sebuah bangsa. Dengan demikian, politik tidak hanya berkaitan dengan perang dan damai, tetapi juga politik berhubungan dengan penanganan masalah kesejahteraan dan kesehatan manusia.

HIV/AIDS masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower, anatamo-politic, dan biopolitics. Biopower adalah konsep yang berkaitan dengan pembuatan pengetahuan dan kekuasaan (power-knowledge) sebagai agen untuk transformasi kehidupan manusia. Biopower menganggap masyarakat sebagai makhluk biologis atau dengan kata lain hidup tidak sebagai subjek hukum atau politik, memperlakukan manusia sebagai makhluk hidup.

Anatomo-politik adalah konsep yang berkaitan strategi politik menganggap manusia sebagai tubuh (body), artinya bahwa bagaimana cara untuk membuat tubuh manusia menjadi lebih produktif secara fisik. Sesuai dengan namanya (anatomi), konsep ini berusaha untuk membuat sistem tentang bagaimana pengelolaan manusia secara jasmaniah. Sedangkan biopolitk, mengacu pada strategi politik yang bertujuan secara kolektif menganggap manusia sebagai spesies. Konsep ini erat kaitannya dengan masalah populasi dimana manusia sebagai makhluk biologis yang melakukan reproduksi. Konsep ini berusaha mengatur tingkat populasi, seperti tingkat natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), meningkatkan harapan hidup rata-rata, menurunkan tingkat morbiditas dan (keadaan tidak sehat).

Dengan demikian, jika tujuan biopolitik adalah untuk memaksimalkan kesehatan manusia, maka penyakit tidak bisa dianggap hanya sebagai masalah kesehatan saja. Penyakit harus dikendalikan secara politik, sosial, dan ekonomi yang perlu diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan yang komprehensif. Konsep ini pun berlaku terhadap permasalahan HIV/AIDS dalam konsep sekuritisasi AIDS (Securitization of AIDS). Dengan masuknya AIDS ke dalam agenda keamanan internasional, maka keamanan tidak lagi terbatas pada mempertahankan kedaulatan, integritas wilayah, hukum internasional tetapi juga termasuk masalah dinamika populasi seperti ”penyakit” pun menjadi masalah penting. Para aktor sekuritisasi HIV/AIDS menyerukan agar masalah kependudukan  juga menjadi tujuan pemerintah, tidak hanya sebatas menjadi kekuatan penguasa.

Sekutisasi AIDS juga masuk dalam dimensi biopolitik karena para aktor internasional berupaya untuk memonitor dan mengatur kesehatan masyarakat. Badan-badan internasional yang melakukan pemantauan secara rinci terhadap perkembangan HIV/AIDS adalah seperti WHO, terutama UNAIDS yang berupaya untuk memberikan informasi secara detail dan global tentang AIDS. Untuk tujuan ini UNAIDS selalu meng-up to date data tahunan setiap negara. UNAIDS memberikan pengetahuan tentang karekteristik biologis dari populasi dan sub-populasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan pandemik ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan seharusnya menjadi prioritas semua orang. Karena Menurut Foucault, biopower (mencakup anatomo-politic dan biopolitik) tidak pernah menjadi milik satu agen, melainkan selalu jamak, dan desentralisasi.

Konsep bipolitik Foucault memang telah merubah persepsi dan pandangan politik menjadi lebih cenderung kepada aspek kemanusian. Konsep biopolitik telah menjadi penyebab dibangunnya rumah sakit sebagai tempat pengobatan dan membuat sebuah sistem kesehatan universal. Oleh karena itulah, sekuritisasi HIV/AIDS diharapkan akan memberikan manfaat kemanusiaan bagi mereka yang terinfeksi virus ini dengan menjadikannya sebagai isu internasional yang signifikan. Lantas, bagaimana cara kita merespon epidemik ini? Berapakah besaran alokasi yang kita korbankan untuk menanganinya? Sektor pemerintah yang manakah yang terlibat dalam meresponnya? Namun, konsep biopolitik ini juga harus diterapkan secara hati-hati, karena konsep ini pun memiliki bahaya yang serius. Salah satu bahaya tersebut adalah dalam bentuk rasisme model baru. Rasisme, sebelumnya dilakukan berdasarkan pada ras, budaya, dan aspek sosial lainnya. Pertanyaanya, dari aspek manakah securitisasi HIV/AIDS ini bisa menjadi bentuk rasisme baru?

Rasisme (menurut saya) adalah bentuk diskriminasi terhadap orang lain (umumnya adalah kelompok minoritas). Kita akan menghindari orang tersebut, bahkan memusuhinya. Begitu juga dengan penderita AIDS, dengan alasan kesehatan (label sakit), mereka akan terisolir dari masyarakat. Sekuritisasi AIDS akan berusaha memaksimalkan kesehatan masyarakat sehingga menganggap orang yang dikategorikan tidak sehat tersebut berbahaya. Menurut Foucault, prinsip yang mendasari rasisme biopolitik ini adalah label sehat. Bahkan terkesan seperti membiarkan mereka yang dianggap sakit (positif terinveksi virus HIV/AIDS) mati secara bertahap. Setidaknya ada tiga hal dimana sekuritisasi AIDS dapat menimbulkan rasisme biopolitik.

Pertama, dengan masuknya HIV/AIDS dalam kerangka keamanan, maka pemerintah akan menyimpulkan bahwa cara yang paling efektif untuk mengatasi pandemik ini adalah dengan membiarkan mereka yang terinfeksi mati dari pada harus memberikan pengobatan. Argumen ini mungkin masih sebuah hipotesa karena tidak ada dokumentasi faktualnya. Tetapi hal ini bisa dilihat dari pernyataan seorang pejabat National Intelligence pada 1990-an, “itu akan lebih baik, karena kelebihan penduduk Afrika”. Juga seorang mantan pejabat UN Population Fund (UNFPA) yang mengeluarkan gurauan bahwa AIDS merupakan salah satu cara untuk pengendalian pertumbuhan penduduk di Afrika. Satu anggapan yang paling rasial adalah bahwa yang sehat akan lebih baik tanpa mereka yang tidak sehat.

Kedua, dengan melakukan karantina terhadap mereka yang positif HIV/AIDS, dengan kata lain mencegah, mereka untuk bergabung dengan masyarakat karena perbedaan karakter biologis mereka. tindakan ini dibenarkan dengan alasan untuk memastikan dan meningkatkan kesehatan penduduk. Sekuritsasi AIDS semacam ini, menurut Stefan Elbe, sudah mulai dilakukan di kalangan militer. Orang terinfeksi HIV akan dinon-aktifkan dari dinas militer karena mereka dianggap melemahkan efisiensi dan efektivitas kinerja militer, sehingga dapat merusak perlindungan terhadap penduduk sipil secara keseluruhan. Ketiga, pengidap HIV/AIDS dapat dicegah untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Dengan alasan kesehatan, pemerintah dapat menolak untuk mengeluarkan visa. 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara untuk meminimalisir ancaman rasisme dan melakukan normalisasi pada sekuritisasi HIV/AIDS? Setidaknya ada tiga cara yaitu pertama, memasukan HIV AIDS sebagai ancaman keamanan selain menjadi ancaman kesehatan, ekonomi dan sosial. Tetapi tidak dengan melakukannya secara ekslusif dan tetap mempertimbangkan aspek-aspek HAM. Misalnya dengan tidak mempersulit penderita HIV/AIDS untuk mendapat pengobatan. Kedua, untuk mengsekuritisasi AIDS bukan hanya memakai kerangka keamanan nasional, akan tetapi memakai kerangka keamanan manusia. Kerangka keamanan manusia adalah berkaitan dengan pengobatan penyakit untuk kehidupan individu. Ketiga, ancaman rasisme juga dapat diminimalisir dengan mendesak sipil untuk merespon dan mencegah aktor keamanan melanggar HAM. Selain itu juga memasukan AIDS sebagai ancaman keamanan internasional.

Sekutitisasi juga HIV juga berdampak pada normalisasi (penormalan perilaku). Orang yang normal adalah orang yang tidak terkena penyakit. Sehingga ketika sekuritisasi HIV ini dimasukkan dalam agenda keamanan internasional diharapkan akan menormalkan perilaku-perilaku kelompok dengan memaksimalkan kesehatan penduduk. Menurut Foucault, teknik normalisasi yang digunakan oleh biopower adalah terkait dengan perilaku seksual. Biopower diperluka untuk menentukan bentuk seksualitas karena seks menentukan perilaku individu yang berdampak pada jumlah populasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar