A World without Islam, itulah judul buku yang ditulis oleh Graham E. Fuller. Tentu sangat
menarik bukan? Umumnya, judul buku merupakan daya tarik pertama bagi pembaca
dan Fuller telah berhasil menarik saya untuk membacanya. Ketika melihat judul
tersebut, saya berpikir bahwa Fuller adalah orang yang memandang Islam dengan
persepsi negatif. Namun justru
sebaliknya, ia mempertanyakan validkah jika kita mempertentangkan antara Islam
dan Barat? Ia menyatakan ada atau tidak adanya Islam, dunia akan sama saja. Akan ada hubungan konfliktual antara
barat dan timur jika dilihat secara historis-politis. Kenapa? Inilah yang dijawab oleh Fuller dalam
bukunya tersebut.
Bagaimanakah jika Islam tak pernah ada? Itulah
pertanyaan Pertama yang diajukan oleh Fuller.
Tentu jawabannya adalah tidak akan ada benturan peradaban, tidak akan ada
perang suci, dan lebih jauh lagi tidak akan ada terorisme. Sejak 9/11, banyak persepsi negatif yang muncul di dunia cenderung mendiskreditkan
Islam. Apakah benar Islam merupakan penyebab krisis yang terjadi saat ini? Akankah
Timur Tengah menjadi lebih damai? Apakah hubungan timur dan barat akan tetap
ada tanpa pengaruh Islam? Untuk menjawab semua ini, Fuller menggunakan analisis sejarah.
Islam selalu
diidentikan dengan Timur Tengah, dan memang benar bahwa Islam memang lahir di sana. Dalam perkembangan
selanjutnya Islam telah membentuk norma-norma budaya dan preferensi (pilihan)
politik masyarakat. Sehingga yang terlihat bahwa Timur Tengah adalah Islam. Lantas
bagaimana kita bisa memisah Islam dari Timur Tengah? Menurut Fuller, pertama
dimulai dari etnisitas. Sebelum Islam lahir, telah terjadi persaingan etnis di Timur
Tengah yang didominasi oleh kelompok etnis Arab, Persia, Turki, Kurdi, Yahudi,
dan bahkan suku barbar dan Pashtun. Jadi persaingan ini telah ada sebelum Islam
dan mungkin akan tetap berlangsung meskipun Islam tidak ada. Akan tetapi, peran Islam
tetap ada sebagai agama mayoritas saat ini di sana.
Sandainya
Islam tidak ada dan Kristen menjadi agama terkuat, apakah hubungan Timur Tengah
dan barat akan lebih baik? Tentu saja tidak. Sikap ekspansionisme bangsa Eropa
pada abad pertengahan lebih didasari oleh kepentingan ekonomi dan geo-politik. Semangat kekristenan dalam Perang
Salib hanyalah sebagai symbol kuat pemersatu. Namun tetap tujuan utamanya
adalah untuk mencari daerah jajahan sebagai sumber kekayaan. Dan jika Islam
tidak ada, rasanya mustahil jika Kristen Timur-Tengah akan diam saja jika
mereka dijajah.
Selanjutnya adalah faktor
minyak di Timur Tengah. Ini adalah isu yang sangat dominant hingga saat ini.
Apakah negara di Timur Tengah rela jika ladang minyak mereka dikuasai oleh
asing, khususnya barat?
Rasanya tidak mungkin, bahkan orang Kristen Timur Tengah sekalipun rasanya akan
menentang hal tersebut. Jadi hal ini bukanlah karena mayoritas negara Timur
Tengah tersebut adalah Islam dan anti terhadap barat. Buktinya, adalah bagaimana
reaksi Amerika Latin atas dominasi Amerika terhadap minyak, ekonomi dan politik
mereka. Gerakan anti-kolonial di Timur Tengah dapat juga disamakan dengan
perjuangan anti colonial yang dilakukan oleh golongan Hindu di India, Konfusius
di China, Budha di Vietnam, dan perjuangan anti kolonialisme lainnya. Jadi,
tidak ada jaminan bahwa seandainya Islam tidak pernah ada, interaksi di Timur
Tengah akan lebih baik. Dengan kata lain, tanpa Islam, Timur Tengah akan selalu
konfliktual karena telah ada pertarungan kekuasaan, wilayah, pengaruh, ekonomi,
dan perdagangan sebelum Islam ada.
Pertanyaan selanjutnya,
mungkinkah Timur Tengah akan lebih demokratis tanpa Islam? Jawabannya pun sama saja.
Tidak ada jaminan bahwa Timur Tengah akan lebih demokratis tanpa Islam. Karena
di Eropa sendiri, masa-masa kediktatoran pun baru berakhir pada abad ke-20. Contoh
lainnya adalah masalah Palestina. Sebetulnya ini berasal dari permusushan antara Kristen dan
Yahudi, bukan dengan Islam. Holocaust telah menjadi bukti sejarah yang
nyata dari permusuhan ini. Kaitannya dengan Palestina hanyalah karena kaum
yahudi berusaha mencari tanah di laur Eropa. Jadi, konflik Israel Palestina ini, bukanlah
konfik agama, melainkan hanya konflik nasionalisme, entnis, dan teritori,
karena hak orang Palestina direbut oleh bangsa Yahudi.
Selain
itu, agama Kristen di Eropa juga sering dijadikan sebagai alat politik, ini
tentu berbeda dengan Kristen di Timur Tengah yang cenderung religius. Sehingga tidak
heran jika terjadi pertentangana antara Kristen Katolik di Roma dengan Kristen Ortodoks
di Konstantinopel (yang juga berakar dari permasalahan politis). Apalagi sejak terjadi sekulerisasi di Barat (Eropa),
kapitalisme, dan kebebasan, membuat gap antara Kristen Ortodoks di Timur semakin
berbeda dengan Kristen yang berkembang di Barat.
Jadi,
meskipun Islam tidak pernah ada, hubungan Timur Tengah dengan Barat akan tetap
tidak harmonis. Hal ini dikarenakan persaingan perebutan sumber daya ekonomi
dan kepentingan geo-politik di Timur Tengah. Islam hanyalah dijadikan sebagai
alat untuk pemersatu, karena ia adalah agama mayoritas di Timur Tengah saat ini.
Dan sekarang ini isu terorisme semakin memperparah hubungan antara keduanya.
Apakah benar terorisme ada karena Islam? Yakinkah jika Islam tidak ada,
terorisme akan hilang atau tidak akan terjadi peristiwa 9/11? Karena menurut Barat,
terorisme, selalu dikaitkan dengan Islam ekstrimisme. Meskipun bukan Islam
secara keseluruhan, tetapi melekatnya kata Islam juga menjadi diskredit tersendiri dari
isu terorisme ini.
Jawabannya
tidak. Terlebih dahulu harus dipertanyakan tentang konsepsi terorisme itu
sendiri. Karena konsepsi ini sangat ambigu. Kenapa saat ini terorisme selalu
berkaitan dengan Islam. Padahal kelompok Hindu Tamil di Srilanka juga bisa
disebut terorisme. Di Athena juga ada terorisme. Dan banyak lagi kelompok
militant yang bisa disebut terorisme. Ini berarti bahwa jika Islam tidak ada,
terorisme tetap akan ada. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik sentiment etnis, ekonomi,
maupun geo-politik. Seperti di Inggris, China, India, Makedonia, dan
banyak lagi lainnya. Sebagian besar tindakan tersebut bersifat non-agama.
Bahkan serangan terorisme di Eropa selama 2006, hanya sekali dilakukan oleh
para Islamis dari 498
serangan. Ini menunjukan bahwa Islam sangat sedikit perannya dalam menimbulkan
aksi terorisme. Bahkan kebanyakan tindakan terorisme ini lebih disebabkan oleh
ideologi marxisme, bukan
Islam.
Semua
bangsa tentunya akan menolak adanya penindasan asing. Begitu juga dengan
negara-negara Islam. Nasionalisme tetaplah menjadi alasan utama, sedangkan
agama hanyalah dijadikan upaya mencari dukungan dari negara lain yang memiliki
agama yang sama. Apalagi
jika pihak asing tersebut berasal dari agama yang berbeda. Tujuannya adalah
agar mendapatkan solidaritas dan dukungan. Jelas, bahwa agama hanya dijadikan
sebagai alat politis dari pada sebagai tatanan moral dalam hubungan barat dan Islam.
Jika
seandainya Islam tidak ada, dunia belum tentu akan lebih baik? Atau malah akan lebih buruk.
Karena persaingan etnis di Timur Tengah bisa berkurang sejak lahirnya Islam.
Mungkin jika Islam tidak pernah ada, konflik akan semakin menjadi. Begitu juga
dengan konflik barat dan timur tetap ada, karena lebih disebabkan oleh faktor etnis,
nasionalisme, ambisi, keserakahan, sumber daya, dan imperialis. Dan lebih
ironis lagi, panasnya hubungan timur-barat lebih disebabkan oleh pemimpin yang ototriter
sekaligus sekuler.
Bagi Barat, Islam dikonstruksi
sebagai sasaran untuk menguasai sumber daya alam Timur Tengah,
sementara bagi negara-negara di Timur Tengah, Islam dijadikan sebagai perekat
untuk melakukan perlawanan terhadap Barat. Padahal posisi Islam hanyalah
komplementer saja yang datang belakangan. Tanpa Islam
persaingan Barat versus Timur Tengah akan tetap berlanjut.
Bukunya beli dimana pak? udah ngga keluar yahh sekarang?
BalasHapusWah, gara gara tulisan ini, saya jadi tertunda membaca buku ini. saya beli pada pertengahan tahun lalu. Hehehe.. Terima kasih atas resensinya
BalasHapusBuku ini sudah lama terbit dan beredar di pasaran. Namun masih sangat relevan untuk dibaca ulang. Terjemahan bahasa Indonesia juga sudah terbit sejak 2014 yang lalu, dengan judul: "Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam," diterbitkan oleh Mizan. Terimakasih atas resensinya yang cukup komprehensif dan jelas.
BalasHapusSalam,
Fauzan Saleh -- Kediri
Cuma dapet versi Bahasa Inggrisnya._. Harus belajar bahasa inggris lebih banyak nih buat menyelesaikan bukunya hahahaha. Bahasa Inggrisku masih pas-pas an.
BalasHapus