Minggu, 22 Januari 2012

Muslim di Eropa

tulisan ini merupakan review dari tulisan Tariq Ramadhan yang berjudul The Culture Alternatif dalam bukunya Western Muslim and the future of Islam

Islam adalah sebuah agama, bukan budaya. Itu landasan utama yang mejadi pijakan pemikiran Tariq Ramadhan. Menurutnya jika kita memicarakan tentang Islam, maka pembicaraan tentang ketauhidan (iman) merupakan hal yang paling penting. Namun, Islam juga mengenal konsep multikulturalisme, artinya bahwa Islam sangat terbuka terhadap unsure-unsur eksternal selama tidak bertentangan dengan syariat keislaman. Sifat Islam yang terbuka ini mencerminkan bahwa Islam merupakan rahmatan li al-‘alamiin dan menghargai perbedaan. Hal inilah yang membedakan Islam sebagai agama dan Islam sebagi peradaban. Peradaban Islam (Islam civilization) lahir sebagai hasil dari kemampuan Islam berinteraksi secara universal dan prinsip fundamental tunggal yang terus dipertahankan dalam keberagaman akibat dari konteks cultural yang beragama. Oleh karena itu, untuk mengkaji tentang Islam, selain harus menekankan pada agama, juga harus mengetahui budaya masyarakat yang plural dalam Islam itu sendiri. Jadi apa perbedaan antara “muslim di barat” dan “muslim barat”?
Seperti yang dijelaskan di atas, Islam yang dijalankan oleh penganutnya selalu bersanding dengan budaya local yang mereka miliki. Inilah yang ada dalam diri para imigran muslim di Eropa. Mereka secara geografis berada di Eropa, akan tetapi pola dan cara hidup yang mereka jalani sesuai dengan budaya di daerah asal mereka. Mereka cenderung hidup berkelompok sesuai dengan komunitas mereka, misalnya kelompok Turki, al-Jazair, Maroko, dan lain-lain. Inilah yang membuat mereka merasa bukan sebagai orang Eropa, meskipun mereka adalah generasi kedua dan ketiga (muslim yang lahir di Eropa).
Pada generasi penerus inilah masalah mulai muncul. Mereka mengalami kebingungan karena agama dianggap sebagai budaya sesuai dengan apa yang dijalankan oleh orang tua mereka. Sehingga ketika mereka berinteraksi dengan orang Eropa, mereka merasa harus melindungi budaya mereka agar tidak terkontaminasi oleh budaya Eropa yang dianggap merusak. Karena menurut mereka, banyak kebiasaan Eropa yang berbeda dengan budaya yang mereka biasa lakukan. Mereka khawatir identitas mereka hilang. Akan tetapi, di sisi lain mereka harus melakukan interaksi tersebut. Karena tidak mungkin interaksi hanya dilakkukan di lingkungan komunitas mereka saja. Mereka butuh sosialisasi dan bergaul.
Dalam proses interaksi dan sosialisasi inilah, mereka mengalami hal yang sangat dilematis. Budaya Eropa yang bebas akan berbenturan dengan muslim yang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai spritualitasnya. Disinilah letak permasalahannya menurut Tariq Ramadhan.
Ramadhan meyakini bahwa Islam yang dianut dan diyakini saat ini lebih didominasi oleh budaya-budaya asal. Padahal sejatinya Islam adalah agama yang universal, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan nilai-nilai humanisme. Islam sangat mengedepankan toleransi dan menganggap perbedaan itu sebagai sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, muslim di Eropa harus bisa membaur dengan kehidupan sekitarnya dengan melakukan filterisasi, bukan isolasi.
Sebagai pendatang, tidak mungkin kita menghindari untuk bergaul dengan penduduk asli. Kita harus membawa agama Islam sebagai pengatur kehidupan dan berdasarkan pada ajaran intinya. Dengan kata lain, muslim seharus mampu membedakan antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya yang terbawa dari interaksi local. Dengan demikian, muslim Eropa dapat menciptakan suatu budaya baru yang dalam istilah Tariq Ramadha di sebut the culture alternative. Karena Islam adalah agama yang sangat terbuka dengan nilai-nilai eksternal selama tidak menrubah prinsip dasar keislaman.
Namun, pandangan negative terhadap Islam juga ada, seperti dalam tesis Samuel P. Huntington “Clash of Civilization”. Huntington menyatakana bahwa akan terjadi benturan antara peradaban Islam dan barat. Menurut Huntington, Islam adalah agama yang tidak bisa menerima perbedaan dan dekat dengan kekerasan. Pernyataan ini nampak benar jika melihat perilaku muslim di Eropa yang cenderung menutup diri. Dan bahkan benturan peradaban ini mungkin akan terjadi di Eropa jika muslim tidak merubaha cara pandang dan cara beragamanya.
Pandangan Huntington ini, menimbulkan Islamophobia di Eropa. Apalagi setelah terjadi peristiwa 9/11 yang dianggap sebagai aksi kalangan muslim. Sejak peristiwa ini, diskriminasi terhadap Islam semakinmeningkat. Bahkan tidak jarang, muslim yang merupakan kelompok minoritas semakin sering mendapatkan tekanan baik mental maupun fisik. Diskriminasi ini membuat masyarakat muslim semakin dibenci dan mengalami kesulitan.
Namun, setelah kejadian 9/11 ini, terjadi peningkatan keingintahuan masyarakat barat terhadapa Islam. Hal ini berdampak pada peningkatan kuantitas populasi muslim di barat. Hal ini karena masyarakat Eropa menemukan kontradiksi antara Islam yang sebenarnya dengan pemberitaan di media selama ini. Oleh karena itu, kita harus mereson positif perkembangan ini. Terutama bagi muslim di Eropa sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan Eropa secara sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar