Minggu, 22 Januari 2012

"Jihad Modern" dan Islam

Tulisan ini merupakan review terhadap tulisan Mahmood Mamdani yang berjudul Whither Political Islam? Understanding the Modern Jihad


Apa yang anda pikirkan ketika ada bom yang meledak di Solo beberapa waktu yang lalu? Apa yang terbayangkan dalam pikiran anda ketika mendengar istilah terrorisme? Jawabannya akan mudah ditebak, ini adalah gerakan Islam fundamentalisme. Inil adalah manifestasi jihad yang salah. Dan banyak lagi pernyataan dan jawaban lainnya yang seolah-olah mengidentikan semua terror itu dengan agama Islam. Bahkan dalam pandangan para orientalis, Islam dianggap sebagai agama kekerasan. Jihad adalah bentuk lain dari kekerasan ini. Jika anda pun berpikir bahwa jihad merupakan ekstensi budaya Islam, anda salah. Ada latar belakang historis dan sosiologis yang membentuknya. Itullah, menurut saya inti dari tulisan Mahmood Mamdani yang mereview buku dari Gilles Kepel and Olivier Roy.
Jihad modern adalah jihad yang dijadikan sebagai tugas permanen dan individu untuk melawan barat tanpa terikat oleh solidaritas tradisional, tetapi lebih kepada tujuan bersama yang harus diperjuangkan sampai mati. Jihad telah berubah menjadi kekuatan politik global. Di timur tengah, partai politik bergerak untuk menanggapi kebijakan negara tertentu. Jihad semacam ini dipengaruhi oleh jihad di Afganistan dan pengaruh kebijakan poltik barat. Roy menolak pendekatan kultural yang menganggap Islam bertanggungjawab atas keadaan saat ini, seperti terjadinya bom bunuh diri. Roy berusaha untuk memahami kondisi sosial di mana umat Islam berpikir dan bertindak (sosiologis), sedangkan Kepel berusaha memahami sejarah intelektual Islam politik (historis).
Gilles Kepel memulai dari awal munculnya ide-ide radikalisme. Menurut Kepel, ada dua pemikiran radikal yang berbeda. Pertama, Wahabisme atau Salafisme yaitu faham yang merujuk pada pemikiran radikal Muhammad bin Abd al-Wahhab dan berkembang di Saudi Arabia. Mereka menyetujui serangan saudi pada tetangganya dan menganggapnya sebagai jihad, karena Raja Muhammad bin Saud berjanji untuk menjadikan wahisme sebagai ideologi negara. Setelah Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, sangat mendukung Wahabisme dan menganggapnya sebagai teologi pembebasan (Liberation Theology) yang akan membebaskan wilayah tersebut dari pengaruh komunisme. Dukungan ini merupakan upaya Amerika untuk mengurangi pengaruh uni Soviet di Middle East.
Pemikiran kedua menurut Kepel adalah ide yang dicanangkan oleh Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini berkembang di mesir dengan gagasan untuk mendirikan negara Islam yang berlandaskan pada syariah (Islamic Law). Slogan Mereka adalah The Quran is Our Constitution. Mereka membantu Gamal Abdul Nasser untuk menggulingkan Raja Farouk pada 1952. Namun pada 1970-an mereka pindah ke Saudi arabia karena di Mesir mereka tidak diakui. Selanjutnya Ikhwanul Muslimin sangat mempengaruhi pemikiran intelektual di Saudi. Ide mereka untuk mendirikan negara gama politik semakin kuat terutama setelah terjadinya revolusi di Iran pad 1979. Revolusioner Iran yang mengkombinasikan retorika Syiah tradisional dengan Dunia Ketiga anti-imperialisme, karena mereka menganggap Saudi adalah antek Amerika.
Setelah perang di Afganistan pada 1980-an, ide jihad semakin mengglobal. Terutama melalui pemikiran Ayman al-Zawahiri, orang kepercayaan Osama bin laden, yaitu Knights Under the Prophets Banner. Zawahiri menggeser target jihad dari "musuh terdekat" menjadi "musuh jauh." Untuk berhasil, katanya, jihad membutuhkan kepemimpinan baru yang ilmiah, konfrontatif, rasional untuk kembali memikirkan hubungan antara "elit" dan "massa". Menurut Zawahiri, isu yang paling cocok isu adalah mengenai penjajahan Palestina. Zawahiri membela serangan bunuh diri sebagai cara yang paling efisien untuk menimbulkan kerugian bagi musuh dan yang paling murah bagi para mujahid. Karena menurutnya jihad adalah serangan terhadap barat, tidak hanya pada pemerintahan dan lembaganya.
Metode dan strategi jihad yang mereka gunakan pun berbeda. Mereka memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk perekrutan. Dan hasilnya adalah organisasi teroris al-Qaeda yang sangat modern dan inovatif. Oleh karena itu kepel berbeda pendapat dengan pendekatan kulturalis yang menganggap bin Laden dan rekan-rekannya sebagai keturunan linier dari Wahabisme Saudi. Kepel memahami mereka sebagai produk hibrida dari beberapa tradisi intelektual yaitu penyatuan pemikiran Wahabi Salafisme dengan ide Ikhwanul Muslimin.
Namun, apa yang dilakukan oleh Gilles Kepel ini menurut Mahmood Mamdani tidaklah murni terlepas dari Culture Talk. Kepel cenderung menggabung alasan (kebencian terhadap barat) dan hal-hal metafisis. Ia menemukan ada fanatisme keimanan (Fanatical faith) dengan dijanjikan surga dan bidadari bagi mereka yang mau melakukan bom bunuh diri. Namun menurut Olivier Roy, ada kekeliruan dari penjelasan Kepel ini. Bagaimana mungkin janji bidadari di surga bisa memotivasi pelaku bom bunuh diri dari kaum perempuan. Menurut Roy, pemikiran neo-konservatif di Barat juga sama seperti jihad, yaitu menggabungakan mimpi dan ideologi. Sedangkan Kepel tidak mencurigai bahwa baik neo-konservatif dan jihad (al-Qaeda) merupakan hasil dari Perang Dingin, ketika kekerasan secara ideologis dipeluk oleh semua pihak, baik sekuler dan religius.
Kegagalan Kepel untuk melihat kesamaan antara jihad dan neo-konservatif ini membatasi pemahaman tentang politik jihad. Padahal keduanya berbagi ambisi global dan kekerasan yang bermotif politik. Pewaris tidak hanya untuk tradisi Salafisme pasif dan Ikhwanul Muslimin, tapi mungkin seperti anti imperialisme-Dunia Ketiga.
Dalam bukunya Globalized Islam Roy menjelaskan mengapa jihad Islam bergema dimasyarakat. Ia melihat penyebaran jihad saat ini sebagai konsekuensi dan reaksi terhadap perubahan sosiologis. Olivier Roy berbicara mengenai tumbuhnya jaringan transnasional gerakan-gerakan Islam, yang tak terkait dengan tempat tertentu. Sekarang, katanya, kita menyaksikan tumbuhnya generasi Muslim baru yang bagi mereka viktimisasi kaum Muslim di mana saja adalah sesuatu yang nyata dan personal, dan harus dilawan dengan apa saja. Beberapa di antara generasi baru ini lahir di Barat. Inilah yang lebih menjelaskan mengapa aksi-aksi bunuh-diri dilakukan di Bali, London dan Madrid.
Roy berusaha membedakan neo-fundamentalis kontemporer dari fundamentalis tradisional. Islam neo-fundamentalis adalah Islam yang dilahirkan kembali dan hasil dari diaspora. Agama telah sekuler, bukan dalam arti bahwa ia berada di bawah pengawasan ilmu modern, tetapi sejauh ini diperdebatkan di luar institusi-institusi tertentu. Revivalisme Islam bergandengan tangan dengan tren modern: "Budaya diri". Individualisasi tumbuh dari praktek-praktek agama telah mendorong orang percaya untuk menciptakan sebuah komunitas baru yang melampaui geografi ketat.
Pencarian untuk membangun sebuah identitas agama yang universal, menghindari dari budaya tertentu mulai dilakukan. Pencarian Islam yang murni berarti juga merupakan pemiskinan isinya dan konsekuensi dari pencarian ini adalah "sekularisasi, tetapi dalam nama fundamentalisme”. Politik Islam akhirnya mendua antara pihak Islam di negara mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Islam di diaspora, Eropa khususnya. Islam di eropa lebih bersifat multikulturalis. Mereka bisa dikatakan sebagai gerakan neo-fundamentalis yang cenderung religius, berpartisipasi dalam kehidupan politik. Keterlibatan dalam politik ini juga yang dilihat oleh Roy di timur Tengah. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh al-Qaeda lebih bersifat politis bukan terinspirasi oleh dorongan religius.
Dari tulisan ini, saya sedikit bisa memahami bahwa jihad itu tidak hanya lahir dari kesempitan pemahaman keIslaman. Tetapi juga dipengaruhi oleh faktor historis, sosiologis, dan politis. Apalagi dengan asumsi dasar bahwa kehidupan politik dan agama dalam Islam adalah sebuah satu-kesatuan sinergis. Karena Islam adalah adalah yang mengatur kehidupan dunia dan ukhrawi penganutnya. Asumsi ini semakin menguatkan keinginan untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah) yang merupakan sebuah keinginan politis. Akan tetapi jihad tidak mesti harus selalu dilakukan dengan kekerasan. Jihad juga menurut saya bisa dilakukan secara politik non-kekerasan. Dengan memiliki fondasi keIslaman yang kuat seorang individu juga bisa memperjuangkan kepeningan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jihad fisik, sebagaimana yang saya fahami hanya boleh dilakukan jika kondisi yang ada sangat membahayakan bagi kita secara pisik dan psikis, terutama jika mengancam keselamatan jiwa. Meskipun demikian, saya masih belum memiliki pemahan yang utuh tentang apa yang disebut oleh Mahmood Mamdani sabagai Jihad modern. Seperti apakah yang disebut Jihad modern itu? Sebelumnya, jihad selalu dipahami dalam pengertian aksi yang bersifat “defensif,” dan hukumnya fardh kifayah (kewajiban kolektif). Sekarang jihad harus bersifat ofensif dan menjadi kewajiban setiap Muslim (fardh `ayn). Apakah ini yang disebut jihad modern. Konsep jihad, yang sekarang digunakan untuk membenarkan serangan mematikan terhadap agama dan lawan-lawan politik. Jihad telah dilakukan dalam rangka untuk pakaian kekerasan politik dengan aura legitimasi agama.
Pendapat Kepel dan Roy juga didukung oleh Robert A. Pape Dalam Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. Pape menolak pandangan bahwa aksi-aksi terorisme bunuh-diri terkait secara langsung dan signifikan dengan ideologi fundamentalisme Islam. Yang menyatukan hampir semua aksi bunuh-diri itu, kata Pape, adalah tujuan khususnya yang bersifat sekular dan strategis. Tujuannya adalah untuk memaksa agar negara-negara demokratis modern menarik mundur kekuatan militer mereka dari wilayah yang oleh para pelaku bom bunuh-diri dianggap sebagai tanah air mereka. Misalnya tentara AS dari Semenanjung Arabia, Israel dari Palestina, Rusia dari Chechnya, dan lainnya.
Lantas, pertanyaan selanjutnya di mana peran agama? Menurut Pape, agama hanya digunakan sebagai alat untuk dua tujuan: (1) merekrut para calon pelaku bunuh-diri dan (2) mencari dukungan dana dari luar negeri. menurut Pape, tuntutan para pelaku aksi bunuh-diri tidak bersifat religious, khususnya Islam, melainkan nasionalistik. Menurut saya, fundamentalisme telah mengalami dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan teks, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis. Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengkuh panggung politik dan mengamini kekuasaan. Sehingga fundamentalisme seperti memilik dampak negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber dan justifikasi atas kekerasan. Padahal, awalnya fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan.
Sikap multikulturalis harus kita terapkan. Karena itu adalah prinsip kerukunan antar umat manusia dan antar agama. Kita harus mengakui eksistensi dari agama lain dan penganutnya. Akan tetapi tidak berarti bahwa kita mengakui kebenaran esensi dan substansi ajaran yang dibawa. Toleransi dan solidaritas antar manusia harus ada. Etika kosmopolitan (meminjam istilah Immanuel Kant) sangat mungkin untuk diterapkan. Tetapi kita harus tetap beprinsip pada penerimaan mereka sebagai entitas kemanusian, bukan kebenaran agamis. Meskipun demikian, sangat saya sayangkan bahwa kondisi umat Islam yang seperti ini justru membuat Islam terlihat semakin lemah.
Dengan perspektif multikuklturalisme ini, kita umat Islam seakan-akan entitas yang harus toleralis. Kita selalu dimonitori oleh pandangan barat. Padahal konsep keduniawian sendiri telah ada dalam ajaran Islam. Islam terlihat seperti hanya berusaha menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam memiliki kesamaan universal dengan Islam. Seharus kita isa menjadi lebih kuat dengan tidak selalu berkaca pada pandangan barat terhadap Islam. Kita seharus bisa memberikan pandangan keIslaman kita dan membuatnya diterima oleh dunia non-Islam. Karena menurut saya, Islam memang memiliki nilai-nilai uiversal yang bisa diterapkan ke pada semua umat manusia. Karena Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamiin.artinya bahwa apa yang diajarkan oleh Islam tidak akan bertentangan dengan unsur kemanusian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar