Selasa, 20 Maret 2012

POLICY AND GOVERNANCE


Culture and Corruption in the Pacific Islands: Some conceptual issues and findings from studies of National Integrity System

Untuk menjelaskan tindakan korupsi di Kepulauan Pasifik, artikel ini menggunakan konsep budaya (culture). Hal dikarenakan terjadinya perbedaan pandangan mengenai korupsi. Bahkan para peneliti pun banyak berbeda pemahaman mengenai definisi korupsi. Korupsi memang ditentang oleh setiap orang, tetapi terkadang korupsi menurut satu orang belum tentu dianggap korupsi oleh orang lain. Saat ini, pembicaraan mengenai korupsi memang sering dilakukan, karena hal ini telah biasa dilakukan oleh para elit di kawasan pasifik. Dan ini juga merupakan fenomena budaya. Oleh karena itulah konsep budaya ini digunakan oleh Peter Larmour untuk menjelaskan korupsi. Ada tiga fokus utama dalam artikel ini, yaitu kenapa orang mulai membicarakan korupsi. Kedua, mengapa ada perbedaan pandangan terhadap korupsi. Dan terakhir, bagaimana hubungan budaya dan korupsi.
Wilayah kepulauan Pasifik terbagi ke dalam tiga ‘culture areas’ yaitu Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. Dalam menjelaskan korupsi ini, sumber data yang digunakan adalah dari Tranparancy International surveys of National Integrity system. Untuk menjelaskannya, diperlukannya relativisme budaya, yaitu menilai suatu budaya dengan menggunakan pemahaman dari kebudayan itu sendiri, artinya tidak menilai sesuatu dengan persepsi dari luar. Karena bagi masyarakat kepulauan Pasifik, budaya dianggap sebagai identitas. Sedangkan menurut Huntington, Budaya didefinisikan sebagai nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan asumsi dasar yang umum di masyarakat.
Laporan-laporan mengenai korupsi dijelaskan oleh pengamat (peneliti) dari pacific studies seperti Ron Crocombe yang menyatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dan politisi. Korupsi semakin meningkat seiring dengan adanya eksploitasi sumber daya alam, yang diperparah dengan kebobrokan institusi seperti kurangnya audit keuangan. Juga oleh Mark Findlay yang menggambarkan bagaimana pemimpin local memutarbalikkan interpretasi aktivitas korupsi mereka sebagai penghargaan (apresiasi) bagi pemimpin tradisional. Jadi pemimpin tradisional dianggap pantas untuk melakukan korupsi. Inilah yang ingin diteliti oleh Elissa Huffer, mengapa msayarakat mendefinisikan korupsi seperti demikian, dan bagaimana cara mengatasinya?
Transparency International Surveys of National Integrity System meneliti tingkat korupsi di kepulauan Pasifik berdasarkan pada Corruption Perceptions Index (CPI) yang mereka susun. CPI ini menempatkan negara berdasarkan rangking dalam urutan tertentu sebagai negara terkorup. Hasil ini diketaui melalui berbagai wawancara dengan para pebisnis, akademisi, dan jurnalis terkait dengan iklimm bisnis atau pun resiko politik. Jadi sumber data yang didapatkan hanya berdasarkan pada persepsi masyarakat saja. TI’s ‘National Integrity System’ surveys lebih terfokus pada rasitektur negara sebagai negara anti-korupsi dari pada level korupsinya. Jadi, integritas negara (tidak korup) ditentukan oleh sejumlah pilar seperti legislasi (UU), eksekutif (law enforcement), agen-agen pengawasan, dll. Sedangkan budaya tidak dianggap sebagai pilar.
Oleh karena itu, Peter Lamour bersama dengan Manu Bacham dalam surveys mereka menambahkan aspek budaya dalam kuesioner mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berusaha untuk menerapkan doktrin relativisme budaya dengan tidak berupaya untuk mendefinisikan budaya berdasarkan pada persepsi mereka sendiri. Mereka memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berbicara. Sedangkan doktrin relativisme budaya ini sering diabaikan dalam institusi international ketika melakukan survey dengan memberikan pertanyan sesuai dengan persepsi mereka dalam kuesioner yang diberikan. Lamaour lebih tertarik untuk menanyakan bagaimana pendapat mereka mengenai dan apa yang disebut korupsi. Definsi dan pemikiran mereka inilah yang akan membentuk apa usaha mereka untuk mengatasi korupsi.
NIS membuat bentuk survey dalam tiga level pembicaraan (talk) tentang korupsi. Pertama adalah academic discourse yaitu dimana ide tentang budaya yang tersebar dalam berbagai displin dan digunakan melalui cara yang berbeda oleh setiap penulis. Kedua, policy oriented discourse yang digambarkan dalam ilmu sosial dan pemahaman kseharian, dan yang berorientasi untuk melakukan sesuatu tentang korupsi. Ketiga adalah tentang bagaiman masyarakat di suatu negara tertentu membicarakan dan tidak membicarakan korupsi, dan apa yang mereka pahami tentang korupsi. Ketiga level tersebut juga mencakup tindakan yang terkait korupsi seperti pembayaran uang, penawaran pekerjaan dan kontrak yang bersifat tidak terlihat.
Hasil dari surveys ini menunjukan hasil yang berbeda. Setiap negara memiliki pemahan yang berbeda mengenai korupsi. Bahkan dalam satu negara sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai korupsi. Oleh karena itu, ada ahli yang menyatakan bahwa pandangan tetang korupsi akan menjadi seragam jika tindakan tersebut bertentangan dengan apa yang dipersepsikan oleh masayarakat sebagai sesuatu yang baik. Dengan kata lain, masyarakat memiliki pemaham yang baik tentang makna good governance. Inilah salah satu mengapa korupsi semakin meningkat di kawasan tersebut menurut para peneliti.
Akan tetapi, untuk masyarakat lokal sendiri, tidak ada terjemahan yang tepat untuk kata ’korupsi’ ini. Di Tonga misalnya, kata padanan yang hampir sama adalah angakovi, yang berarti ketidakbaikan. Untuk ruang lingkup korupsi sendiri terjadi perbedaan sesuai dengan apa yang dipahami berdasarkan budaya yang ada. Di Nauru hal–hal yang berkaitan dengan korupsi di bicarakan secara luas. Ada juga yang mengartikan korupsi sebagai pemimpin yang tidak pergi ke gereja dan yang berpesta. Sementara di Solomon Islands diartikan sebagai ketidakbijaksanaan.
Lantas bagaimana hubungan antara budaya dengan korupsi. Semakin meningkatnya tindakan korupsi maka hal-hal yang sebelumnya bersifat budaya sering dianggap sebagai korupsi. Seperti dalam istilah ’gift and bribes’. Memang sulit untuk membedakan antara pemberian dan penyogokan/penyuapan. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh para elit politik. Inilah yang dimasud oleh pendukung doktrin relativisme budaya, bahwa mungkin hal tersebut bagi masayarakat setempat dianggap sebagai budaya, bukan tindakan korupsi. Jadi kita jangan menilainya berdasarkan pada persepsi kita.
Di kawasan pasifik, gift  merupakan budaya dan tidak dianggap sebagai korupsi, meskipun dinegara lain hal itu dilarang karena dianggap sebagai gratifikasi. Bahkan ketika pemilu, banyak para politisi yang memberikan hadiah (gift). Bahkan memang sering diharapkan oleh masyarakat ketika seorang elit politik mengadakan kunjungan. Dan ini tidak dianggap sebagai penyuapan korupsi. Hal-hal seperti ini lebih sering dilakukan ketika masa pemilu. Bahkan di Fiji, pemberian kepada pemilih itu merupakan satu kesatuan dengan kampanye pemilu. Bentuk lain dari karupsi adalah nepotisme. Adanya kecenderugan untuk lebih mengedepankan kalangan, keluarga, ataupun golongan tertentu saja. Hal seperti ini misalnya terjadi di Papua Nugini, Vanuatu, dan lain-lain.
Akan tetapi saat ini sudah mulai banyak pembicaraan tentang korupsi. Meningkatnya keinginan untuk membicarakan tentang korupsi ini disebakan oleh beberapa hal seperti, semakin meningkatnya perilaku korupsi, menurunnya toleransi terhadap perilaku korupsi, ada keinginan untuk berbicara lebih terbuka, serta menurunya doktrin relativisme budaya. Artinya pemahaman mengenai makna korupsi ini semakin sama seperti yang ada di barat. Kesadaran ini semakin meningka ketika semakin banyak pengusaha yang ikut berpolitik. Sehingga muncullah istilaah pengusaha politisi. Dan juga dengan adanya komisi yang diberikan kepada para politisi agar melaksanakan kode etik. Hal ini sangat menarik, karena seperti membuka cara baru untuk korupsi.
Dalam kondisi deperti ini, media memiliki peranan penting sebagai aat untukmnegungkapkan berbagai kasus korupsi. Terutama jika pelakunya adalah elit politik yang akan denga mudah untuk diberitakan. Akan tetapi,  media juga sering dipenuhi oleh kepentingan tertentu, sehingga dapat dengan mudah disogok dan menjadi todak objektif lagi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa media yang menjadi sarana informatif bagi masyarakat untuk mengenal apa yang disebut tindakan korupsi. Sehingga akhirnya juga akan meningkatkan keinganan untuk membicarakan korupsi di depan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar