Selama satu dekade terakhir, banyak kemajuan positif yang berhasil di
capai oleh negara-negara Afrika dalam melakukan pembangunan ekonomi, social,
dan politik. Meskipun konflik masih
tetap ada, tetapi eskalasi dan skala konflik tersebut tidak lagi sebesar
tahun-tahun sebelumnya. Kemajuan ini tidak hanya dicapai berkat semakin kuatnya
kerjasama melalui institusi regional ’Uni Afrika’, tetapi juga ditopang dengan
adanya peran strategis dari UE dan China. Kedua pihak ini sangat membantu dalam
melakukan rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi.
Namun, ada hal menarik yang
perlu kita cermati dalam perkembangan di Afrika ini, yaitu kehadiran China.
Berbeda dengan UE yang memiliki ikatan historis sebagai negara kolonial di
Afrika, China sama sekali tidak memiliki ikatan historis tersebut. Akan tetapi
dalam kenyataanya, China berhasil mendapatkan posisi starategis di Afrika
dengan ontribusi besarnya terhadapa pembangunan di Afrika, dimana sekitar 45,7
% destinasi bantuan luar negerinya adalah untuk Afrika. Dengan demikian, telah
terjadi persaingan politik baru antara UE dan China dalam kebijakan mereka
terhadap Afrika.
Para era Perang Dingin,
bantuan luar negeri yang diberikan baik oleh China maupun Eu sarat erat
kaitannya dengan persaingan ideologis saat itu. Artinya bahwa bantuan luar
negeri tersebut digunakan untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari
negara-negara afrika. Namun ketika Perang Dingin berakhir, Afrika seolah tidak
memiliki posisi strategis bagi keduanya. Dan ini berimplikasi pada berkurangnya
bantuan yang disalurkan. Akan tetapi, pada awal abad 21, kembali bantuan luar
negri diberikan oleh EU melalui kesepatan pada Perjanjian Cotonou pada 2000. sedangkan
pada saat yang sama, juga terjadi peningkatan bantuan laur negeri China yang
cukup drastis.
Di sinilah terlihat perbedaan
trategi antara China dan EU. Eu melalui perjanjian Cotonou mensyaratkan adanya Good Governance sebagai alasan dasar
pemberian bantuan. Negara-negara penerima bantuan diminta untuk mempromosikan Hak
Asasi Manusia HAM), melakukan demokratisasi, penegakan hukum, dan pemerintahan
yang baik dan bersih dari KKN. Akan tetapi, bagi negara-negara Afrika yang
notabeneya sedang berusaha embangun tatanan pemotinrahan yang kokoh dan stabil,
dibutuhkan adanya penguatan institussionalisme dan kesdaran politis sebelum
terlebih dahulu menerapkan demokrasi. Karena jika belum terjadi stabilitas dan
kondusifitas dinamika politik, tentu penerapan demokrasi akan menjadi bumerang
bagi negara-negara Afrika yang memiliki potensi konflik yang tinggi. Dan tentu
saja persyaratan ini terasa sangat memberikan.
Di
sinilah China mulai mengambil peran. China menawarkan pola pemberian bantuan
yang berbeda. Bantuan tersebut bersifta konsensional, yaitu dengan jangka waktu
pengambalian yang panjang serta bunga yang rendah. Selain itu, pemberian
bantuan ini juga diberikan tnapa syarat. Artinya bahwa tanpa adanya motif
politik. Pemberian bantuan tersebut murni bernilai ekonomis. Dan hal ini
berdampak posiif dengan semakin meningkatnya intensiata dan frekuensi
perdagangan anatara China dan Afrika.
Namun dalam bidang keamanan,
China cenderung pasif. Sedangkan EU sangant dominan keterlibatannya dalam
penanganan masalaha konflik dan keamanan di Afrika. Setidaknya telah ada sepuluh
kali operasi militer yang dilakukan selama periode 2003-2010 yang dilakukan
oleh UE. Dalam mengatasi konflik keamana yang terjadi di Afrika, China lebih
cenderung menggunakan kerangka resolusi konflik dengan menekankan pada
kerjasama di PBB. Hal ini selain karena China memiliki posisi strategis di DK
PBB, juga karena dalam pandangan China Konflik di Afrika tidak perlu
diglobalisasikan.
Selain itu, semakin menguatnya
hubungan daganag antara China dan Afrika semakin mengkhawatirkan bagi Eu. Hal
ini tidak lain karena adanya pergeseran kebutuhan energi EO dari Timur-Tengah
ke wilyaha Afrika. Hal ini juga yang mejadi latar belakang keterlibatan China
di Afrika sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan energi domestiknya. Selain
itu, sektor kerjasama ekonomi yang dikembangkan dan dijalin oleh China dengan
Afrika juga semakin beragama. Melingkupi sektor-sektor yang selama ini
didominasi oleh EU, seperti industri pakaian, telekomunikasi, pengolahan
makana, dan lain-lain. Hal ini tentu akan semakin menurunkan tingkat perdaganagn
antara EU dengan Afrika.
Semakin besarnya keterlibatan
dan peran China di Afrika membuat Eu harus memposisikan kembali diri mereka di
Afrika. Untuk mengatasi masalah ini, EU berusaha mengupayakan adanya dialog
segitiga dan kerjasama trilateral antara EU, China dan Afrika. Tujuan
diadankannya dialog ini dalah untuk mengatasi masalah-masalah kebijakan yang
kontroversial dan konflik kepentingan. Hal ini untuk mengatasi kebingungan EU apakah
akan bekerjasama dengan China dan Afrika, atau justru sebaliknya menganggap
mereka sebagai pesaing. Oleh karena itu, dialog ini sangat perlu dilakukan.
Namun, penemuan solusi yang
konsolidatif dan akomodatif dari dialog ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini
karena perbedaan kultural baik politik maupun ekonomi anatara China EU. Hal ini
semakin menambah kompleks pertentangan dan persaingan antara keduanya di
Afrika. Persepsi berbeda yang telah tercipta antara China dan EU sangat sulit
untuk dikompromikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar