Kamis, 04 Oktober 2012

China-Afrika



Review tulisan Li Anshan yang berjudul " China-Africa: Policy and Challanges"

Hubungan China dengan Afrika dimulai pada 1950-an ketika berlangsungnya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Negara pertama yang menjalin hubungan diplomatik secara resmi dengan China adalah Mesir pada 1956. namun hubungan China saat itu dengan negara-negara Afrika lebih kepada kondisionalisasi Perang Dingin dan sebagai upaya Counter Hegemoni terhadap Amerika Serikat. Nmaun ketika memeasuki era millenium baru, orientasi hubungan China terhadap Afrika mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dominasi hubungan pragmatisme ekonomi sangat terlihat pada pola hubungan Sino-Afrika saat ini.
Memang pada awal hubungannya dengan Afrika, kebijakan dan sikap China sangat dipengaruhi oleh kontestasi ideologis. Isu utama yang dikedepankan China dalam hubungannya dengan negara-negara Afrika dengan mengobarkan semangat anti-koloniaisme, anti-imperialisme dan revisionisme. Semangat anti-kolonislisme dan imperilaisme ditujukan untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh negara-negara barat, sedangkan revisionisme sebagai upaya untuk menghilangkan pengaruh Soviet sejak berakhirnya hubungan Sino-Soviet pada 1960-an. Dengan demikian, persaingan yang terjadi tidak hanya dengan barat, tetapi juga dengan Uni Soviet.
Meskipun telah terjadi perubahan yang signifikan pada 1960-an, kebijakan dogmatis China dengan Slogan ’exporting revolution” tetap dipertahankan. Akan tetapi kebijakan ini banyak di tentang oleh negara-negara Afrika. Maka China akhirnya mengubah kebijkannya menjadi dukungan terhadap kemerdekaan negara-negara Afrika dan juga memberikan bantuan tanpa syaratat. Kebijakan ini dikenal dengan istilah “economy serves diplomacy”. Dengan adanya pergeseran orientasi kebijakan ini, maka hubungan China dengan Afrika semakin membaik. Hingga akhirnya pada 1978 china dengan memiliki hubungan diplomatik dengan 48 negara Afrika.
Sejak berakhirnya kebijakan ’exporting revolution’, kebijakan China terhadap Affrika menjadi menjadi lebih pragmatis dan diversifikasi. Tidak lagi hanya berfokus pada tujuan-tujuan politik-ideologi, tetapi juga memasukkan aspek ekonomi dan sosial. Seiring dengan terjadinya ketidakjelasan kondisi ekonomi China, hubungan yang menngunakan ekonomi untuk tujuan politik (economy serves diplomacy) berubah menjadi diplomacy serves economy. Bantuan ekonomi mulai berkurang dan perdangan semakin menurun. Kebijakan politik yang sebelumnya “war and revolution” terhadap yang tidak seideologi menjadi “peace and development”.
Selain itu, prinsip-prinsip ekualitas, penghormatan kedaulatan, non-interfensi menjadi salah satu hal prinsipil yang ditekankan dalam hubungannya dengan Afrika. Hal ini dibuktikkan dengan pemberian bantuan China terhadap negara Afrika yang semakin meningkat pada abad 21 ini dengan tanpa diikuti oleh kepentingan politis. Artinya bhawa hubungan yang dijalin China adalah murni pragmatisme ekonomi. Hal ini berbeda dengan negara-negara barat yang akan memberikan dengan syarat penerapan demokratisasi di negara penerima. Tentu saja kebijakan China ini sangat menarik bagi negara-negara Afrika.
Kerjasama yang saling menguntungkan juga semakin dikedepankan. Dalam menjalin hubungan baik politik maupun ekonomi, China sangat mempertimbangkan bagaimana hubungan yang mereka jalin tidaknya memberi keuntungan bagi China, tetapi juga berdampak posisitk bagi Afrika. Sehingga akan terjadi hubungan yang mutual benefit. Keuntungan China dalam hubungannya dengan Afrika membuat suplly energi dan pangsa pasar produk China semakin besar. Sehingga perekonomian China semakin meningkat. Sedangkan bagi Afrika, kedatangan China memberikan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Transfer ilmu pengetahuan didapatkan melalui adanya banyaknya para ahli yang disediakan oleh China dan juga kerjasama pendidikan melalui beasiswa. Sedangkan transfer teknologi dilakukan dengan semakin banyak perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC)m China yang beroperasi di Afrika. Juga dengan semakin besarnya FDI dari China membuat proses industrialisasi bisa berjalan.
Puncak dari semakin meningkatnya hubungan anatara China dengan Afrika adalah diadakannya pertemuan tingkat tinggi pada 2006 di Beijing. Dalam pertemuan yang dihadiri sekutar 48 negara Afrika ini presiden China, Hu Jintao mengatakan bahwa China dan Afrika adalah teman yang baik dan mitra strategis. Selain itu, setidaknya ada 7 kebijakan China terkait dengan Afrika yang disampaikan dalam pertemuan itu, yaitu Bantuan untuk Afrika, Pinjaman dan Kredit Prefensial, Pembangunan pusat Konferensi Uni Afrika, Penghapusan Hutang, Pembukaan pasar China yang lebih luas bagi komoditi Afrika, Pembentukan zona perdagangan dan ekonomi China-Afrika, Pelatihan Profesional bagi Afrika.
Tantangan dan Resiko
Meskipun kehadiran China di Afrika sangat penting. Dan juga telah menunjukan peranan yang sangat penting dalam pembangunan di Afrika. Namun China dianggap kurang dalam hal pemberdayaan penduduk lokal. Pekerja-pekerja yang digunakan oleh perusahaan-perusaah china adalah buruh-buruh impor. Hal ini dikarenakan sleian tingkat produktivitas dan kehalian yang lebih rendah, dengan menggunakan tenaga kerja lokal maka perusahaan China akan terikat dengan aturan lokal. Disini terlihat bahwa terjadi perbedaan kepentingan antara perusahaan China dan kepentingan nasional China. Dengan menggunakan tenaga kerja yang skillful tentu preusan akan mendapat keuntungan yang maksimal. Artinya kepentingan perusahaan adalah kepentingan ekonomi jangkan pendek dengan eksplorasi yang semaksimal dan seoptimal mungkin. Berbeda dengan kepentingan nasional China yang berusaha menjalin hubungan lama dan tidak bersifat eksploitatif-opportunis.
Selain itu, tantangan yang diharus dihadapi China adalah pandangan yang sinis dari barat. China hanya berkepentingan untuk mengamankan pasokan energi dan sumber daya alam lainnya dari Afrika. Hal ini mereka indikasikan dengan mengacu kepada kebijakan China yang tidak mengkaitkan antara ekonomi dan politis. Artinya menurut mereka China berusaha mempertahankan rezim yang otoriter dan korup demi kepentingan pragmatis China. Karena mereka telah mendapatkan keuntungan yang besar melalui kerjasama dengan pemimpin-pemimpin seperti ini.
Sesuai dengan kepentingan nasional Chian yang berusaha menjalin hubungan diplomatik yang berkelanjutan, maka sustainable development saat ini juga menjadi perhatian China. Ukuran keberrhasilan tidak hanya dilihat dari indeks-indeks statistik seperti perdapatan perkapita. Tetapi juga harus dilihatnya bagaimana dampak riilnya terhadap warga Afrika secara umum. Salah satu dengan memberdayakan tenaga kerja lokal. Selain itu, kualista operasional juga harus diperhatikan dengan menerapkan produksi yang berorientasi terhadap keselamatan, pekerja, tidak merusak lingkungan, dan juga sistem jminan sosial. Sehingga tidak terjadi eksplorasi yang destruktif.
Semua upaya ini harus dilakukan oleh China untuk meningkat hubungan dan peluang masa depan kerjasamanya dengan Afrika. Karena Afrika memiliki nilai strategis-politik dan ekonomi yang besar bagi China. Keuntungan tidak hanya dirasakan pada level elit, tetapi juga harus dirasakan oleh masyarakat. Hubungan yang interdependensi harus diciptakan aar Afrika merasa tidak dieksploitasi. Selain itu, optimalisasi kerjasama dalam lingkup global melalui PBB juga harus ditingkatkan. Diplomasi yang lebih sensitif dan konprehensif perlu dilakukan untuk mengurangi ancaman non-teknis dalam upaya operasional di Afrika. Hal ini mengingat tingkat konflik yang tinggi di Afrika. Jangan samapai berdampak buruk terhadap hubungan mutualisme yang telah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar