A. Pendahuluan
Sistem politik yang digunakan di Indonesia adalah sistem demokrasi. Secara
singkat, sistem demokrasi menginginkan adanya peran masyarakat yang lebih besar
dalam aktivitas politik. Dengan adanya peningkatan peran masyarakat ini,
diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat diawasi oleh masyarakat.
Sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
oleh pemerintah. Dengan demikian demokrasi juga bertujuan untuk membatasi peran
otoritas pemerintah agar tujuan kemakmuran bersama dari demokrasi dapat
tercapai.
Sistem demokrasi berusaha untuk mengatur pola dan kinerja pemerintahan yang
baik melalui pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga yang dikenal dengan istilah
trias politika. Ketiga lembaga tersebut adalah lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Dalam sistem demokrasi lembaga legislatif dan lembaga pemilihan
umum merupakan penghubung yang sah dan stabil antara rakyat dan pemerintah
dalam suatu tatanan masyarakat yang modern. Peranan rakyat dalam lembaga
legislatif terepresentasikan oleh wakil-wakil yang dipilih dari partai politik
dalam pemilihan umum.
Partai-partai politik saat ini menguasai jalannya sistem pemerintahan di Indonesia.
Pasca reformasi, peran partai politik kembali seperti pada era awal kemerdekaan
(Orde Lama sebelum Demokrasi Terpimpin). Pada era Orde Lama (Demokrasi
Parlementer), sistem politik di indonesia sangat dipengaruhi oleh komposisi
kekuatan partai politik. Komposisi ini berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan
koalisi dalam upaya membentuk kabinet, khususnya diantara empat partai besar
yaitu PNI, Masyumi, PKI dan NU. Namun pada era Orde Baru, peran partai politik
digantikan oleh kalangan militer (politik) dan teknokrat (ekonomi). Hal ini disebabkan
dengan keberhasilan militer dalam memberantas PKI yang dianggap berupaya
menguasai negara. Sehingga kelompok militer ini akhirnya yang menjalankan roda
pemerintahan (Liddle 1992:173).
Akan tetapi berakhirnya Rezim Orde Baru seolah menjadi penanda bahwa peran
partai politik kembali menguat. Sejak disahkannya UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, jumlah
partai politik di Indonesia semakin bertambah. Hal ini dikarenakan
Undang-undang tersebut memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk membentuk partai
politik setelah sekian lama dikekang pada era Orde Baru. Implikasi dari
Undang-Undang tersebut adalah meningkatnya jumlah peserta pemilu 1999 menjadi
48 peserta dari hanya 3 peserta pada pemilu 1997 (KPU.go.id: 40).
Dengan semakin banyaknya jumlah partai politik, maka ideologi politik yang
menjadi dasar juga semakin beragam. Sebelumnya pada era Orde Baru berdasarkan
pada UU No. 03 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan golongan Karya ditegaskan
bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar
(Budiardjo 2008: 452-253). Namun setelah
dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1999, maka ideologi lain pun diperkenankan untuk
digunakan. Sebagai dampaknya muncullah partai-partai dengan beragam asas,
termasuk salah satunya Ideologi Islam.
Setidaknya ada 9 partai Islam pada pemilu 1999 dan 7 partai pada pemilu
2004 serta 9 partai pada pemilu 2009 (KPU.go.id: 40-45). Pada pemilu 1999
partai islam mendapatkan 34,2 % suara, dan pad 2004 mengalami peningkatan yang
signifikan menjadi 43,27 % suara. Akan tetapi pada pemilu 2009 jumlah
persentase suara partai islam turun drastis menjadi 30 %. Hal ini sangat
menarik mengingat sebagian besar jumlah penduduk Indonesia adalah pemeluk agama
Islam. Dengan demikian, seharusnya potensi kemenangan partai politik islam
sangat besar. Akan tetapi kenyataan di lapangan terbalik. Oleh karena itu,
dengan melihat pada fenomena di atas, saya tertarik untuk melihat mengapa
Partai Politik Islam mengalami penurunan di dalam kondisi mayoritas pemilih
beagama islam?
B. Hubungan antara Islam dan Politik di
Indonesia
Sebelum lebih jauh kita mencari alasan mengapa terjadi penurunan persentase
pemilih partai politik islam, terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengapa
topik mengenai partai politik islam ini perlu diangkat. Kita harus berusaha
mencari korelasi antara islam dan partai politik, khususnya di Indonesia. Menurut
Bachtiar Effendi (2009) dalam bukunya ”Islam dan Negara: Transformasi Gagasan
dan Praktik Politik Islam di Indonesia” setidaknya terdapat lima kerangka
teoritis untuk memahami relasi antara islam dan politik di indonesia.
-
Dekonfessionalisasi;
menyatakan bahwa relasi antara islam dan politik harus dilihat pada politik
akomodasi dari berbagai kelompok dan kepentingan untuk menghindari benturan
antara kelompok agama dan kepercayaan yang berbeda. Melalui pendekatan ini kita
dapat memahami bagaimana masuk dan diterimanya islam dengan jalan yang damai di
Indonesia.
-
Domestikasi
Islam; menganggap bahwa perbedaan diametral antara kerajaan-kerajaan islam di
pesisir utara pulau Jawa yang diwakili Demak, dengan kerajaan Mataram yang
sinkretis di pedalaman, dimana terjadi upaya peaklukan kembali oleh kerajaan
Mataram atas wilayah yang lebih dahulu dikuasai islam yang dianggap memberontak
di pesisir utara Jawa. Teori ini membagi dua kelompok islam yaitu kerajaan
pesisir utara dan pedalaman.
-
Skismatik
dan Aliran; memandang bahwa terdapat tiga aliran atau kelompok umat islam yang
memiliki pandangan berbeda dalam hubungan antara islam dengan negara yaitu
kelompok priyayi (kalangan bangsawan), abangan (masyarakat biasa), dan santri
(kaum ulama dan muslim taat) yang pada perkembangan selanjutnya kelompok
priyayi dan abangan bergabung mengalahkan kelompok santri.
-
Perspektif
Trikotomi; berpendapat bahwa relasi antara islam dan negara harus dlihat dari
tiga perspektif yang berbeda, yang terdiri dari kelompok militan islam
(fundamentalis) yang mendukung jenis penafsiran islam secara kaku dan murni
serta menentang pemikiran sekuler, pengaruh barat dan sinkretisme kepercayaan
tradisional sekaligus menganggap agama lebih utama daripada negara. Perspektif
kedua adalah reformis yang menekankan keutamaan agama atas politik namun lebih
dapat bekerjasama dan menerima pemahaman barat atas landasan bersama yang
disepakati serta berusaha mencari jalan tengah antar keyakinan agama agar
relevan dengan kehidupan modern. Terakhir adalah persektif tradisionalis
(akomodasionis) yang lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan sosial dan
ekonomi harus mendapat prioritas utama
oleh organisasi-organisasi islam.
-
Islam
Kultural yaitu kelompok yang tumbuh sebagai respon umat islam atas tekanan Orde
Baru atas politik aliran islam yang tidak berkembang. Kelompok ini berusaha
masuk dalam lingkaran kekuasaan tanpa melalui partai politik namun berusaha
agar kepentingan islam dapat diakomodir melalui kebijakan negara.
Selain itu, Bactiar Effendi juga memberikan teori alternatif untuk memahami
hubungan islam dan politik yaitu islam multi-interpretatif. Perspektif ini
berupaya untuk melihat islam secara substansial. Dengan kata lain, lebih
mengutamakan kepada nilai-nilai islam yang universal seperti keadilan,
musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi politik. Hal ini dikarenakan
prinsip inti dari islam (seperti yang disebutkan oleh KH Masdas F. Masudi dalam
sebuah seminar di UIN Jakarta) adalah untuk mencapai keadilan sebagai ghayah
(tujuan) dan sarananya (manhaj) adalah melalui jalan musyawarah.
C. Kemunduran Partai Politik Islam
Penurunan tingkat elektabilitas partai politik islam pada pemilu 2009 tidak
dapat hanya dilihat sebagai menurunnya kepercayaan publik (umat islam) terhadap
partai-partai islam, tetapi merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Setidaknya
ada tiga aktor yang menjadi penyebabnya yaitu terjadi perubahan pandangan umat
islam secara menyeluruh terhadap hubungan antara islam dan politik, sistem
demokrasi dan kebebasan, serta terakhir disebabkan oleh sistem pemilu yang
digunakan.
1. Perubahan Pandangan terhadap Hubungan
Islam dan Politik
Untuk memahami bagaimana terjadinya perubahan pandangan umat secara
mayoritas terhadap pola relasi antara islam dan politik adalah dengan
menggunakan pendekatan islam kultural dan islam multi-interpretatif. Dasar dari
kedua perspektif di atas adalah bagaimana agar kepentingan islam dapat
terakomodir dengan baik dalam politik (negara). Seiring dengan usaha dari
kalangan intelektualis untuk menyatakan bahwa nilai-nilai islam berjalan
seiringan dengan nilai-nilai demokrasi, maka keinginan untuk membawa islam
secara formalistik cenderung menurun. Tetapi lebih mengedepankan pada hal-hal
yang substansial. Artinya selama nilai-nilai islam terakomodir, maka
simbol-simbol keislaman tidak terlalu dikedepankan.
Fenomena semacam ini terlihat secara jelas pada pemilu 2009. Perbedaan
antara partai-partai politik islam dengan partai-partai yang berasas lain
semakin kabur. Apalagi jika dilihat dari ’janji-janji politik’ yang ditawarkan.
Selain itu, pencitraan dari partai politik nasionalis juga lebih mengakomodir
aspirasi umat islam. Seperti PDI Perjuangan yang sebelumnya merepresentasikan
diri sebagai partai nasionalis sekuler terus berusaha untuk mengakomodir
kelompok islam, misalnya dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia. Selain
itu, partai Demokrat juga menampilkan citra sebagai partai yang nasionalis
religius. Juga dengan Partai Golkar yang masih banyak diminati oleh tokoh-tokoh
muslim dan juga umat islam. Tentu
saja ini semakin merubah konstelasi politik islam pasca reformasi.
Perubahan-perubahan konstelasi politik ini tentu saja akan berpengaruh
terhadap perilaku politik pemilih dalam pemilihan umum. Ditambah dengan semakin
meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap politik yang lebih mengutamakan
nilai-nilai substansial dengan tidak melihat pada simbol-simbol yang diusung
oleh partai, membuat pilihan pemilih semakin beragam. Selain itu, juga meningkatnya
peran civil society melalui kelompok-kelompok penekan dari kaum
profesional dan intelektual islam semakin membuat masyarakat tidak lagi terlalu
terpaku pada partai politik sebagai sarana penyalur aspirasi.
Secara luas, kita juga dapat melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan negara semakin mengakomodir kepentingan umat islam. Misalnya dengan
pemberian hak otonomi khusus bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syari’at
islam. Selain itu juga, banyaknya undang-undang yang dikeluarkan terkait dengan
islam, seperti UU Perbankan Islam, UU Sukuk, dan kebijakan lainnya semakin
mempengaruhi cara pandang masyarakat. Banyaknya kekerasan-kekerasan atas nama
islam juga turut berdampak dalam merubah cara pandang umat.
2. Sistem Demokrasi dan Kebebasan Politik
Dalam sistem demokrasi, kebebasan politik sangat dikedepankan. Artinya
persaingan akan sangat terbuka bagi semua partai untuk mendapatkan simpati dari
para pemilih. Selain itu, ruang kebebasan politik yang diberikan oleh demokrasi
membuat partisapasi masyarakat semakin meningkat tidak hanya dalam bentuk
prosedural pada pemilihan umum. Tetapi juga melalui berbagai macam kegiatan
politik untuk menyampaikan aspirasi politik. Seperti dengan adanya
kelompok-kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan organisasi non-partai
lainnya. Sebagai kelompok mayoritas, aspirasi umat islam tidak dapat
dikesampingkan begitu saja oleh negara. Artinya partai apapun yang memegang
pemerintahan harus mengakomodir aspirasi umat islam jika tidak ingin citra
partainya menjadi buruk.
Selama ini, belum ada partai islam yang menjadi pemegang kendali
pemerintahan. Sehingga melihat pada kebijakan-kebijakan akomodatif
partai-partai yang bukan berasas islam tentu akan mempengaruhi penilaian
msayarakat. Masyarakat menganggap bahwa ternyata partai yang bukan berasas
islam pun sudah cukup mengakomodir kwpwntingan umat islam, meskipun tidak
secara keseluruhan. Tetapi yang dilihat adalah bagaimana prinsip-prinsip
substansialnya. Selain itu, dalam sistem demokrasi, akses terhadap instrumen-instrumen
demokrasi seperti media massa juga berpengaruh. dengan akses yang besar
terhadap media massa, terutama televisi, membuat partai semakin mudah untuk
mencitrakan diri. Hal ini dikarenakan kekuatan media massa lebih besar
pengaruhnya dari pada kekuatan jaringan kader. Apalagi jika melihat gejala
politik saat ini yang cenderung pragmatis. Artinya partai politik hanya
dijadikan jalan untuk mendapatkan jabatan politis. Sehingga program pengkaderan
dalam partai politik semakin terhambat. Dan tentu ini akan semakin sulit untuk
partai politik yang aksesnya terhadap media massa tidak terlalu luas. Inilah yang
sebagian besar dialami oleh partai politik islam, karena tidak memiliki kekuatan
finansial yang besar.
3. Sistem Pemilihan Umum
Sistem pemilu yang diterapkan juga membawa pengaruh yang cukup siginifikan.
Seiring dengan pergantian dari model proporsional tertutup menjadi model
proporsional terbuka membuat masyarakat dapat memilih wakil secara individu.
Model ini membuat pemilih tidak hanya melihat pada partainya saja, tetapi juga
mempertimbangkan calon-calon yang diusung oleh partai politik. Artinya bahwa
jika ada tokoh umat yang tidak menjadi calon dari partai politik islam juga
akan sangat berpengaruh. Karena pola masyarakat indonesia yang sangat mengedepankan
sosok figur, maka akan membuat masyarakat lebih memilih calon dari pada melihat
partai.
Dalam sistem pemilu seperti ini, tentu saja bukan hanya kedibilitas partai
yang diutamakan, tetapi juga pilihan kader atau tokoh yang diusung. Dengan
demikian, strategi partai harus menggunakan kedua matra kekuatan tersebut
secara bersamaan. Dan menurut saya, pilihan kader dan tokoh ini memiliki
panegaruh yang sangat signifikan. Karena tidak hanya elektabilitas, tetapi juga
tingkat popularitas dan citra tokoh atau calon turut mempengaruhi perolehan
suara.
D. Masa Depan Partai Politik Islam
Seperti yang telah diumumkan oleh KPU beberapa waktu yang lalu, bahwa
jumlah partai politik yang berhak mengikuti pemilu pada 2014 hanya sepuluh
partai politik. Dengan demikian, berarti hanya terdapat 4 partai politik islam
(PPP, PKB, PKS, dan PAN) yang menjadi peserta pemilu 2014 mendatang. Oleh karena
itu, tugas keempat partai tersebut sangat berat untuk kembali menarik perhatian
dari para pemilih. Apalagi tokoh-tokoh yang berpotensi menjadi Presiden
berdasarkan survey-survey berbagai lembaga tidak mengunggulkan tokoh-tokoh dari
kempat partai tersebut. Tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi keempat
partai tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam.
2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Effendi, Bachtiar.
2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Paramadina. Jakarta.
Liddle, R.
William. 1992. Partisipasi & Partai politik: Indonesia pada awal Orde
Baru. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.