Selasa, 19 April 2011

Thinking About IR Theory & Positivism (International Relations Theory (4th ed), New York, Longman 2010 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi)

a. Chapter 1 : Thinking About IR theory
Di era globalisasi sekarang ini, Hubungan Internasional tidak hanya membahas hubungan antarnegara, tetapi juga hubungan dengan aktor-aktor lainnya, seperti organisasi internasional (NGO), perusahaan multinasional (MNC), kelompok-kelompok kepentingan seperti teroris. Dengan demikian, perspektif yang digunakan pun semakin beragam dan kompleks. Setidaknya ada empat perspektif yang digunakan; yaitu realisme meliputi realisme klasik dan neo-realisme yang menjadikan negara sebagai aktor terpenting, liberalisme (termasuk neo-liberalisme) yang menganggap adanya aktor selain negara, strukturalisme ekonomi yang menyatakan bahwa semua aktor harus dilihat dari faktor ekonomi (kelas sosial, yaitu proletar dan borjuis), dan terakhir The English school yang menganggap kegiatan politik juga terjadi karena adanya komponen rasional berupa norma-norma dan institusi.
Perspektif bukanlah teori. Teori adalah cara yang digunakan untuk memahami dunia dengan meliputi penjelasan deskriptif dari fenomena yang fenomena diobservasi dan dipertemukan dengan penjelasan sebab-akibat (dari mana hal ini terjadi) yang berdasarkan pada fakta yang jelas (positivis). Sedangkan perspektif adalah cara kita melihat dunia, yang kemudian mempengaruhi kita dalam merumuskan sebuah teori. Banyaknya perspektif menandakan banyak perbedaan ontologi (ontology menunjukkan pada bagaimana kita melihat/memandang dunia ini dan esensi dari semua benda yang ada di sekitar kita). Oleh karena itu, perspektif dibagi ke dalam empat kasifikasi; yaitu pertama perspektif dilihat sebagai bentuk dari pemahaman interpretif (Interpretive understanding), kedua sebagai tipe yang ideal yang masing-masing menekankan pada sejumlah pendekatan teoritis yang beragam yang tampaknya sama, ketiga sebagai gambaran umum dari asumsi-asumsi kunci dari masing-masing perspektif yang mungkin memberikan kesan yang keliru bahwa perspektif-perspektif ini saling eksklusif dalam segala hal, dan yang terakhir perspektif yang cenderung lebih fokus pada apa yang dipelajari daripada bagaiman untuk melakukan seperti belajar.
Perspektif bisa mempengaruhi dalam perumusan teori dan tentunya akan sedikit menyulitkan kita untuk berpikir secara teoritis. Oleh karena itu James N. Rosenau Membuat sembilan prasyarat untuk berteori, yaitu menghindari memperlakukan pekerjaan sebagaimana merumuskan teori, mempunyai kejelasan apakah ingin menggunakan teori empiris atau teori nilai, sanggup mengurus hubungannya dengan orang lain dan kebutuhan yang mendasarinya, selalu bertanya (tentang setiap peristiwa, setiap situasi, atau setiap fenomena yang diamati) "apakah sesuatu bisa diambil sebagai contoh?", bisa menghargai dan menerima pendapat yang memiliki penjelasan lebih rinci untuk pengamatan yang luas, harus menghargai terhadap arti yang berbeda, memperhatikan keraguan, dan tidak meyakini kemutlakan, harus bergelut dengan fenomena internasional, harus dengan tulus dalam melakukan pemikiran terhadap fenomena internasional, dan selalu siap untuk mengakui kesalahan.
Dalam menganalisa suatu fenomena internasional, menurut Kenneth Waltz, setidaknya ada tiga level analisis; yaitu level analisis individu, level analisis Negara dan masyarakat, dan level analisis sistem internasional. Ketika menggunakan level analisis individu, maka fokus utamanya pada individu kunci dan aktor. Aspek individu meliputi kepribadian, kegiatan dan pilihannya yang dapat berkontribusi pada terjadinya suatu tindakan politis. Individu di sini biasanya terkait dengan pengambil keputusan. Oleh karena itu, menurut Waltz untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (perdamaian) maka manusia (individu) harus dirubah baik secara intelektual, maupun psikologis-sosial. Tingkat analisis kedua, difokuskan pada aspek organisasi internal (negara) sebagai faktor kunci untuk memahami pola hubungan internasional (perang dan damai), karena menurut Waltz individu tidak mungkin menjadi faktor penentu (determinan) dalam mengambil keputusan. Dalam konteks peperangan, karakteristik yang relevan dari suatu negara meliputi jenis pemerintahan, sistem ekonomi, politik domestik, dan kepentingan nasional. Perang dan damai adalah produk dari negara, karena jika negara memiliki struktur yang baik maka akan mengakibatkan adanya perdamaian. Ketiga, yaitu level sistem internasional. Titik utamanya pada sistem anarki. Dengan banyaknya negara yang berdaulat, apalagi diiringi dengan ketiadaan sistem hukum yang mengatur hubungan antarnegara sangat berpotensi untuk menyebabkan terjadinya perang. Karena tidak ada kekuatan sentral yang dapat mencegah kekerasan. Ketiga tingkat analisis ini dapat digunakan untuk mempelajari penyebab atau informasi latar belakang mengenai masalah apapun dalam dunia politik, baik itu terkait perang, konflik, maupun kerjasama. Karena setiap tingkat analisis akan membantu kita untuk memahami karakteristik individu, pemimpin, negara dan sistem internasional.
b. Chapter 7 : Positivism, Critical Theory, and Postmodern Understanding
Positivisme percaya bahwa objektivitas ilmu pengetahuan sangat mungkin. Sehingga mereka berkomitmen untuk melakukan tradisi rasionalisme. Pertentangan antara rasionalisme yang menekankan logika yang ditemukan dalam aturan deduksi dan kaum empiris yang membuat metode pengambilan kesimpulan secara induktif dari apa yang mereka observasi yang pada akhirnya melahirkan sebuah pendekatan saintifik rasional yang baru (sintesis empiris tetap menjadi landasan utama positivisme). David Hume, orang yang membuat metode pengambilan kesimpulan melalui asas kausalitas. Namun, ia juga meyakini bahwa kausaitas tidak serta merta bisa langsung diobservasi tapi hanya sebuah kontruksi yang digunakan oleh manusia untuk membuat apa yang mereka teliti agar dapat dipahami aatu diprediksi. Selanjutnya John Stuart Mill mengembangkan bentuk Induksi yang akan memperkenankan ilmuwan ilmu sosial dan ilmu alam untuk mengambil klaim kebenaran kausal dengan menggunakan metode sistematis atau serangkain tes yang spesifik maupun metode untuk mengobservasi sebuah fenomena. Mill membuat lima macam aturan sebab akibat, yaitu metode persetujuan (agreement), metode pertentangan (difference), penggabunga metode agreement dan difference, metode variasi yang bersamaan (concomitant variation), dan metode sisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar